Penghiantan Kemenrisetdikti terhadap Nilainya

Posted on

Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Para pendusta dipercaya sedangkan orang jujur dianggap berdusta. Penghianat diberi amanah sedangkan orang yang amanat dituduh khianat. Dan pada saat itu, para Ruwaibidhah mulai angkat bicara. Ada yang bertanya, ‘Siapa itu Ruwaibidhah?’ Beliau menjawab, ‘Orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak (umat).” (HR. Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad menyatakan isnadnya hasan dan matannya shahih. Syaikh Al-Albani juga menshahihkannya dalam al-Shahihah no. 1887)”

 

Tools Broadcast WhatsApp

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenrisetdikti) merupakan sebuah kementerian yang menaungi berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Saat ini, instansi tersebut dikomandoi oleh Muhammad Nasir selaku menteri dalam kementerian tersebut. Baru-baru ini ia mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial, yakini niat kementeriannya yang hendak mengawasi nomer ponsel pribadi (HP) dan akun media sosial milik para dosen dan mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi.

Niat tersebut merupakan bentuk respon dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme (BNPT) yang membeberkan bahwa banyak perguruan tinggi di Indonesia yang telah terpapar paham radikalisme, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB). Berbagai universitas yang disebutkan tersebut merupakan universitas-universitas ternama di negeri ini. Selain itu, wacana itu juga diperkuat oleh dorongan atas peristiwa penangkapan tiga orang terduga teroris di Universitas Riau pada 2 Juni lalu oleh satuan anti teror, Densus 88.

Bagi saya wacana yang diutarakan oleh Menrisetdikti adalah sebuah bentuk sikap “anti-intelktualitas” dan “anti-demokrasi”, yang merupakan prinsip dan nilai yang selama ini melekat dalam lembaga tersebut. Lembagi ini adalah lambaga penerang bagi bangsa Indonesia, mengingat besarnya peran dari lembaga tersebut untuk mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri ini. Besarnya peran Kemenrisetdikti dalam hal tersebut seharusnya membuat lembaga itu bisa dengan hati-hati untuk menanggapi isu terorisme ini. Seharusnya, lembaga ini terlebih dahulu menidentifikasi akar dari berbagai tindakan teror yang terjadi di negeri ini, sebelum ia loncat pada kesimpulan yang sangat superfisial tentang akar dari tindakan teror yakni paham radikalisme. Kesimpulan tersebut pada dasarnya bentuk “pembebekan” Kemenrisetdikti kepada pemerintah. Padahal, seharusnya lembagi inilah yang bertanggung jawab memberikan masukan kepada pemerintah apa akar dari terorisme, bukan malah justru sebaliknya. Karena di bawah lembaga inilah para intelktual di negeri ini bersandar.

Anti-intelektualitas tersebut diperlihatkan dengan dangkalnya kesimpulan yang dibuat oleh Kemenrisetdikti tentang akar dari terorisme, yakni radikalisme. Definisi radikalisme itu sendiri tidaklah jelas, padahal dalam diskusi, debat, membuat tulisan-tulisan ilmiah haruslah terlebih dahulu menetapkan batasan dari topik utama tulisan atau diskusi, yakni definisi. Tanpa adanya definisi, maka pengertian dari kata “radikal” akan sangat bersifat subjektif, dan hal ini mencedarai prinsip yang diusung oleh tradisi keilmuan Barat yang saat ini kita adopsi. Artinya saya ingin mengatakan bahwa Kemenrisetdikti justru bersikap kontradiktif dengan prinsip tradisi keilmuan yang selama ini mereka pegang dan tanamkan, dan hal ini bagi saya adalah bentuk “Anti-intelektualitas” Kemenrisetdikti.

Meskipun begitu, anggapan umum di masyarakat menganggap bahwa pengertian dari paham radikal ialah paham yang mengajarkan pada kekerasan. Artinya jikalu radikalisme memiliki sebuah pengertian, yakni sebuah paham yang mengajarkan kekerasan, maka dalam hal ini makna radikalisme masih bersifat umum atau tidak disematkan atau dimonopoli oleh ajaran tertentu. Namun saat kita melihat realita yang ada, radikalisme selalu disematkan kepada ajaran Islam. Bahkan bagi kelompok Islam yang sama sekali tidak pernah menggunakan aksi-aksi kekerasan pun ikut dilebeli sebagai kelompok “radikal”. Di sini jelas terjadi inkonsistensi dalam memaknai kata radikal, ketidakkonsistenan tersebut jelas membuat kesesatan berfikir merebak di tengah-tengah publik. Jika hal ini terjadi, maka pemaknaan radikal akan sangat jauh dari kata “intelktualitas” karena tidak memiliki keajegan makna dan cenderung mencampuradukan makna yang saling berkontradiktif dalam satu kata tersebut.

Bentuk mencampuradukan tersebut dapat dilihat dari penggunaan makna radikal sebagai paham kekerasan dan di saat yang sama menudingkan kelompok Islam yang memegang teguh paham prinsip Islam sebagai “kelompok radikal”. Maka kelompok yang sebenarnya sama sekali bukanlah kelompok yang menggunakan cara-cara kekerasan akan terlebeli sebagai kelompok yang menghalalkan cara-cara kekerasan dalam segala tindakannya. Hal ini membuat citra kelompok tersebut di mata publik menjadi rusak.

Sebaliknya, kelompok lain yang ia menggunakan cara-cara kekerasan namun bukan bercorak Islam justru tidak disebut sebagai kelompok radikal. Maka di sini sudah jelas bahwa penggunakan kata radikal begitu bias dan sangat bermotif politis. Kemenrisetdikti seharusnya menghindari wilayah-wilayah seperti ini, dan seharusnya juga lembaga ini yang meluruskan bukan malah ikut melestarikan sesat pikir seperti tersebut.

Kembali lagi ke awal mengenai wacana untuk memonitori para intelktual. Nampaknya menrisetdikti enggan untuk belajar dari negara-negara lain. Perdebatan mengenai ini sebenarnya sudah jauh sejak lama terjadi di Barat. Wacana tersebut di Barat sana pun banyak menui penentangan, karena jelas bertentangan dengan demokrasi yang di dalamnya terdapat prinsip penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak privasi. Demokrasi sendiri merupakan nilai yang katanya diemban oleh negeri ini dan pemerintahan di negeri ini tentunya. Maka jelas bahwa wacana menrisetdikti tersebut menunjukan ketidakpahamanya terkait prinsip yang selama ini lembaga itu pegang atau justru sebagai bentuk penghiantannya terhadap nilai demokrasi, nilai yang lembaga itu agungkan.

Muhammad Iskandar Syah

virol tools instagram