Sejarah Desa Jengkok dan Penghayatan Demokrasi

Posted on

Jengkok merupakan naman salah satu desa di wilayah adminstratif kecamatan Kertasemaya, Indramayu. Jengkok sendiri dalam bahasa Indramayu berarti kursi pendek yang umumnya terbuat dari papan kayu.

Desa Jengkok di mata saya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan desa-desa di wilayah Indramayu pada umumnya. Desa ini cukup dekat dengan desa tempat saya lahir dan dibesarkan, Lemahayu (+-2km). Desa ini merupakan akses utama dari jalan Pantura untuk menuju desa-desa lain di sekitarnya, seperti Tegalwirangrong, Lemahayu, dan Jambe.

Tools Broadcast WhatsApp

Menurut legenda asal-usul nama Jengkok ialah dari sebuah kisah kala Nyi Tenajar dan Ki Jarkasih membabad (menebang pohon di hutan belantara untuk dijadikan sebuah perkampungan) tanah yang sekarang dinkenal dengan desa Tenajar–desa tetangga Jengkok. Sebelum membabad wilayah Tenajar, Nyi Tenajar beristirahat di hutan yang tidak jauh dari Tenajar. Supaya bisa beristirahat dengan nyaman, Ny Tenajar dan Ki Jarkasih membuat sebuah tempat duduk pendek yang terbuat dari kayu (disebut dengan Jengkok) di wilayah itu. Maka dari peristiwa itulah nama desa Jengkok tercipta.

Namun begitu, terdapat versi lain yang kisahnya serupa namun tokohnya berbeda. Menurut versi para orang tua di desa Jengkok tokoh yang dimunculkan ialah Mbah Kuwu Cirebon–Walang Sungsang/Cakrabwana. Nama Jengkok memang sudah muncul sejak lama, bahka sebelum terbentuknya pemerintahan desa Jengkok itu sendiri.

Menurut blog sejarah historyofcirebon.id (yang mereka kutip dari Profil Resmi Desa Jengkok 2017), Pemerintahan desa Jengkok terbentuk pada tahun 1946. Wilayah Jengkok sebelum tahun tersebut masih bergabung dengan wilayah desa Candangpinggan. Lepasnya desa Jengkok dari desa Candangpinggan begitu politis.

Pendirian Desa Jengkok dimulai dari sebuah gerakan politik yang dilakukan oleh Ki H. Nakilah dan Ki Katub. Kedua orang tersebut merupakan tokoh kunci dalam gerakan politik yang menghendaki lepasnya Jengkok dari wilayah desa Candangpinggan. Mereka berdua melakukan agitasi politik kepada masyarakat Secang, Pondokasem, dan Jengkok sendiri (Secang dan Jengkok menjadi blok di wilayah desa Jengkok, sedangkan Pondokasem menjadi desa tersendiri yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Cirebon). Berkat agitasi politiknya, mereka berhasil mengumpulkan sejumlah warga dari ketiga wilayah tersebut untuk membuat huru-hara politik.

Singkat cerita, langkah yang mereka lakukan akhirnya berhasil membuat Jengkok lepas dari desa Candangpinggan. Pasca “merdekanya” Jengkok dari Candangpinggan, Ki Katub memiliki hasrat untuk menjadi Kuwu (Kepala Desa) Jengkok. Hingga akhirnya Ki Katub mencalonkan diri untuk menjadi Kuwu di sana. Namun sayangnya Ki Katub harus menelan kekecewaan. Meskipun Ki Katub dan Ki H. Nakilah otak perjuangan lepasnya Jengkok dari Candangpinggan, namun keduanya jarang terlihat tampil (dibelakang layar) kala perjuangan tersebut. Justru masyarakat Jengkok melihat Ki Kanan yang tidak lain merupakan Juru Bicara Ki Katub dan Ki Nakilah dalam memperjuangkan lepasnya Jengkok dari Candangpinggan sebagai tokoh sentral dalam perjuangan tersebut. Hingga opini publik Jengkok kala itu melihat Ki Kanan sebagai “aktor” utama perjuangan, dan karena hal itulah justru Ki Kanan yang terpilih sebagai Kuwu pertama desa Jengkok. Dalam istilah politik hal ini lazim disebut dengan “Pembantu Makan Tuan”.

Namun begitu, Ki Kanan menempati posisi Kuwu desa Jengkok tidak bertahan lama. Ia dilengserkan oleh rakyatnya sendiri karena dianggap sudah tidak bisa memimpin Jengkok–peristiwa tersebut berbarengan dengan agresi militer Belanda pasca menyerahnya Jepang kepada blok Sekutu.

