Yopi Makdori
Pada 18 Februari 2016, Sri Lestari yang merupakan seorang wartawan BBC Indonesia, menulis sebuah artikel di halaman media tempat ia bekerja dengan tajuk ‘Anak-anak muda Indonesia makin radikal?’. Dalam tulisannya, Lestari memaparkan temuan LIPI bahwa terjadi trend Islamisasi (radikalisasi) di kalangan anak muda di Indonesia.
Tidak beda jauh dengan tulisan Lestari, Jun Suzuki yang merupakan seorang penulis di Nikkei Asian Review, pada Oktober 2017, juga menuliskan hal yang senada. Suzuki melihat bahwa negara yang memiliki persentase GDP 40% dari keseluruhan negara di Asia Tenggara ini lebih terbuka (menerima) versi “radikal” dari ajaran Islam. Ia memandang bahwa kemenangan Anies Baswedan melawan Ahok untuk menduduki jabatan Gubernur Jakarta merupakan bentuk kemenangan golongan “fundamentalis” seperti FPI (Front Pembela Islam) dan organisasi sejenis.
Umar Juoro yang merupakan seorang anggota senior pada Center for Information and Development Studies pada September 2017, memaparkan pandangannya dalam laman Huffingtonpost terkait hal yang semacam. Ia melihat bahwa Indonesia sedang terjangkit wabah populisme seperti yang melanda Barat. Perbedaannya populisme di Barat memiliki karaktersitik anti-asing, nasionalisme, dan anti-Islam, sedangkan di Indonesia wabah populisme diwarnai dengan sentimen anti-China dan nasionalisme ekonomi (economic nationalism).
Juoro melihat bahwa menguatnya populisme di Indonesia didalangi oleh kelompok Islam radikal seperti FPI. Ia memaparkan bahwa meningkatnya atmosfer Islam fundamentalis di Indonesia berimplikasi secara luas dalam berbagai bidang, sperti sosial, politik, dan juga ekonomi.
Bukan Tudingan Baru
Tudingan terhadap menguatnya Islamisasi di Indonesia bukan hanya terlontar beberapa tahun belakangan ini. Lebih dari satu dekade lalu, Jurgen Kremb menulis sebuah ulasan yang sama tentang kekhawatiran terhadap meningkatnya fundamentalisme di Indonesia. Dalam tulisan yang dimuat media Jerman, Spiegel Online pada Juni 2007 tersebut mengisahkan tentang meningkatnya konservatisme Islam di negara yang berpenduduk mayoritas Muslim ini akan mengancam iklim toleransi di negeri tersebut.
Tulisan Kremb yang bertajuk “Indonesia Secular State under Siege” lagi-lag menjadikan aksi yang dilakukan oleh kelompok FPI sebagai indkator meningkatnya fundamentalisme Islam di negara ini. Selain aksi yang dilakukan FPI, Kremb menjadikan meningkatnya penggunaan hijab di kalangan wanita Indonesia dan meningkatnya jumlah jama’ah haji ke Mekkah, serta sulitnya menemukan minuman beralkohol sebagai indkator penguatan fundamentalisme di negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di duni ini.
Negara Sekuler yang Berjiwa Religius
Ide sekulerisme di Indonesia pada dasarnya adalah bentuk pemaksaan. Masyarakat yang sebenarnya “tidak menghendaki” proses sekulerisasi, namun dipaksa harus mengalami proses tersebut demi memuaskan nafsu demokrasi. Penerapan demokrasi di negara ini memang dibilang belum berumur panjang jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa. Namun begitu, perkembangan demokrasi di Indonesia dilihat begitu potensial.
