Setelah beberapa waktu lalu BPJS kesehatan mendapatkan kritik, dimana isu mulai diperbincangkan mengenai layanan BPJS oleh Komite III DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI dengan menyoroti BPJS dan mempertanyakan perlukah BPJS dibubarkan ? hal ini disampaikan dengan menyoroti kinerja BPJS. Dimana Konsep dari layanan perlindungan sosial kesehatan di Indonesia yang dinilai masih ambigu, karena mencampuradukkan sistem jaminan sosial dengan asuransi. Akibatnya, kinerja BPJS Kesehatan yang merupakan institusi terdepan dalam menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional berjalan tidak memuaskan.
Baru-baru ini pihak BPJS Kesehatan mengancam peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) agar ikut serta patungan membayar pelayanan kesehatan yang diperoleh jika diketahui terjadi penyalahgunaan pelayanan. Hal Ini berarti kini layanan BPJS Kesehatan tak sepenuhnya gratis.
Dimana hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program JKN. Yang mana dalam Pasal 3 aturan tersebut juga berbunyi penyalahgunaan pelayanan yang dimaksud dipengaruhi oleh selera dan perilaku peserta.
Menurut Nila Farida Moeloek menyebutkan mengenai aturan yang ditekankan Menteri Kesehatan yang mana “Peraturan Menteri ini bertujuan untuk kendali mutu dan kendali biaya serta pencegahan penyalahgunaan pelayanan di Fasilitas Kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan” .
Namun hal ini belum menetapkan pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan. Yang mana Penetapan lebih lanjut dilakukan oleh Menteri Kesehatan dengan berdasarkan usulan dari BPJS Kesehatan, asosiasi fasilitas, dan organisasi profesi kesehatan. Dan juga Usulan tersebut harus disertai data dan analisis pendukung.
Berkaitan Penetapan penyalahgunaan dari pelayanan, maka Menteri Kesehatan akan membentuk sebuah tim yang akan bertugas melaksanakan uji publik, kajian, serta rekomendasi. Kemudian Setelah itu, menteri terkait mulai menetapkan atau menolak seluruh rekomendasi, kajian ini akan diumumkan paling lama satu pekan semenjak usulan atau rekomendasi sudah diterima.
Namun aturan ini akan mengecualikan Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang mana peserta PBI adalah sudah dibiayai oleh negara. Maka artinya, hanya peserta yang menerima upah dan peserta mandiri yang kemudian berpotensi untuk merogoh kocek lebih dalam untuk membayar urunan biaya pelayanan kesehatan, jika terbukti ada penyalahgunaan layanan kesehatan ini.
Kemudian dalam pelaksanaannya, fasilitas kesehatan diharuskan menginformasikan jenis pelayanan yang dikenai urun biaya, dimana hal ini termasuk estimasi besaran urunan biaya yang mesti dibayarkan peserta atau keluarga peserta sebelum akhirnya diberikan pelayanan kesehatan.
“Pemberian informasi sebagai dimaksud dilakukan secara langsung kepada peserta atau keluarga peserta, yaitu pada saat pendaftaran dan secara tidak langsung melalui media informasi yang dimiliki oleh fasilitas kesehatan,” sebagaimana pasal 6 PMK 51/2018.
Kebijakan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri. Dan kebijakan ini diklaim dapat mengendalikan mutu dan biaya serta pencegahan penyalahgunaan pelayanan yang terjadi di fasilitas kesehatan. Kemudian Kemkes juga telah memastikan bahwa kebijakan ini juiga akan disosialisasikan kepada masyarakat sebelum nantinya benar-benar dipraktikan.
Sosialisasi akan dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, asosiasi fasilitas kesehatan, dan atau organisasi profesi. Dimana hal ini tercantum Sebagaimana dalam pasal 3 ayat(1) tertulis bahwa besaran biaya urun BPJS yaitu terdapat nominal tertentu setiap kali melakukan kunjungan untuk rawat jalan, dengan ketentuan:
- sebesar Rp 20.000 untuk setiap kali melakukan kunjungan rawat jalan pada rumah sakit kelas A dan rumah sakit kelas B
- sebesar Rp 10.000 untuk setiap kali melakukan kunjungan rawat jalan pada rumah sakit kelas C, rumah sakit kelas D, dan klinik utama
- paling tinggi sebesar Rp350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah) untuk paling banyak 20 (dua puluh) kali kunjungan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan.
BPJS Kesehatan juga mengakui bahwa pihaknya pula menetapkan kebijakan urunan biaya 10% dari biaya pelayanan yang ditanggung oleh peserta sebagai tujuan untuk menekan defisit yang dialami lembaga tersebut.
