Nabi Muhammad SAW bersabda, “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, amanat diberikan kepada penghianat, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut berbicara. Rasulullah lalu ditanya: Apakah ruwaibidhah itu? Ia menjawab: Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.” [Riwayat Ibnu Majah]
Tokyo – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menganggap penembakan massal di sebuah gereja di Texas adalah dikarenakan masalah kesehatan jiwa, bukan masalah senjata api.
Hal tersebut disampaikan Trump dalam konferensi pers di Tokyo, Jepang hari ini. Trump berada di Tokyo sebagai bagian dari turnya ke Asia.
Ketika ditanya kebijakan apa yang mungkin akan didukungnya terkait penembakan yang menewaskan 26 orang tersebut, Trump mengatakan bahwa berdasarkan laporan awal, pelaku penembakan adalah “orang yang sangat gila, banyak masalah.”
“Kita punya banyak masalah kesehatan jiwa di negara kita, sama seperti halnya negara-negara lain. Namun ini bukan situasi soal senjata api,” tutur Trump kepada para wartawan.
“Ini masalah kesehatan jiwa di tingkat tertinggi,” ujarnya. “Itu peristiwa yang sangat, sangat menyedihkan,” imbuhnya seperti dilansir kantor berita Reuters, Senin (6/11/2017).
Penembakan massal di gereja First Baptist Church, Sutherland Springs, Texas pada Minggu (5/11) waktu setempat, menewaskan 26 orang dan melukai 20 orang lainnya. Salah satu korban tewas merupakan seorang remaja berusia 14 tahun, putri Pendeta Frank Pomeroy, pendeta di gereja itu.
Otoritas setempat belum merilis secara resmi identitas pelaku penambakan ini. Namun menurut sejumlah media AS yang mengutip sumber penegak hukum AS, pelaku penembakan bernama Devin Patrick Kelley (26) , mantan tentara Angkatan Udara AS. Motif penembakan ini belum diketahui pasti.
Pelaku dilaporkan masuk ke dalam gereja sambil menembaki orang-orang yang sedang menghadiri kebaktian Minggu pagi. Seperti dilansir CNN, Senin (6/11/2017), jika bukan karena seorang warga setempat yang berusaha menghadapi pelaku, korban tewas dalam insiden ini bisa lebih banyak.
Belum diketahui motif penembakan brutal tersebut. Pelaku penembakan tewas dalam insiden tersebut.
[Detik.com, 6/11/2017]
[KOMENTAR]
Terorisme merupakan momok terbesar ketakutan umat manusia di abad ini. Meskipun tindakan terorisme sudah ada sejak zaman dulu, namun perkembangannya mulai santer terdengar sejak memasuki abad ke-21. Dulu umat manusia ditakutkan pada momok perang nuklir antara Amerika Serikat melawan Uni Soviet yang memang pada saat itu sedang berusaha memperebutkan pengaruh. Namun saat Uni Soviet menyerah yang ditandai dengan keruntuhan imperium tersebut, Amerika seakan kehilangan musuh, dan pada 11 September 2011, negara ini akhirnya berhasil menemukan musuh barunya, yakini terorisme karena di tanggal tersebut kota New York berhasil diserang oleh serangan teroris yang dituduh dari kelompok Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Maka sejak saat ini pula wacana terorisme kerap kali dikaitkan dengan Islam, sekaligus mengambinghitamkan agama Islam sebagai agama teror.
Sejak saat itu pula Amerika mendengungkan sebuah kampanye yang diikuti oleh negeri-negeri di dunia, termasuk negeri muslim, yakini “war on terrorism”. Kampanye perang melawan teror pada dasarnya menyimpan maksud terselubung bagi Amerika, ia menggunkan pembenaran ini untuk menjajah dan menyerang suatu negeri. Amerika dibantu oleh negera-negara Barat dan alatnya, yakini media dan intelektual lacur supaya mengontruksikan persepsi kepada masyarakat dunia bahwa Islam adalah agama teror. Maka tidak heran jika Islamofobia semakin menguat sejak peristiwa Amerika melancarkan kampanye war on terrorism-nya.
