Kabar mengenai penjual BUMN dan aset-aset strategis bangsa ini mulai santer terdengar. Meskipun rakyat Indonesia tengah disibukan perhatiannya oleh kasus korupsi E-KTP yang menimpa Setya Novantu, bukan berarti memalingkan pandangan pada penjualan aset-aset berharga bangsa tersebut. Menurut kabar yang beredar di media massa online, ada beberapa objek strategis yang hendak diswastanisasi atau privatisasi, seperti tol, BUMN, dan bandara. Yang sedang santer terdengar saat ini ialah privatisasi dari BUMN tambang beraset besar milik bangsa ini.
Saat ini rencana pembentukan induk usaha (holding) pertambangan telah memasuki babak baru. Hal ini ditandai dengan rencana penghapusan status persero pada tiga BUMN pertambangan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ketiga BUMN tersebut antara lain: PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Timah (Persero) Tbk. Rencana tersebut akan dibahas pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Rabu, 29 November 2017 mendatang.
Pembentukan holding BUMN tambang membuat status PT Timah Tbk (TINS), PT Aneka Tambang Tbk (Antam/ANTM) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tak lagi jadi BUMN. Hal ini disebabkan saham kepemilikan langsung negara dialihkan kepada PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) selaku induk holding. Banyak pihak yang bertanya-tanya apakah perubahan status tersebut membuat pintu bagi swasta untuk masuk ketiga perusahaan tersebut semakin lebar. Bahkan kita sebagai rakyat Indonesia pasti merasa khawatir kalau nantinya ketiga perusahaan tambang tersebut akan dikuasai asing.
Menurut pendapat dari pengamat BUMN sekaligus mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, kecil kemungkinan hal tersebut bisa terjadi, karena meski seluruh saham seri B telah dialihkan ke Inalum, namun pemerintah sendiri masih menyisakan saham dwi warna yang memiliki hak veto. Sedangkan menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menyebutkan, perubahan status tiga BUMN itu menjadi nonpersero merupakan upaya swastanisasi pemerintah terhadap perusahaan milik negara. Dirinya berupaya untuk mendesak pemerintah supaya kembali mengevaluasi wacana penghapusan status persero pada tiga BUMN tersebut. Menurut Agus, hal ini merupakan upaya oknum negara bisa bebas jual saham tanpa izin DPR. Dirinya sudah berupaya mencegahnya dengan mengajukan judicial review ke MA bersama Pak Mahfud MD, tapi kalah.
Perlu diketahui bahwa sebelumnya, pemerintah menjadikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2016 sebagai dasar dalam menghapus status Persero pada perusahaan BUMN Antam, Bukit Asam dan Timah. Padahal, menurut Agus, upaya penerapan rencana holding BUMN sendiri bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terlebih ketika PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum (Persero) akan ditunjuk sebagai induk usaha 3 BUMN tersebut.
Agus juga mengingatkan supaya DPR segera bereaksi terhadap rencana yang dianggapnya akan berujung pada hilangnya campur tangan DPR (negara) ketika ada aset negara yang dijual. Menurut Agus, penjualan atau holding atau privatisasi BUMN ujung-ujungnya hanya supaya penjualan aset tidak perlu atas pesetujuan DPR yang merupakan wakil rakyat. Menurutnya Ketua Komisi VI harus tegas dalam menyikapi hal ini.
Tentu saja kita sebagai rakyat Indonesia begitu khawatir melihat pemerintahan saat ini yang dengan seenaknya menjual aset-aset strategi bangsa. Maka semoga saja kabar penjualan atau privatisasi BUMN ini tidak jadi di implementasikan, jika sampai hal ini terjadi maka rakyat Indonesia kembali dikhianati oleh penguasa.
[Kompas, 14/11/2017]