Menurut Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Muhammad Arief juga mengakui beleid ini akan menekan defisit BPJS Kesehatan. namun menurutnya pula pengaruhnya tidak terlalu besar. Kemudian pihaknya juga menganggap bahwa kebijakan tersebut sebagai upaya untuk memberikan edukasi pada masyarakat agar kemudian selektif dalam penggunaan layanan kesehatan yang tidak mendesak.
Hal ini menambah daftar buruk penerapan Jaminan Kesehatan di Indonesia. Dimana konsep jaminan kesehatan yang ambigu, dimana mencampuradukan anatara konsep asuransi dengan konsep jaminan kesehatan sehingga seolah-olah negara tidak ikut andil dalam bagian jaminan tersebut, dan jaminan ini pun rakyat yang membiayai pula dan negara seolah angkat tangan.
Sehingga hal ini cukup merugikan masyarakat, masyarakat terus dikenakan biaya iuran namun layanan fasilitas kesehatan terkadang masih kurang memperhatikan peserta JKN. Disamping itu pula layanan BPJS yang terus dikritik oleh masyarakat mengenai buruknya pelayanan, selain itu pula terkadang masih ada biaya lain yang dibebankan kepada pasien, walaupun sudah menggunakan BPJS. Selain itu pemerintah seolah tak ingin merugi dengan menekan defisit dengan membebankan kepada masyarakat dan hal ini seolah memberikan beban baru bagi masyarkat dan seolah rakyat yang menggunakan rakyat yang harus menanggung.
Mimpi Jaminan Kesehatan Gratis
Layanan kesehatan yang diberikan di negeri ini seolah tidak berpihak kepada masyarakat dan kemudian layanan seolah masyarakat yang menanggung dan masyarakat yang menggunakan. Dan disebutkan pula bahwa sebenarnya layanan ini bukan gratis, namun adalah rakyat saling menanggung untuk kebutuhan kesehatan. Jadi yang membayar dan tidak sakit harus menanggung yang sakit. Sehingga seolah dimana fungsi negara sebagai pengatur urusan masyarakat, sebagai pelayanan masyarakat. Hanya membebankan kepada masyarakat untuk membayar dan menanggung sendiri kesehatannya. Negara telah abai dan seolah angkat tangan dengan Jaminan Kesehatan masyarakatnya. Dan padahal masyarakat terus membayar, masih saja dibebani dengan urunan lainnya, dan BPJS masih saja mengalami defisit. Dan disini sebenarnya menimbulkan pertanyaan besar, apakah pemerintah masih mengambil keuntungan dari Jaminan Kesehatan ini ?.
Dimana selain itu masyarakat sudah dibebani dengan berbagai iuran dan pajak, pajak terus digenjot. Dan pemerintah masih terus berhutang dan menambah hutang. Jaminan kesehatan gratis di negeri ini memang hanya mimpi, seolah tidak akan terjadi kesehatan yang serba gratis dan memuaskan. Seolah sudah menjadi pemahaman umum yang gratis ya seadanya.
Hal ini berbeda sekali dengan jaman kekhilafahan yang kemudian memandang hal ini sebagai sebuah hal yang sangat penting dimana layanan umum dan fasilitas utama dalam masyarakat, atau fasilitas yang menjadi hajat orang banyak menjadi sebuah perhatian khusus. Sehingga pelayanan kesehatan dalam Daulah Islam pada saat itu diberikan secara gratis tanpa membedakan di kota maupun di desa-desa. Semua diberikan fasilitas yang sama baiknya. Tidak ada pasien kelas I, kelas II, dst. Mereka mendapat perhatian setiap hari dalam pelayanan kesehatan. Rumah sakit pada masa Khilafah Abbasiyah dibiayai oleh negara dengan layanan nomor satu, bahkan, khalifah dan kaum Muslimin berlomba-lomba memberikan hartanya untuk membiayai rumah sakit masa itu. Sungguh sangat berbanding terbalik, antara Kesehatan dalam Sistem Islam dengan Sistem Kapitalisme Sekuler. Jelas sistem Islam lah yang memberikan keberkahan dan kebaikan.
referensi :
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190118162141-78-361979/aturan-baru-layanan-bpjs-kesehatan-tak-gratis-100-persen
http://bangka.tribunnews.com/2019/01/19/bpjs-kesehatan-tak-lagi-100-gratis-ini-rincian-biaya-peserta-jika-berobat-atau-dirawat?page=4