Indonesia sebagai negeri agraris tentu saja memiliki luas dan banyak sekali lahan yang kemudian dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Pertanian menjadi sangat familiar untuk masyarakat Indonesia khususnya di Pedesaan. Penduduk desa adalah masyarakat yang kebanyakan mata pencaharian sehari-harinya adalah bertani. Mereka banyak menjadi petani, baik menam padi, buah-buahan, sayur-sayuran dsb.
Mereka menanami sawah dan kebun baik miliknya sendiri maupun milik orang lain. Dalam hal bercocok tanam di lahan sendiri mungkin tidak begitu bermasalah. Namun ada yang kemudian menjadi permasalahan dalam masyarakat saat ini yaitu jika mereka bercocok tanam di lahan bukan miliknya, namun hanya sebatas menyewa lahan untuk ditanami. Hal ini tentu ada dasar hukumnya dalam Islam. Bahwa hal serupa juga pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Dalam masalah ini Rasul Saw bersabda :
“Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan saudaranya, jika ia enggan (memberikan) maka tahanlah tanahnya itu.” (HR. Bukhari)
Kemudian selain itu Rasulullah juga telah melarang sebagaimana dalam hadis shahih riwayat Muslim bahwa, Rasulullah Saw telah melarang mengambil upah sewa (Ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah.
Sehingga dari hadis diatas bahwa ditarik kesimpulan berkenaan dengan yang sering terjadi di masyarakat kita yaitu saling menyewakan tanah untuk ditanami. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh Rasulullah Saw sebagaimana hadis-hadis diatas yang melarang untuk menyewakan lahan pertanaian (ijaratul ardh).
Walaupun dalam hal ini sebagian ulama berpendapat untuk membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil atau yang biasa disebut dengan Muzara’ah. Dengan dasar bahwa pernah Rasulullah Saw bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah Saw dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Namun dalil ini kurang kuat untuk dijadikan dasar dibolehkannya sewa tanah pertanian, karena tanah Khaibar merupakan tanah yang bukan tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Sehingga muamalah yang dilakukan Nabi Saw adalah bagi hasil dari hasil merawat pohon yang sudah ada, atau yang bisa disebut dengan Musaqat, dan bukanlah bagi hasil dari tanah yang awalnya kosong dan kemudian baru ditanami (Muzara’ah).
Tanah Khaibar merupakan tanah yang sebagian besar merupakan tanah yang berpohon dan telah ditanami kurma, dan hanya sebagain kecil dari tanah Khaibar yang kemudian belum ditanami dan dapat ditanami atau tidak berpohon. Sehingga Muzara’ah masih dapat didiskusikan hukumnya.
Dalam hal menyewakan tanah ternyata masih ada pengkhususan bahwa larang menyewakan tanah pertanian adalah khusus untuk lahan pertanian atau tanah yang kemudian dijadikan lahan pertanian atau untuk ditanami pada tanah tersebut.
Lain hal nya jika tanah yang disewakan adalah untuk dijadikan lahan selain pertanian atau lahan tersebut tidak ditanami. Misalnya disewa untuk membuat rumah, kandang, untuk berjualan, atau untuk dibuat sebagai gudang (penyimpanan), untuk menjemur padi atau gabah, kolam ikan atau untuk hal lain yang sifatnya tidak bercocok tanam pada tanah tersebut maka hal tersebut diperbolehkan. Hal ini dibolehkan karena tidak ada dalil dalam syariat yang melarang hal tersebut. Sehingga terkhusus untuk lahan yang tidak digunakan untuk bercocok tanam maka hal ini boleh-boleh saja. Sehingga dalam sewa menyewa tanah adalah dilarang untuk menyewakan tanah untuk ditanami namun boleh untuk keperluan lain selain untuk bercocok tanam. Wallahu’alam bis shawab
Referensi :
An-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam