Baca Kaum Realis Melihat IMF [BAGIAN I]
Dalam peneliti tersebut, Dreher, Sturm, dan Vreeland berhipotesis bahwa “bantuan IMF digunakan sebagai mekanisme hadiah oleh negara-negara dengan persentase saham terbesar dalam organ tersebut supaya suaranya dalam DK PBB bisa sejalan dengan kepentingan negara-negara tersebut”. Temuan lain juga dikemukan oleh Dreher dan Sturm dalam Jurnal Public Choice, Vol. 151, No. 1/2 (April 2012) yang menganalisis terkait peran IMF dan Bank Dunia dalam mempengaruhi tingkah laku voting suatu negara dalam Majelis Umum PBB.
Menggunakan data penel dari 188 negara dalam rentang waktu 1970 hingga 2008, Dreher dan Sturm berusaha mencari hubungan antara negara yang menerima bantuan tanpa syarat dan proyek Bank Dunia dengan pola voting negara-negara tersebut di Majelis Umum PBB. Mereka menemukan secara empiris bahwa IMF dan Bank Dunia memang mempengaruhi voting suatu negara dalam Majelis Umum. Hal ini didasrkan temuan dari penelitian mereka yang menunjukan secara statistik bahwa negara yang menerima proyek penyesuaian dan bantuan tanpa syarat yang besar dari Bank Dunia dan IMF memiliki frekuensi voting lebih sering sejalan dengan negara-negara G7, yang mana merupakan negara-negara dengan persentase saham terbesar dalam kedua institusi keuangan internasional tersebut.
N. Woods (2003) dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam sebuah buku dengan tajuk “The United States and The International Financial Institutions: Power and Influence within The World Bank and the IMF (Eds)” menyebutkan bahwa berbagai dokumen telah secara gamblang menunjukan Amerika Serikat telah mengontrol keputusan penting dalam IMF dan Bank Dunia. Gisselquist (1981), Loxley (1986) dan Andersen, Hansen dan Markussen (2006) dalam karya mereka yang masing-masing berjudul “The Political Economy of International Bank Lending (1981), Debt and Disorder: External Financing for Development (1986), dan US politics and World Bank IDA-lending dalam Journal of Development Studies,” menyebutkan baik secara eksplisit maupun implisit bahwa IMF secara jelas menunjukan telah bertindak sebagai alat bagi kebijakan luar negeri AS (dan negara G7 lain) dalam beberapa tingkatan.
Strom C. Thacker (1999) juga menemukan hal yang semisal. Temuannya yang dimuat dalam Jurnal World Politics 52 menyebutkan bahwa negara yang votingnya sejalan dengan AS dalam isu-isu strategis di Majelis Umum PBB cenderung untuk berpartisipasi dalam program-program IMF–pinjaman dari IMF sebagai hadiah. Michele Fratianni dan John Pattison (2005) dalam sebuah tulisan dengan tajuk “Who is Running the IMF: Critical
Shareholders or the Staff?” menunjukan bukti bahwa negara yang tergabung kedalam G7 telah memegang kendali secara penuh terkait isu-isu penting dalam institusi keuangan internasional tersebut (IMF).
Sejalan dengan Fratianni dan Pattison (2005), Riccardo Faini dan Enzo Grilli dalam sebuah Kertas Kerja Centro Studi Luca D’agliano Development Studies No. 191 yang terbit pada Oktober 2004 melaporkan bahwa bantuan IMF telah dipengaruhi oleh AS dan Uni Eropa (negara-negara maju). Lex Rieffel (2003) dalam bukunya yang bertajuk “Restructuring Sovereign Debt: The Case for ad-hoc Machinery” menyebutkan bahwa IMF merupakan instrumen (alat politik) dari negara-negara G7.
Secara keseluruhan terdapat alasan yang jelas dan menguatkan untuk mengatakan bahwa IMF digunakan sebagai alat oleh negara-negara maju–terutama AS–sebagai perpanjangan tangan dari politik luar negerinya. Maka, akan sangat naif jika masih ada orang yang percaya bahwa IMF merupakan institusi yang terbebas dari kepentingan politik apalagi menganggap bahwa IMF merupakan sebuah institusi yang secara tulus untuk membantu negara yang tengah dirundung kesusahan.
Yopi Makdori Aktivis Mahasiswa Muslim Purwokerto