Demokrasi dan sekulerisme merupakan satu paket. Keduanya tidak bisa dipisahkan bagaikan “Smartphone dengan Batrainya”. Smartphone tanpa batrai tidak akan berfungsi, dan batrai tanpa Smartphone tidak akan berguna. Begitupun dengan demokrasi, demokrasi tanpa sekulerisme akan pincang–kalau tidak mau disebut “demokrasi ala kadarnya”. Dan sekulerisme tanpa demokrasi bukanlah apa-apa–tidak punya tujuan. Begitulah analogi sederhananya.
Indonesia sebagai negara yang berkomitemen terhadap demokrasi tentu saja “wajib” untuk melakukan sekulerisasi, atau pemisahan agama dengan hal-hal yang berbau duniwi, seperti politik-pemerintahan. Namun apakah masyarakat Indonesia mau untuk menerima konsekuensi tersebut? Tentu saja tidak.
Pada paragaraf-paragaraf sebelumnya terlihat bahwa banyak penulis yang memandang bahwa di Indonesia terjadi peningkatan trend akan konservatisme Islam. Trend tersebut bukanlah mitos yang dibuat-buat oleh para penulis, namun memang demikian realitanya. Kita pasti ingat peristiwa beberapa tahun lalu yang mempertontonkan jutaan umat Islam dari seluruh Indonesia untuk tumpah di Jakarta sebagai upaya untuk menuntut Pelaksana Tugas Gubernur Jakarta, Ahok supaya dipidanakan. Jumlah tersebut baru yang datang ke Jakarta, di kota-kota lain di seluruh Indonesia juga melakukan hal yang semisal.
Saya sendiri kerap kali melihat bahwa hampir sebagaian besar rakyat Indonesia menggunakan parameter “keagamaan” untuk menentukan pilihan hidup mereka, termasuk memilih pemimpin. Hal ini bukanlah mengada-ada, kita bisa lihat bagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terjebak pada bias politiknya sendiri. Kubu Jokowi yang dikenal “liberal” dan sekuler (klaimnya terhadap penegakan nilai-nilai demokrasi) selama ini, untuk menghadapi lawan tunggalnya dalam Pemilu yang akan diberlangsungkan beberapa bulan kedapan justu meminang seorang kiyai yang karir politiknya tidak begitu terlihat. Hal tersebut jelas menunjukan bahwa Kubu Jokowi melihat bahwa masyarakat Indonesia menolak bentuk-bentuk sekulerisme. Makanya ia (kubunya) bermanuver politik untuk memilih pendamping yang bisa mengeruk suara umat Islam yang katanya “fundamentalis”.
Menang Secara ‘Ragawi’
Islam memang sudah digandang-gandang oleh beberapa ilmuan Barat akan bertentangan dengan demokrasi. Doktrin Islam yang pada dasarnya jelas menentang sebagian besar nilai yang terkandung dalam demokrasi melatarbelakangi prediksi tersebut. Beberapa pihak berusaha mencoba mencari alternatif supaya nilai-nilai Islam dapat diakomodir oleh demokrasi–atau sebaliknya, namun sulit untuk menemukan titik temu–kalau tidak mau disebut mustahil.
Di negeri ini, demokrasi memang mendapatkan kemenangan dengan diterapkannya tata aturan dan doktrin demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Namun begitu, kemenangan demokrasi hanyalah kemenangan yang bersifat “ragawi”. Artinya ialah bahwa memang benar demokrasi diterapkan di negara ini–meskipun hanya dalam bentuk prosedural–namun masyarakat secara luas menentang doktrin-doktrin demokrasi, seperti penghormatan terhadap LGBT, menegasikan parameter “agama” dalam memilih pemimpin, kebebasan mengekspresikan diri (pornogarfi), sekulerisme, dan ajaran-ajaran lainnya yang bukan hanya bertentangan dengan ajaran Islam namuan juga nilai lokal bangsa Indonesia itu sendiri. Islam memang tidak diterapkan dalam mode bernegara (politik-pemerintahan) di Indonesia, namun begitu ruh ajaran Islam pada dasarnya mengalir deras dalam darah masyarakat Indonesia.