Sejak peristiwa 9/11 (diserangnya gedung World Trade Center dan Pentagon pada 11 September 2001), wajah islam seakan kelam. Agama Islam dituding sebagai agama yang menyebarkan paham terorisme. Padahal kita pun tahu bahwa peristiwa 9/11 tidak ada bukti bahwa dilakukan oleh Al Qaeda, padahal bukti yang dipaparkan tidak lah kuat dan Al Qaeda sendiri tidak mengklaim bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut. Kalau pun benar bahwa hal itu dilakukan oleh Al Qaeda, kita tahu bahwa apa yang Al Qaeda lakukan buknlah representasi dari ajaran di dalam Islam.
Namun propaganda dan upaya pembusukan wajah Islam begitu masif dilakukan oleh media-media Barat, intelektual, dan pemerintahannya. Meskipun begitu, tidak semua dari mereka yang mempropagandakan hal tersebut, ada juga yang masih memiliki akal sehat dan hati nurani. Saat itu hingga sekarang, Islam seakan menjadi agama teror. Mereka yang tidak paham dengan ajaran Islam dan terpengaruh dengan propaganda Barat akan dengan mudah menyematkan lebel agama teroris kepada Islam.
Maka bertolak dari itu, munculah sebuah ketakutan terhadap Islam di tengah-tengah masyarakat–terutama masyarakat Barat, yang dikenal dengan “Islamopobia”. Lalu apakah faktor-faktor dari islamopobia itu? Menurut Imam Masjid New York, Shamsi Ali, menyebutkan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan Islamophobia. Keempat faktor itu saling berjalin-kelindan dan harus dihadapi dengan baik oleh umat Islam.
Faktor pertama adalah, media, ya seperti yang penulis telah sebutkan sebelumnya, bahwa media sangat berperan dalam mengontruksikan dan menanamkan persepsi di tengah-tengah publik bahwa wajah Islam adalah wajah dari sebuah agama teror. Kita dapat melihat dari pemberitaan yang kerap kali menyudutkan Islam. Algoritma yang dipakai dalam media-media arus utama sangatlah bias. Bagaimana tidak, bayangkan tatkala ada tindakan teror yang menggunakan identitas Islam, misalanya saja takbir, atau bendera tauhid dan lain sebagainya, pasti saja media-media tersebut memberitakannya hinggah tak henti-henti. Namun sebaliknya, jika itu tidak mengatasnamakan Islam hanya sedikit diberitkan. Lebih parahnya lagi, jika orang Islam yang melakukan tindakan teror, maka hal itu merupakan representasi dari ajaran agamanya, sedangkan jika ia non-Islam maka hal itu tak lebih dari masalah pribadinnya, misalnya gangguan jiwa atau mental. Di sini jelas ada sesat pikir yang berusaha dibangun oleh media-media itu.
Misalnya saja peristiwa penembakan greja di negara bagian Texas, Amerika Serikat, Trump (selaku presiden Amerika) menuding bahwa sang pelaku sedang mengidap gangguan mental. Demikian juga dengan pemberitaan media di sana, narasi yang dibangun seirama denga yang dilayangkan oleh sang presiden. Namun hal ini tidak berlaku bagi orang Islam, saat peristiwa bom bunuh diri di New York beberapa saat lalu yang di lakukan oleh Sayfullo Saipov yang merupakan seorang muslim, narasi yang dibentuk oleh media bukanlah latar belakang kejiwaan sang pelaku, melainkan agama. Hal tersebut semakin membuktikan bahwa media berperan begitu vital dalam membusukan muka Islam.
Kedua, menurut Shamsi ialah agama sebagai kendaraan politik. Menurut dia, agama merupakan petunjuk hidup sementara politik merupakan bagian kehidupan manusia. Keduanya memang tak bisa dipisahkan karena menurut Imam Ghazali pun bahwa politik adalah wadah, sedangkan agama merupakan isinya. Maka jika sebuah isi atau apa pun itu tanpa diikat dengan sebuah wadah maka akan berceceran dan berhamburan. Namun yang dimaksud oleh Shamsi adalah oknum yang menjadikan agama sebagai alat politik, misalnya seperti yang banyak kita temui saat ini. Mereka orang-orang munafik (atau kafir) banyak yang bermuka baik dan ramah kepada umat Islam, namun ketika menjabat mereka menindas umat Islam. Hal tersebut merupakan contoh dari yang dimaksud oleh Shamsi.
Ketiga tentu saja adalah ketidaktahuan masyarakat. Banyak masyarakat (terutama masyarakat Barat) yang hanya mendapatkan gambaran Islam dari apa yang dipaparkan oleh media-media mereka. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki komparasi tentang berita atau gambaran Islam dari sumber lain. Hal ini jelas membuat persepsi mereka akhirnya terkontruksi oleh media-media Barat. Hal ini seperti yang telah disebutkan di awal bahwa media merupakan alat untuk mengondisikan dan mengontruksi opini masyarakat. Maka masyarakat yang nalar kritisnya telah mati akan dengan serta merta menelan begitu saja apa yang diberitakan oleh media, dan di sinilah letak ketidak tahuan mereka tentang Islam karena mereka tidak mendapatkan informasi yang berimbang terkait hal tersebut.
Keempat ialah ada ketakutan kemajuan Islam menjadi ancaman banyak orang. Seperti yang telah kita pahami bahwa peradaban Eropa dengan Islam di masa lalu adalah konfliktual atau selalu berkonflik. Keadan tersebut didorong oleh berbagai faktor, salah satunya adalah agama. Kita tahu bahwa ada dua agama besar di dunia ini, yakini Kristen dan Islam. Rivalitas dalam memperebutkan pengaruh dan penyebaran agama ini masih terus berlangsung dan hal ini yang menyebabkan banyak bangsa Eropa takut akan kebali jayanya Islam yang tentu saja akan mendominasi dunia ini.
Kita bisa lihat saat terdapat entitas politik yang merepresentasikan Islam, yakini kekhilafahan bagaimana bangsa-bangsa Eropa ingin menghancurkannya. Hal ini tentu saja karena selama entitas politik ini masih ada, maka mimpi untuk mendominasi dunia yang sejak lama diimpikan oleh Barat akan terganjal. Benar saja tatkala kekhilafahan runtuh di tahun 1926, negeri-negeri Islam seketika dipecah-belah dan dibagi-bagi untuk dimiliki dan dikendalikan oleh negara-negara imperelais.
Menurut Shamsi, seorang Muslim bukanlah makhluk sempurna. Sebab, kesempurnaan hanya milik Alquran dan Islam. Sehingga, ia meminta jangan pernah menyalahkan orang lain ketika menghadapi suatu permasahalan. Shamsi juga menyarankan supaya umat Islam membangun jaringan yang kuat. Ia mengaku bahwa banyak belajar dari Yahudi yang punya pandangan serupa dalam membangun kerajaan bisnis dan Israel. Sementara negara-negara Islam anggota PBB, tak pernah satu suara menyikapi permasalahan dunia. Selain itu, menurut dia, penting bagi umat Islam menguasai media (dengan membentuk sebuah entitas politik yang bisa merepresentasikan agama Islam).
Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus terus berusaha untuk ikut berperan dalam menghilangkan ketakutan terhadap Islam. Lebih jauh lagi, kita juga bisa berperan serta dalam kebangkitan Islam dengan kebali bangkitnya entitas politik yang benar-benar merepresentasikan umat Islam.
[ Muhammad Iskandar Syah Penulis Blog http://grenthink.blogspot.com ]