Al Liwa Organizer
Gaungan akan peristiwa perang yang terjadi di Suriah di tengah-tengaah masayarakat Indonesia masih begitu minim. Hal ini tidak begitu mengehrankan, selain disebabkan oleh minimnya pemberitaan media di Indonesia terkait perang tersebut, juga disebabkan karena mereka yang mengetahui atau terlebih yang paham terkait seluk-beluk perang di sana justru memilih untuk bersikap apatis, atau tidak mengartikulasikan pengetahuaanya ke tengah-tengah masayarakat Indonesia. Efeknya seperti yang terjadi saat ini, meskipun pembantaian di sana terus berlangsung, namun kita hanya bisa diam atau malah masih mengatakan “aku tidak tahu dan tidak mau tahu”. Padahal sudah belasan juta masayarakat yang menjadi korban keganasan perang di sana. Maka berangkat dari hal tersebut, hadirnya tulisan ini sebagai materi untuk mencerahkan masayarakat Indonesia tentang peristiwa perang yang terjadi di Suriah.
Suriah telah dilanda konflik vertikal (konflik yang terjadi antara pemerintah dengan rakyatnya) sejak tahun 2011, saat sebagian masayarakat Suriah (oposan) melakukan aksi demonstarasi besar-besaran efek dari feneomena “Arab Spring” yang melanda wilayah Timur Tengah waktu itu. Arab Spring sendiri merupakan sebuah istilah dalam dunia politik internasional untuk menyebut sebuah rangkaian tumbangnya diktator-diktator Arab pada kisaran tahun 2010 hingga 2012. Peristiwa tersebut juga melanda Suriah dan menjadi pemantik perang yang terjadi di negara itu yang masih berlangsung hingga saat ini.
Menurut Peter Jones dalam International Journal 67.2 (2012), terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya peristiwa Arab Spring yang melanda negara-negara Arab. Pertama, kemiskinan; kedua, lemahnya kesempatan ekonomi bagi sebagian besar warga; dan ketiga, rezim yang represif dan tidak disukai oleh rakyatnya. Ketiga faktor tersebut kala itu juga dimiliki oleh Suriah. Namun begitu, Jones menyatakan bahwa faktor yang paling utama terjadinya instabilitas di wilayah Timur Tengah kala itu lebih disebabkan oleh faktor kurang kuatnya legitimasi rezim di mata rakyat.
Tidak berbeda jauh dengan Jones, Jānis Bērziņš dalam Strategic Review No. 07 August 2013 yang diterbitkan oleh National Defence Academy of Latvia Center for Security and Strategic Research, menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan reformasi di Suriah justru bertrasformasi menjadi bencana perang. Pertama, meskipun rezim al Assad mengklaim bahwa pemerintahannya berusaha untuk menumpas sektariansime di tengah-tengaah rakyatnya, namun pada parktiknya al Assad justru menjalankan politik pecah belah (divide and conquer) seperti yang dijalankan oleh Raja Philip II dari Makedonia (382-336 SM) terhadap negara-kota di Yunani. Kedua, reformasi ekonomi yang diinisiasi oleh al Assad untuk stabilitas ekonomi dan menguatkan sektor privat di internal negaranya justru berdampak pada tingginya tingkat pengangguran di sana. Selian berdampak pada meningkatnya angka pengangguran, reformasi ekonomi juga menyebabkan terkonsentrasinya kapital pada segelinter orang saja (kesenjangan pendapatan yang begitu tinggi).
Memang terjadi peningkatan persentase investasi terhadap GDP di masa pemerintahan al Assad, yakni dari 17% di awal masa pemerintahannya (2000) melonjak menjadi 23% di tahun 2007. Namun peningkatan nilai investasi tersebut sebagian besar berkutat dalam sektor non-riil sehingga tidak berdampak pada peningkatan lapangan kerja bagi rakyat Suriah. Sebaliknya, sektor yang banyak menyerap tenaga kerja justru mengalami penurunan, seperti sektor pertanian yang di tahun 2000 sebesar 16% menjadi hanya 9% di tahun 2007. Demikian juga yang terjadi dalam sektor industri riil yang bergerak pada bidang produksi barang dan jasa.
