Akhir-akhir ini isu terorisme kembali mencuat ke permukaan. Penyebabnya dipicu oleh berbagai rangkaian ledakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Perang terhadap terorisme pun kembali dikumadangkan. Pemerintah beranggapan bahwa paham yang mengilhami (leading factor) tindakan terorisme ialah “radikalisme”, dan menurut mereka paham ini tengah menginfiltrasi berbagai kampus di Indonesia.
Anggapan tersebut semakin diperkuat tatkala pada 2 Juni 2018, Densus 88 berhasil meangkap tiga orang terduga teroris di Universitas Riau. Merespon hal tersebut, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menrisetdikti), M. Nasir pada Senin (4/6), menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan monitoring kepada para dosen dan mahasiswa. Salah satu pengawasan yang dilakukan yakni dengan mendata nomer HP dan akun media sosial (medsos) milik dosen dan para mahasiswa.
Negara kerap kali berlindung dibalik slogan “Perang terhadap Terorisme” mana kala aksi mereka berkontradiksi dengan hukum perundang-undangan yang berlaku atau mencederai nilai-nilai yang selama ini mereka emban. Kita sepakat bahawa terorisme memang harus kita perangi bersama. Ia adalah musuh bersama bagi setiap manusia di bumi ini. Kita pun sepakat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk ancaman yang mengancam eksitensi manusia karena kerap kali serangan terorisme menyasar suatu populasi manusia. Namun begitu, apakah kita boleh melakukan berbagai cara untuk menghancurkan ancaman tersebut? Hal tersebut jelas berkontradiksi dengan nilai-nilai yang selama ini negara emban dan promosikan ke warga negaranya.
Apakah momok terorisme telah menjadi ancaman eksitensial (existential threat) sehingga mengabikan hak-hak dasar individu, termasuk hak privasi mereka. Meskipun demikain, tetap saja negara tidak berhak atas hal tersebut. Terlebih lagi, mereka yang hendak dimonitori ialah sama sekali belum terduga teroris. Mereka adalah para intelktual yang merupakan penopang warasnya negeri ini. Merekalah kelompok yang akan meluruskan pemerintah jika pemerintah sudah melenceng begitu jauh dari relnya. Belum lagi klim radikalisme sebagai akar dari tindakan terorisme adalah klaim sepihak dari pemerintah. Klam tersebut dalam ranah akademis masih menuai banyak kontroversi, mengingat tidak jelasnya definisi radikalisme dan minimnya temuan empiris yang mendukung tesis tersebut (baseless).
Maka bagi penulis, wacana Menrisetdikti tersebut adalah suatu tindakan yang anti-intelktualitas. Bagaimana tidak, Menrisetdikti yang merupakan payung berbagai perguruan tinggi di negeri ini seakan-akan membunuh nalar intelktualitasnya dengan tergiring oleh persepsi pemerintah terkait akar dari terorisme. Seharusnya instansi ini menjadi mercusuar bagi pemerintah dan publik dengan terlebih dahulu melakukan berbagai riset terkait akar terorisme, dan seharusnya mereka juga harus terlebih dahulu membuat batasan apa itu “radikalisme”. Bukan langsung terbawah araus dan loncat pada kesimpulan bahwa radikalisme akar dari terorisme. Hal tersebut bukanlah cara berfikir yang ilmiah. Bukankah seperti itu yang selama ini kita pelajari di kampus?
Muhammad Iskandar Syah