NARASI ISLAM SEBAGAI AGAMAM TEROR
Pengontruksian wacana Islam sebagai agama teror bukanlah tanpa alasan, Islam merupakan agama kebenaran, agama yang senantiasa bertentangan dengan kedzoliman dan ketidakadilan. Sedangkan kita tahu bahwa Amerika dan peradaban Eropa senantiasa melakukan berbagai kerusakan di muka bumi ini, merka kerap kali menindas sebagai manifestasi dari watak imperealismenya. Mereka (Pemerintah Barat) senantiasa membodohi negeri-negeri dunia ketiga termasuk negeri-negeri muslim. Sejarah telah membuktikan hal tersebut dan realitas saat inipun menunjukan hal yang demikian bahwa Barat dan khususnya Amerika akan selalu melakukan kedzoliman di muka bumi ini. Maka pantas saja kiranya jika Amerika yang dalam hal ini representasi dari peradaban Eropa akan selalu memerangi Islam dan berupaya menjauhkan muslim dari agamanya karena Islam sudah secara kodrati akan beroposisi dengan kejahatan dan kedzoliman dan dalam hal ini direpresentasikan oleh negeri-negeri Barat yang sampai saat ini selalu menindas bangsa-bangsa di dunia.
Penyematan kata terorisme hanya kepada kalangan Islam juga terlihat di dalam berita yang penusli camtumkan di atas. Di dalam berita tersebut menjelaskan tentang peristiwa penambakan yang terjadi di salah satu greja yang berada di negara bagian Texas, AS. Kalau kita memakai definisi teroris yang sesunguhnya sudah pasti bahwa apa yang dilakukan oleh sang pelaku penembakan tersebut adalah sebuah tindakan terorisme. Namun sayangnya apa yang terjadi tidaklah demikian, Presiden AS, Donald Trump menyebut sang pelaku penembakan dalam peristiwa tersebut tengah pengidap gangguan mental. Hal ini jelas sangat berbeda jikalau sang pelaku penembakan beragama Islam, media dan otoritas resmi AS akan menyebutnya sebagai tindakan terorisme. Dari sini jelas terlihat bahwa mereka berusaha membiaskan opini massa dengan menyebut pelaku penembakan tengah mengidap gangguan mental.
Merka (Barat) senantiasa mengadili apa yang dilakukan oleh seorang muslim sebagai representasi dari ajaran agamanya, sedangkan apa yang dilakukan oleh mereka yang non-muslim sebagai murni tindakan pribadinya. Hal ini jelas salah kaprah karena mereka membeda-bedakan tindakan terorisme bukan kepada tindakannya, melainkan apa agamanya. Indikatornya bukan lagi pada apa yang dilakukan, melainkan apakah ada kalimat “Allahhu Akbar”, berjenggot, membawa Al Quran, berasal dari Timur Tengah, dan yang terpenting beragama Islam. Hal-hal seperti itulah yang menjadi patokan seseorang itu disebut melakukan tindakn terorisme atau bukan. Padahal idealnya, seseorang dikatakan melakukan tindakan terorisme bukanlah dilihat dari identitasnya, atau dalam kasus ini agamanya, melainkan tindakannya. Maka benar jika definisi mengenai teroris sendiri itu sangatlah politis, yakini tergantung pada kepentingan yang punya kuasa. Saat ini Islam memiliki kuasa, meskipun jumlah umat Islam banyak namun tidak dimanifestasikan dalam sebuah kekuatan politik tunggal, atau dengan kata lain mereka masih tercerai-berai atas nama nasionalisme golongan.
Ketidakadilan yang menimpa umat Islam akan terus terjadi selama mereka tidak bersatu dan satu-satunya cara untuk mempersatukan mereka ialah terbentuklah sebuah entitas politik yang merepresentasikan umat Islam dan akan menghilangkan sekat-sekat nasionalisme yang sengaja dibangun oleh Barat untuk menceraiberaikan umat Islam di seluruh dunia. Maka akan sangat relevan jika konsepsi mengenai kekhilafahan kembali dimunculkan, mengingat konsep inilah yang sudah terbukti dan teruji dapat mempersatukan umat Islam di seluruh dunia di bawah satu bendera yakini, bendera tahuid. Ketika sudah muncul entitas khilafah ini, maka niscaya dunia akan mengetahui bahwa Islam merupakan agama yang penuh rahmat, bukan hanya umat Islam melainkan juga untuk seluruh mahluk hidup di dunia ini, dan tentu saja label Islam sebagai agama teror juga akan dengan sendirinya terbantahkan. [Yopi M.]