Pernikahan merupakan salah satu dari sekian banyak Ibadah yang telah disyariatkan dalam Islam. Pernikahan merupakan titian jalan yang seyogyanya dilalui untuk meraih keridhoan-Nya. Dengan menikah, separuh agama akan digenapi, iman akan semakin kokoh, dan diri akan dibentengi dari banyaknya godaan maksiat di luar sana. Pernikahan yang menjadikan ketaatan sebagai pondasinya, insyaallah akan menciptakan keluarga harmonis yang cintanya tidak hanya akan tumbuh di dunia, tapi juga akan merekah dan bermekaran hingga ke Surga.
Namun, sayang sungguh sayang, kini banyak kita jumpai Pernikahan yang jauh dari impian. Pernikahan yang semestinya terlaksana karena ketaatan, malah terlaksana karena kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Di Kota Yogyakarta misalnya, peningkatan pengajuan dispensasi nikah mencapai sekitar 10 persen pada 2017 hingga 2018. Ironisnya, kasus kehamilan di luar nikah menjadi penyebab utama dari peningkatan ini. (Republika.co.id, 18/01/2019)
Selain itu, ada Kabupaten Gunung Kidul yang menempati angka pernikahan tertinggi se-DIY. Nahasnya, kasus kehamilan di luar nikah lagi-lagi menjadi salah satu faktor pemicunya. (Tribunjogja.co.id, 12/12/2018)
Tak cukup sampai di situ, kasus kehamilan di luar nikah juga menjadi pemicu utama tingginya angka pernikahan dini di Kabupaten Sleman. (Tribunjogja.co.id, 15/11/2018)
Sungguh fenomena yang mencengangkan, kita dihadapkan pada fakta demi fakta yang sangat bertentangan dengan budaya ketimuran yang telah lama menjadi ciri negeri ini.
Kasus KTD tentu saja merupakan persoalan sistemik yang diakibatkan oleh berbagai aspek. Namun, paham sekulerisme (paham pemisahan agama dari kehidupan) yang sedang di adopsi oleh negeri ini tampaknya menjadi aspek paling krusial yang berkontribusi besar melahirkan para remaja yang tidak perduli halal-haram.
Paham sekulerisme yang telah melandasi sistem pendidikan negeri ini telah berhasil menjauhkan agama sejauh-jauhnya dari diri generasi muda. Pendidikan agama hanya diajarkan dalam bentuk ibadah ritual dengan waktu yang sangat minim, 3-4 jam perpekan. Akibatnya, agama tidak lagi difungsikan sebagai rambu hidup bagi mereka dalam melakukan berbagai aktifitas kehidupan. Mereka sangka Allah hanya mengawasinya di masjid saja, sedang di luar itu, mereka kira Allah tak melihatnya.
Tak hanya itu, tontonan tidak berkualitas yang disajikan berbagai media digital juga turut andil dalam merusak pemikiran remaja hari ini. Belum lagi diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang mengharuskan keikutsertaan ibu rumah tangga dalam dunia kerja juga semakin memperburuk keadaan ini. Imbasnya, peran keluarga menjadi pincang, banyak remaja kekurangan kasih sayang dan memilih mencari perhatian diluar sebagai pelampiasan. Akhirnya, pola hidup liberal yang telah membentuk remaja menjadi pribadi yang liar, berhasil menenggelamkan mereka dalam busuknya kubangan pergaulan bebas. Sehingga bukan hal yang mengherankan jika pada akhirnya banyak remaja yang menjalani pernikahan karbitan karena kasus kehamilan yang tidak di inginkan.
Pernikahan karbitan semacam ini tentu saja memiliki banyak dampak negative dikemudian hari. Dapat dipastikan pasangan-pasangan ini belum memiliki kesiapan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, padahal pernikahan akan mengharuskan mereka untuk mengemban banyak amanah, baik secara materiil maupun moril. Akhirnya, pernikahan ini berpeluang menciptakan keluarga tidak harmonis yang kering dari nilai agama dan kematangan ilmu dalam mengarungi biduk rumah tangga. Sementara itu, lahirnya generasi tidak berkualitas yang jauh dari harapan tampaknya akan menjadi dampak paling mengerikan dari pernikahan ini.
Maka menyelamatkan remaja adalah pilihan yang harus kita ambil. Sudah saatnya kita campakkan sistem sekuler-kapitalis yang telah lama merongrong nadi negeri ini.
Mari selamatkan remaja dengan kembali pada Islam, agar mereka terdidik menjadi remaja yang membenci dan mencinta karena Allah, bukan karena nafsu semata.
Dalam tataran individu, islam mewajibkan setiap orang untuk menutup aurat, islam juga melarang setiap orang untuk khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom) dan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram).
Dalam tataran keluarga, islam mewajibkan setiap orang tua untuk mendidik anak dengan nilai-nilai islam dan mengedukasi anak tentang bahaya pergaulan bebas yang dapat menyengsarakan pelakunya di dunia, dan menghinakannya di akhirat.
Dalam tataran masyarakat, islam mewajibkan masyarakat untuk perduli, tidak boleh bersikap acuh tak acuh dan menutup mata melihat pergaulan remaja hari ini. Saat ada remaja yang asyik berpacaran dan bergaul bebas di tempat-tempat umum misalnya, maka saat itu juga masyarakat harus menegurnya agar mereka merasa takut untuk melakukan perbuatan itu.
Dalam tataran Negara juga demikian, bobroknya moralitas remaja hari ini mestinya mendapat perhatian serius, dengan cara menerapkan aturan Islam mengenai pergaulan. Konten-konten internet yang dapat merangsang syahwat remaja mestinya di blokir, remaja yang bergaul bebas mestinya diberi hukuman tegas, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (QS. An Nur: 2).
Keberadaan Islam harusnya tidak hanya difungsikan untuk mengatur urusan akhirat saja, lebih dari itu Islam merupakan sebuah sistem kehidupan yang mengatur setiap persoalan kehidupan manusia. Sudah saaatnya kita berkaca dan belajar pada eksistensi kejayaan Islam di masa lalu yang telah terbukti mampu melahirkan generasi cerdas yang beriman dan bermutu. Karena hanya melalui generasi seperti inilah akan tercipta pernikahan impian, yang sakinah, mawaddah, wa rohmah, yang cintanya tidak hanya akan tumbuh di dunia, tapi juga akan merekah dan bermekaran hingga ke Surga. [Alif Fani Pertiwi – Mahasiswi STEI Hamfara]