Dalam kasusu tersebut, kawan saya berusaha menunjukan alasan bahwa kita tidak bisa lagi mengandalkan PBB untuk membela Palestina, mengapa? Ia (kawan saya) menjelaskan bahwa Amerika selaku pembela abadi Israel tidak akan pernah mengizinkan lolosnya sebuah resolusi yang bersifat mengikat (hanya bisa dibuat di dalam United Nations Security Council atau Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa) karena Amerika akan selalu menggunakan hak veto (hak untuk membatalkan suatu resolusi di dalam DK PBB) dalam setiap resolusi yang dirasa merugikan kepentingan Israel.
Oleh karenanya akan sangat masuk akal jika kawan saya berpendapat bahwa akan sangat sulit jika kita berjuang untuk membela kemerdekaan Palestina melalui PBB. Namun begitu, saya tidak secara penuh menolak segala upaya yang dilakukan melalui institusi ini. Karena PBB sendiri merupakan produk dari tatanan liberal yang berhasil menjadi status quo. Jika dilihat secara radikal, yakni melihat sampai ke dalam tataran sisitem, maka perjuangan melalui lembaga ini akan sangat mustahil jika mengingin kemerdekaan tanah Palestina secara penuh.
Mereka yang tidak bisa atau tidak mau memahami bagaimana keputusan dalam PBB–terutama di dalam DK PBB yang bisa membuat keputusan secara mengikat–dibuat akan dengan entengnya berkata “perjungan kemerdekaan Palestina hanya bisa dilakukan melalui PBB”. Kacamata seperti ini merupakan hasil dari pengindraannya terhadap fakta yang kurang sempurna. Ia melihat bahwa PBB merupakan ajang pertempuran kepentingan yang mana suara terbanyak akan selalu menang, padahal realitasnya tidaklah demikian. Namun tatkala seseorang menjabarkan fakta yang sesungguhnya di dalam PBB, ia menolaknya dengan entengnya berkata “emang kamu lebih hebat dari para delegasi PBB?” Beginilah sikap para Cebong, mereka lebih suka menyerang hal-hal yang sebenarnya bukan esensi perdebatan. Seharusnya jika mereka mau untuk menggunakan nalar mereka, yang harusnya diserang adalah argumen kawan saya bukan personalnya.
Contoh lainnya dipertontonkan oleh kelompok ‘pemuja’ ustadz ternetu. Salah seorang ustadz mengatakan bahwa serangan Arab Saudi terhadap negara tetangganya, yakni Yaman, merupakan manfestasi dari politik luar negeri Kerajaan Saudi untuk meberangus Siyah. Dan kelompok tersebut mengiyakan ucapan ustadz itu tanpa mau tahu tentang apa yang terjadi sesungguhnya. Meminjam istilah Ustadz Alfa kelompok tersebut seakan “sel otaknya bunuh diri secara massal.” Bagimana bisa kita yang diberikan nalar oleh Allah SWT bisa dengan begitu saya mengiyakan pendapat yang sangat miskin data tersebut.
Jika kita sudi untuk menggalih kebenarannya, maka perang Saudi di Yaman sama sekali buka tentang Siyah. Jika ia benar-benar hendak memerangi Siyah mengapa buka justru Iran yang ia serang? Akan sangat panjang jika saya jabarkan di sini megenai Konflik Yaman, di sini saya hanya hendak memberikan contoh bagaimana para Cebong menggunakan kacamatanya.
Kacamata Cebong juga kerap kali digunakan oleh sebagain kelompok pada pasca pemilu 2014. Mereka kelompok kubuh yang bisa saya sebut gagal dalam ajang pesta demokrasi yang telah menggelontorkan dana teriliunan rupiah mengejek pemenang resmi pemilu dengan berbagai ejekan. Namun saya lebih akan menekankan ejekan mereka tentang kalim mereka bahwa calon presiden yang terpilih ‘tidak bisa ngaji’ dan ‘tidak bisa mengimani sholat’. Dalam video yang menunjukan calon presiden yang terpilih sedang mengimani sholat berjamaah di suatu daerah, mereka meldeknya bahwa bacaan sang presiden kacau, dan amburadul, istilahnya seperti itu. Namun dalam konteks ini mereka tidak ‘fair’, mengapa? Saya sudah mencoba mencari video di Youtube yang menunjukan calon presiden yang berasal dari kelompok mereka sedang sholat atau mengimani sholat berjamaah. Hasilnya ‘nihil’ alias tidak ada sama sekali.
Artinya apa? Saya dapat menarik kesimpulan bahwa calon presiden dari kubuh yang kalah (populer dengan sebutan ‘barisan sakit hati’) pun belum tentu bisa ngaji seperti calon presiden yang telah terpilih. Di sinilah letak ketidakadilan mereka. Mereka dengan sewenang-wenang mengatakan bahwa calon presiden dari kubuh lawan tidak bisa mengaji, dan melupakan pertanyaan pakah calon presiden dari kubuh mereka sendiri bisa ngaji.
Seperti itulah Cebong memadang dunia dengan kacamatanya. Penalarannya sangat dangkal dang begitu subjektif. Mereka hanya mempertimbangkan faktor-faktor subjektivitas dalam dirinya untuk menilai sesuatu itu benar atau tidak. Mereka tidak punya prinsip, prinsipnya hanya satu, yakni ‘kepentingan’ alias tidak berprinsip.