Menurut sumber resmi menyatakan bahwa di tahun 2009 tingkat pengangguran di Suriah mencapai 8,1%, dan di tahun 2010, persentase kemiskinan di negara ini mencapai hingga angka 34,3%. Sebagian besar kemiskinan terkonsentrasi di wilayah perkampungan, yakni mencapai angka sekitar 62%. Jumlah yang dibelanjakan oleh warga Suriah untuk kebutuhan pokoknya, kala itu juga mengalami penurunan, sehingga berbagai faktor ekonomi tersebut semakin menegasakan legitimasi rakyat Suriah untuk melakukan perlawanan kepada pemerintahnya.
Ketiga, represivitas rezim al Assad, di saat kondisi ekonomi yang carut-marut, tingkat korupsi di tubuh rezim yang begitu tinggi, dan munculnya isu sektarianisme yang merupakan hasil dari rezim itu sendiri, akhirnya membuat rakyat yang sebagian besar Islam Sunni turun kejalan untuk melakukan aksi demonstarasi. Namun aksi tersebut justru direspon secara brutal oleh al Assad melalui pasukan keamanannya. Sikap represif yang dipertontonkan oleh al Assad kepada rakyatnya bukan malah membuat rakyatnya takut, mereka justru semakin bersikap radikal terhadap pemerintahnya. Maka sejak saat itu, perang antara rakyat Suriah dengan pemerintahnya tidak bisa dihindarkan lagi.
Pemicu yang lebih spesifik terjadinya glombang demonstarasi di Suriah ialah tatkala ditahannya sekelompok anak-anak yang berusia antara 9 hingga 15 tahun oleh pasukan keamanan rezim Bashar al Assad (Presiden Suriah). Anak-anak tersebut di tangkap disebabkan oleh tindakan mereka yang menuliskan sebuah grafiti pada dinding sekolah yang berisikan seruan supaya Pemerintah Suriah saat itu harus mundur. Selain ditahan, para anak tersebut juga mengalami penyiksaan yang keji dari pasukan keamanan rezim saat itu. Puncaknya saat salah seorang dari anak-anak tersebut meninggal dunia dan mayatnya di letakan begitu saja di pinggir jalan kota Deraa–salah satu kota di sebelah selatan Suriah yang merupakan tempat asal dari anak-anak tersebut. Akhirnya munculah demonstarasi besar di kota ini, namun demonstarasi tersebut justru direspon secara represif oleh pasukan keamanan al Assad. Mereka (para demonstran) ditembaki oleh pasukan keamanan al Assad, dan sebagian dari mereka juga ada yang ditahan.
Menurut John McHugo dalam bukunya yang berjudul “Syria: A History of the Last Hundred Years”, menyebutkan bahwa saat para demonstran tersebut direspon secara represif oleh rezim, maka mereka mulai bertindak agresif dengan menyerang kantor-kantor pemerintahan di sana. Serangan tersebut kembali direspon dengan tindakan yang lebih brutal oleh pasukan keamanan Suriah, dengan menyerang rumah sakit dan warga sipil yang tidak bersalah. Pada 25 Maret 2011, pasukan keamanan Suriah menggerebek sebuah masjid yang digunakan sebagai klinik kesehatan sementara oleh warga yang mengalami cidera karena brutalitas rezim al Assad. Dalam penggerebekan tersebut dilaporkan bahwa sebanyak 15 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami cidera.
Pada awalnya tindakan brutal yang dilakukan oleh al Assad kepada rakyatnya tindak membuat konflik di sana meluas, namun tatkala al Assad sebagai kelompok Alawite (salah satu sekte Syiah dan merupakan kelompok minoritas di Suriah–banyak berbasisi di wilayah Latakia) terbukti melakukan pembantaian terhadap rakyatnya yang menentang otoritasnya (sebagian besar Sunni), maka konflik di sana pun akhirnya bermuara pada meluas konflik ke seluruh penjuru negeri Suriah.
[Bersambung]