Ciri utama dari seorang intelektual adalah dalam setiap pertempuran dan penolakan dari sebuah narasi selalu mengdepankan intelektualitasnya. Berbeda dengan kelompok lain, seorang intelektual akan dengan teliti dan sabar untuk menggempur wacana yang tidak disukainnya dengan cara yang intelek. Apa itu cara yang intelek? Cara intelek adalah sesuai dengan kaedah ilmu pengetahuan yang ilmiah.
Lalu bagaimana jika ditemuai sekelompok intelektual yang mestinya bergulat gagasan, namun justru bergulat menggunakan fisik? Hal ini ditemui di UIN Walisongo, Semarang. Saat itu tengah diadakan Serial Seminar Nasional dengan tema “Pendidikan Pemilih Pemula untuk Pemilu Becik tur Nyenengke” yang diselenggarakan di Laboratorium Dakwah Kampus III UIN Walisongo, Semarang. Acara yang ditujukan untuk membuka wawasan mahasiswa di sana supaya melek pemilu ini bukannya malah diapresiasi, tapi justru hendak dibubarkan dan diricuhi oleh PMII (salah satu organisasi mahasiswa). Menurut Ketua Pantia dalam acara tersebut, yakini Affa, pihak penyelenggara sudah mematuhi perizinan sesuai yang ditetapkan oleh regulasi kampus. Menurut pemaparan dirinya yang dikutip dari koransemarang.com, “Kami sudah buat izin dan diizinkan”.
Selai itu, pihak penyelenggra juga menyampaikan bahwa, mereka telah melakukan komunikasi dengan pihak kampus di sana, statusnya bukan meminjam melainkan menyewa. Terang apa, “kami ini sudah melakukan komunikasi dengan pihak kampus, status kita bukan meminjam tapi menyewa. Dan kami juga sudah melunasi pembayaran”. Dalam acara tersebut, dihadiri oleh cukup banyak peserta, yaitu kurang lebih 300 pendaftar. Mereka (calon peserta) yang hendak ikut berpartisipasi dalam seminar mengaku kecewa terhadap perilaku pihak yang menggagalkan acara tersebut. Elly, seorang mahasiswa Dakwah semter pertama mengungkapkan bahwa dirinya kecewa dengan pihak yang membubarkan seminar tersebut, menurut dia seharusnya acara yang seperti ini didukung penuh, bukan malah justru dibubarkan.
Selain Elly, mahasiswa lain juga menguangkapkan kekecewaannya. Ia adalah Faqih, mahasiswa syariah semester lima. Dikutip dari Harian Jateng, ia menyatakan bahwa sikap anarkis untuk membubarkan ini merupakan sikap jahiliyah dan sangat tidak berdasar. Ia mengungkapkan, “mereka itu maunya apa, ricuh mau membubarkan tapi tak punya dasar. Kalau mahasiswa sikapnya jahiliyah, mau dikemanakan intelektualitas dan objektivitas mahasiswa?”.
Di sisi lain, Kasubbag Admistrasi Umum dan Kepegawaian, yakini Bapak Muhammadun, S. Ag. MM, menyampaikan empat poin. Pertama, Kasubbag AUP menyatakan bahwa transaksi peminjaman gedung Labdakom oleh HMI telah sah dengan tanda menerima kuitansi pembayaran dari PPB dan surat peminjaman tempat dari HMI. Kedua, Kasubbag AUP menyatakan sebelumnya sudah didatangi pihak Dema dan Sema untuk membicarakan masalah agenda HMI dengan mempermasalahkan HMI melanggar aturan, yaitu tidak konfirmasi kepada Sema dan Dema terkait penyelenggaraan agenda. Akan tetapi, Sema dan Dema tidak membawa bukti tertulis peraturan yang dimaksud. Mereka mengaku peraturan itu sudah ada sejak dulu/turun-temurun. Ketiga, Kasubbag AUP menyatakan tidak mengetahui peraturan bahwa organisasi ekstra yang akan mengadakan agenda di kampus harus izin kepada Sema dan Dema terlebih dahulu. Mengingat, tidak ada bukti peraturan tertulis. Dan keempat, menanggapi perselisihan tersebut, Kasubbag berpegang pada legal formal penyewaan gedung yang sudah sah. Sehingga Labdakom tidak seharusnya disegel.
