Dunia politik Indonesia sedang berada pada kondisi begitu panas dan riuh. Moment periodik pilpres sebagai kanal aliran pemuasan demokrasi menjadi sebab utamanya. Setiap kegiatan menjelang pilpresnya selalu menuai polemik. Debat capres yang juga melahirkan debat-debat lainnya antar pendukung dan kubu-kubu, adu argumen dan kritik para calon yang mengandung blunder, saling menjatuhkan, saling mengaku hebat, saling melaporkan dan perseteruan-perseteruan politik lainnya.
Persaingan dan perseteruan antar kubu berlangsung tidak hanya di sisi para calon dan politisi, namun juga terjadi tingkat akar rumput antar warga masyarakat. Sungguh momentum yang sangat disayangkan terjadi di ranah publik ini. Persekusi, bentrok warga hingga penganiayaan warga terus terjadi disebabkan moment pilpres ini. Masyarakat ikut tergerus pada persaingan yang sejatinya hanya mengandung kepentingan partai. Masyarakat melupakan persatuan dan ukhuwwah yang seharusnya terus dijaga. Aktifitas politik ini sudah menunjukkan kerusakannya jauh sebelum kontestasi utama yaitu pilpres itu diadakan.
Kita menilik pula bahwasanya perseteruan warga adalah dampak dari strategi kampanye machiavelli yang digunakan para politisi sebagai ciri khas demokrasi itu sendiri. Politik yang menghalalkan segala cara. Kampanye blunder, manipulasi data, pencitraan profil personal dan partai, kebohongan politik dan strategi-strategi busuk lainnya.
Masyarakat menerima data dan argumen masing-masing calon yang didukungnya tanpa menyadari manipulasi yang ada pada kampanye-kampanye tersebut. Data-data diterima begitu saja tanpa menilik dan mengerti lebih jauh hak dan kewajiban pemimpin, hingga menjadikan masyarakat cukup puas dengan segelintir prestasi yang dikampanyekan meski itu sudah menjadi hak masyarakat itu sendiri.
Bagaimana data korban anak stunting oleh masing-masing kubu digunakan untuk saling menyerang, padahal jika kembali dilihat pada jumlah masing-masing data, stunting masih di angka jutaan.
Masyarakat mempercayai dan ikut bersyukur atas prestasi-prestasi yang dikampanyekan oleh para calon tanpa memahami bahwa itu sudah menjadi kewajiban pemimpin dan hak masyarakat sendiri. Tidak ada edukasi politik yang diberikan kepada masyarakat hingga masyarakat jatuh pada ke-awam-an yang nyata yang mudah dimanfaatkan oleh partai-partai politik sekuler.
Pembangunan infrastruktur, peningkatan subsidi, penurunan harga bahan pokok, swasembada bahan-bahan pokok, dan lainnya merupakan kewajiban pemerintah sebagai pihak yang mengurusi urusan rakyatnya. Maka tidak perlu ada kebanggaan-kebanggan dan pencitraan atas “prestasi” ini.
Politik kebohongan machiavelli ini sudah menjadi hal lumrah dari demokrasi. Dimana demokrasi tidak menjadikan aturan syariat yangbaku sebagai patokannya. Maka apapaun strategi yang diluncurkan selama dapat mengantongi suara-suara pemilih maka akan diambil apapun caranya, baik maupun buruk, jujur maupun bohong.
Bagaimana Menangkal dan Menghadapi Politik Kebohongan?
Agar tidak terjebak pada politik kebohongan para kontestan pemilu, maka masyarakat harus memiliki kesadaran politik Islam yang lurus, memiliki pemahaman terhadap politik kebohongan machiavelli dan memahami hak dan kewajiban penguasa serta masyarakat itu sendiri.
Jika kesadaran politik ini tinggi maka masyarakat tidak akan mudah tergiring pada kanal-kanal politik machiavelli yang hanya akan memanfaatkan suara-suara mereka untuk kepentingan pemilihan. Masyarakat pun akan cerdas dan kritis atas setiap argumen, data dan kebijakan yang diambil oleh para pemimpin yang digunakan untuk mendongkrak popularitasnya saja.
Dalam membentuk kesadaran politik Islam ini dibutuhkan para politisi Islam dari sebuah partai politik Islam yang berjalan atas manhaj Nabi yang akan terus mendampingi masyarakat. Karena politik Islamlah satu-satunya yang dapat menangkal Machiavellian nya kampanye demokrasi dan menghantarkan para pelakunya untuk berjalan pada ridho Ilahi.
Bagaimana Kampanye Politik dalam Islam?
Prinsip Islam dalam berpolitik adalah menjadikan syariat sebagai kedaulatan tertinggi. Tujuan-tujuan politik Islam adalah diterapkannya aturan atau syariat di muka bumi ini sebagai perintah dari Sang Pencipta. Maka segala jalan menuju tujuan mulia tersebut secara otomatis akan didasari pula oleh aturan-aturan syariat yang halal dan tidak menghalalkan segala cara. Syariah Islam sebagai prinsip pemerintahan akan mencegah para calon untuk melakukan politik kebohongan.
Kampanye para calon Khalifah pun tidak akan mampu banyak dimanipulasi karena sangat minimnya waktu yaitu 3 hari! Tidak akan ada cukup waktu bagi para calon untuk melakukan kampanye kebohongannya. Maka calon Khalifah yang ada adalah sosok-sosok yang telah dikenal sebelumnya dan memiliki prinsip-prinsip politik murni Islam yang sudah dipahami oleh para politisi dan masyarakat. Para calon tersebut telah tampil lama sebelum ada moment-moment pemilihan. Citranya asli, bukan manipulasi ataupun pencitraan.
Maka jelas bahwasanya blunder, kebohongan dan machiavellian nya kampanye politik hanya lahir pada sistem demokrasi dengan prinsip kebebasan dan azaz manfaatnya. Suatu bukti kegagalan demokrasi yang harus dijadikan alasan utama untuk beralihnya kita kepada politik Islam.
Politik Islam yaitu politik yang menjadikan halal haram sebagai acuannya. Menghalalkan segala cara adalah prinsip yang jauh dari Islam dan tidak akan pernah diambil sebagai strategi meski akan melahirkan keuntungan-keuntungan yang luar biasa. Masyarakat akan jauh dari blunder politik dan kebohongan politik.