Lingkar Cendekia
Hoax seakan menjadi kanker dalam masyarakat. Ia menggrogoti kepercayaan di tengah-tengah masyarakat. Hoax merupakan konsekuensi yang memang sulit kita hindarkan dari perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Apalagi ditambah dengan struktur bangunan masyarakat kita yang masih berkutat dengan lumpur kemalasan untuk mencari tahu membuat hoax mudah untuk dipercayai oleh sebagian orang, atau malah justru disebarkannya. Perkembangan teknologi komunikasi tanpa diiimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama dalam segi pendidikan, maka akan menghasilkan wabah hoax yang merebak di tengah-tengah masyarakat.
Hoax sendiri telah mengalami evolusi yang panjang, fenomena ini bukanlah hal baru dalam perkembangan sejarah manusia. Hoax sudah ada sejak lama, hanya wahjah dan caranya saja yang berganti. Bahkan pada zaman nabi pun, hoax banyak disebarkan oleh orang-orang jahiliyah tentang peribadi nabi, seperti nabi seorang tukang sihir, orang gila, dan lain sebagainya. Namun saat itu, penyebaran hoax hanya terbatas menggunkan media oral, atau dari mulut ke mulut.
Seiring perkebangan zaman–yang diikuti dengan perkembangan media komunikasi–hoax pun ikut mendopleng dengan media tersebut, yakni saat media cetak atau tulisan menjadi populer terutama di belahan dunia Barat. Hoax akhirnya disebarkan melalui pamflet-pamflet ke tengah-tengah masyarakat, dan media cetak lainnya–termasuk koran. Misalnya saja seperti apa yang dilakukan oleh Benjamin Franklin pada 17 Oktober 1745 dalam Pennsylvania Gazette (salah satu surat kabar terpopuler di AS kala itu). Di sana ia menuliskan bahwa sebuah bahan yang disebut sebagai Batu Cina (Chinese Stone) dapat menyembuhkan rabies, kanker, dan berbagai penyakit ringan. Verifikasi dari obat tersebut hanya dari testimoni orang tanpa adanya riset secara ilmiah. Namun seminggu setelah Franklin menulis hal tersebut, diketahui bahwa bahan itu sama sekali tidak mengandung unsur yang bisa menyembuhkan (obat).
Saat ditemukannya internet, penyebaran hoax begitu mudah dilakukan. Apalagi ketika hoax itu bisa digunakan sebagai tujuan politik, maka peredarannya begitu massif di dalam masyarakat. Pada Abad ke-21, kasus hoax terbesar sepanjang sejarah ialah apa yng dituduhkan AS dan koalisi Baratnya terhadap Iraq. Pasca tragedi 9/11, yakni saat New York diserang oleh teroris yang menurut AS didalang oleh Al Qaeda. Maka sajak saat ini AS mendeklarasikan perang terhadap teroris ke seluruh dunia. Afghanistan menjadi korban utama perang AS tersebut, disusul kemudian Iraq di bawah kepemimpinan rezim Saddam Husein. Saddam dituduh melindungi teroris, ia juga dituduh menyembunykan senjata pemusnah massal. Tuduhan tersebut disebarluaskan oleh AS ke seluruh dunia hingga terbentuk suatu opini umum bahwa Iraq di bawah kepemimpinan Saddam Husein merupakan “negara setan”. Ketika masyarakat berhasil dibentuk opininya, yakni sepakat dengan konstruksi yang dikehendaki oleh AS bahwa Saddam memiliki senjata pemusnah massal, maka langkah selanjutnya menyerang negara itu atas jastifikasi serangan prventif.
Saat Saddam berhasil digulingkan dari tampuk kekuasaannya, ternyata dikemudian hari tidak tiketemukan secuilpun senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan oleh AS terhadap rezim Saddam. Meskipun jumlah korban jiwa dalam Perang Iraq tersebut mencapai 5 juta dan tuduhan AS tidak terbukti–ditambah lagi Iraq sudah menjadi neraka karena luluh lantak karena ulah AS dan aliansinya, namun begitu sampai detik ini AS tidak kunjung meminta maaf kepada rakyat Iraq. Ia (AS) hanya menyatakan bahwa itu kesalahan data intelijen mereka. Bayangkan inilah hoax terbesar sepanjang sejarah umjat manusia.
Mereka yang punya semangat akan perubahan, namun malas untuk menggali informasi adalah korban hoax yang paling sadas. Bagaimana tidak, orang-orang seperti ini akan dengan suka rela bahkan penuh semangat untuk menyebarkan informasi baru yang sekiranya mendukung perjuangan mereka atau sejalan dengan nilai-nilai mereka tanpa mengedepankan sikap kritis mereka. Maka tatkala informasi itu sudah tersebar secara luas, sedangkan itu merupakan informasi bohong, maka dampaknya akan begitu besar, seperti yang terjadi dalam Perang Iraq tersebut. Maka dengan demikian, kita sebagai agen perubahan dan menginginkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik di tengah-tengah masyarakat kita harus senantiasa memupuk sikap kritis kita terhadap informasi-informasi yang kita terima, dan yang terpenting janganlah kita malas untuk membaca.