Sebelum diadakan sebuah audiensi di kantor Dema, pihak Presma dan jajarannya bersedia acara tersebut dilangsungkan, asal dengan catatan banner dicopot dan tidak peserta dilarang memakai atribut organisasi. Padahal sebelum-sebelumnya, kebiasaan PMII di Walisongo juga turut serta untuk memanfaatkan gedung kampus untuk agenda pihaknya. Mengutip dari Harian Jateng, Arif Rohman Hakim sebagai Sekretaris Umum HMI Walisongo sungguh menyesalkan permintaan tersebut. Ia mengatakan, “biasanya mereka itu (PMII) juga mengadakan kegiatan bersama dengan memanfaatkan gedung kampus. Ini kami punya banyak datanya”. Ia melanjutkan, “Kami (HMI) yang sudah memnuhi izin dan sdah membayar sewa kok justru diributkan”.
Menurut sekertaris HMI tersebut, HMI juga ingin berperan serta dan mengharumkan nama UIN Walisongo. Oleh karena itu, HMI mendatangkan pemateri yang kapabel dibidangnya. Terang Hakim, “Kami ini tidak main – main untuk ikut mengharumkan nama kampus (UIN Walisongo). Sehingga, kami mendatangkan sekelas Dr. Ferry Kurnia Rizkyansyah (Komisioner KPU RI 2012 – 2017) dan M. Hakim Junaidi M.Ag (Komisioner KPU Jawa Tengah) supaya menaikan wawasan mahasiswa dan sekaligus citra kampus”.
Menurut pemaparan dari pihak Pusat Pengembang dan Bisnis UIN Walisongo, status HMI dalam acara tersebut adalah sebagai penyewa karena telah menyelesaikan prosedur dan administrasi. “ya, status pihak HMI adalah penyewa, dema dan sema dan pihak lain tidak wenang mencekal kegiatan tersebut”, terangnya dalam acara audiensi.
Namun begitu, pihak fasilitator yang dalam hal ini ialah Dema, mereka cenderung membela pihak pericuh yang tentu saja sama sekali tidak berdasar. Menurutnya (Dema), HMI harusnya melaksanakan seminar tersebut di luar kampus. Pihak Dema menerangkan, “HMI harus pindah ke luar kampus, mengingat keselamatan peserta yang terancam”.
Hal tersebut jelas bahwa seorang intelektual yang mestinya melakukan perlawanan dengan ide dan gagasan-gagasannya, namun justru bertindak dengan cara tidak sportif. Bahkan lebih parah, tindakan pembubaran tersebut layaknya seorang preman di jalanan. Padahal kita tahu, kampus merupakan tempat untuk mengasah intelektualitasnya, bukan sebagai ajang membubarkan sebuah acara yang bermanfaat.
Semoga dengan acara ini, masing-masing pihak, terutama pihak yang mengaku selalu mengedepankan toleransi dalam segala aktivitasnya dan menjungjung intelektualitasnya bisa sama-sama saling introspeksi. Mengingat mahasiswa merupakan garda terdepan dalam setiap perjuangan, dan jika mahasiswa saat ini justru terpecah belah, maka mimpi untuk melawan penindasan dan ketidakadilan di bumi Indonesai ini hanya akan menjadi mimpi semata, tanpa ada realisasi yang konkret karena masing-masing golongan bangga dengan benderannya masing-masing. Akhirnya, rakyat pula lah yang akan menjadi korban keegoisan para mahasiswa. Kita sebagai intelektual boleh berbeda, namun perbedaan itu seharusnya kita jadikan sebagai alat untuk beradu argumen dan gagasan. Bukan beradu secara fisik apalagi main bubar-membubarkan, karena hal tersebut bukanlah mencerminkan prilaku seorang intelektual.
Kalau kita masih merasa intelektual, maka hal tersebut nampaknya harus segera dihilangkan. Namun jika sebaliknya, kita adalah seorang intelektual namun rasa preman, maka sudah sangat wajar kiranya kita melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap intelektual lain di kampus. Namun jika kita sebagai intelektual yang rasa preman, sungguh betapa memalukanya kita. Maka seorang intelektual sejati ialah dia yang intelektual dan rasanya juga intelektual.
[MIS]