Kuwu Kanan kemudian digantikan oleh Kuwu Masrupi. Kuwu Masrupi juga kemudian dilengserkan dan kembali digantikan oleh Kuwu Kanan. Kemudian Kuwu Kanan digantikan oleh Kuwu Ahmadi. Selama periode tersebut kondisi politik di Jengkok belum stabil dan gonjang-ganjing karena parmainan intrik politik dari para aktor politik yang ingin memperebutkan jabatan Kuwu. Sampai kondisi terkendali tatkala posisi Kuwu Jengkok diduduki oleh anggota TNI yang bernama Sersan Mayor S. Nusi.

Sejak Kuwu S. Nusi menduduki jabatan Kuwu di Jengkok, Jengkok tidak bergejolak. Hal ini bisa dimengerti karena tidak ada pihak manapu yang berani merongrong kekuasaan Kuwu S. Nusi mengingat ia merupakan anggotan TNI. Memang kala itu masyarakat begitu segan–kalau tidak mau disebut takut–kepada TNI.

Penghayatan Akan Demokrasi

Kepemimpinan ialah berbicara tentang kekuasaan, dan kekuasaan menghendaki adanya legitimasi penuh kepada sang penguasan oleh aktor-aktor di bawah kekuasaannya. Kekuasaan tanpa adanya legitimasi pasti pincang. Dan demokrasi pada dasarnya membuka potensi akan hal tersebut.

Demokrasi dipahami secara superfisial adalah sebuah sistem politik yang mana rakyat lah yang punya kehendak dalam mengelola negara. Artinya patron-patron ‘kebenaran’ berada di tangan rakyat, atau dengan kata lain sesuatu dianggap benar tatkala ia diyakini benar oleh banyak orang.

Karena rakyat yang memiliki kehendak, maka turunan dari hal tersebut salah satunya rakyat yang memiliki kuasa untuk memilih siapa pemimpin atau pembuat aturan bagi mereka (dalam demokrasi representatif). Dalam demokrasi dikenal juga adanya “pembagian kekuasaan”, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) jika kekuasaan dipengang oleh satau pihak.

Dalam demokrasi menghendaki adanya rotasi kepemimpinan, maka oleh sebab itu dibutuhkan pemilihan umum dalam jangka waktu tertentu. Pemimpin hasil pemilu kerap kali miskin legitimasi karena kerap kali tidak mengakomodir suaru sebagain besar rakyat. Selain itu, pembagian kekuasaan kerap kali membuat suatu pemerintahan tidak stabil karena tidak memutus anarki. Berbeda halnya jika kekuasaan dipegang oleh satu pihak yang ia “legitimate” seperti yang dilakukan oleh Kuwu S. Nusi di desa Jengkok, maka kondisi akan terkendali. Namun hal itu merupakan peraktek dari otoritarianisme, yang tentu saja ditolak oleh banyak pihak.

Misalnya saja seperti perumpamaan yang banyak diutarakan oleh para pengeritik demokrasi, dalam sebuah negara yang memiliki 10 juta penduduk diadakan sebuah pemilu. Terdapat dua kandidat presiden dalam pemilu tersebut. Saat pemilu berlangsuang hanya ada 8 juta penduduk saja yang ikut serta. Artinya 20% pendek di negara itu memilih untuk tidak ‘golput’.

Singkat cerita misalnya pemilu dimenangkan oleh pihak/kandidat A yang memperoleh suara 4,5 juta sedangkan kandidat B hanya 3,5 juta. Lalu apakah kandidat A memiliki kekuasaan yang legitimate? Jika dijawab secara teoritis tentu saja ‘iya’, namun tidak demikian dengan di masyarakat.

Memang benar kandidat A unggul dibandingkan kandidat B. Namun bukan berarti kekuasaan kandidat A terlegitimasi di dalam negaranya. Mengapa demikian? Ada 4,5 juta penduduk yang mendukung A; dan ada 3,5 juta penduduk yang mendukung B, tapi ingat ada 2 juta penduduk yang tidak mendukung keduanya. Jadi artinya ada 5,5 juta penduduk negeri tersebut yang tidak melegitimasi kekuasaan kandidat A. Hal ini tentu saja lebih banyak dibandingkan mereka yang mendukung kandidat A. Jika hal ini terjadi, maka tidak heran A dalam menjalankan kekuasaannya akan dipenuhi dengan ketidakstabilan.

Hal seperti itu lumarah dalam demokrasi. Hal ini yang menyebabkan banyak negara demokrasi tidak stabil dalam politik. Dan itu memang sebuah konsekuensi. Namun jika memilih otoritarianisme seperti apa yang dilakukan oleh Kuwu S. Nusi, kondisi perpolitikan memang stabil, namun beberapa hak kita akan direnggut.

Dan saya pikir kita harus mencari alternatif di antara keduanya.

 

Yopi Makdori

virol tools instagram