Pernah mendengar kata fitnah lebih kejam dari pembunuhan ? Tentu hal ini bisa dikatakan benar bahwa memang fitnah lebih menyakitkan dari pembunuhan, walau disini bukan berarti saya menganggap bahwa pembunuhan juga tidak kejam, tentu keduanya sama-sama kejam. Namun jika pembunuhan terkadang korban langsung mati seketika. Namun jika fitnah itu bisa diibaratkan dengan membunuh secara perlahan. Semakin besar dan besar rasanya akan semakin menyakitkan. Begitupun dengan hari ini saudaraku, di tengah-tengah kita bertebaran dan banyak sekali ide-ide batil, rusak dan merusak. Seruan-seruan keburukan berseliweran. Beragam fitnah bertebaran. Berbagai bentuk kejahiliahan juga dominan saat ini melebihi keadaan jaman jahiliah dulu.
Namun seruan-seruan kebenaran, kebaikan dan perbaikan juga diserukan di mana-mana. Semangat dan praktik keislaman terus menyebar dan tumbuh meski baru tampak pada individu-individu dan paling besar kelompok atau jamaah.
Dalam kondisi yang sedemikian, tentu penting kita memiliki pedoman. Berkenan dengan hal ini, Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi pernah bertanya kepada Rasul saw., “Ya Rasulullah, katakan kepadaku di dalam Islam satu ucapan yang tidak perlu aku tanyakan lagi kepada seorang pun setelah engkau.” Beliau lalu bersabda:
قُلْ آمَنْتُ بِالله ثُمَّ اسْتَقِمْ
Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah.” Kemudian istiqamahlah! (HR Ahmad dan Muslim).
Imam an-Nawawi dalam Syarh al-Arba’în juga menjelaskan pesan Rasul saw. itu, yakni: Berimanlah kepada Allah semata, dan beristiqamahlah di atas keimanan itu dan di atas ketaatan sampai dimatikan oleh Allah. Umar bin Khaththab ra. Juga berkata, “Istiqamahlah dalam ketaatan kepada Allah dan jangan kalian menyimpang.”
Dalam pesan itu, Nabi saw. Memerintahkan Sufyan (tentunya termasuk kita) untuk memperbarui keimanan dengan lisan dan agar selalu ingat dengan hati. Nabi saw. menyuruh Sufyan dan kita untuk tetap dan selalu istiqamah dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi seluruh penyimpangan. Sikap istiqamah tidak akan terwujud seiringan dengan suatu kebengkokan karena kebengkokan merupakan lawan dari istiqamah.
Istiqamah berarti teguh di atas jalan yang lurus. Jalan yang lurus hanyalah Islam; akidah dan syariahnya. Allah SWT berfirman:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Sungguh (Islam) inilah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah jalan itu. janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu pasti mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa “(TQS al-An’am [6]: 153).
Oleh karena itu keistiqamahan hanya bisa diwujudkan dengan mengikuti Islam, meyakini akidahnya dan mengamalkan syariahnya serta mengikuti manhaj dan aturannya. Ayat ini sekaligus memperingatkan pada kita agar jangan sampai mengikuti jalan selain Islam, baik agama (seperti Yahudi, Nasrani, Majusi dan paganisme) maupun paham/ideologi yang dikenal saat ini seperti kapitalisme, sosialisme, sekulerisme, demokrasi, liberalisme, nasionalisme dan lainnya. Sebab semua agama, ideologi, ajaran dan paham dari selain Islam adalah sesat dan menyesatkan, dan pasti menimbulkan kerusakan dan kemurkaan Allah SWT. Apa yang sedang dialami oleh umat manusia, termasuk kaum Muslim, saat ini merupakan bukti atas hal itu.
Sampai kapan semua ini akan terus terjadi ? Sampai kapan ajaran, agama, manhaj, ideologi dan isme selain Islam itu akan terus diikuti ? Bukankah atas dasar iman dan tuntutan fakta yang ada, tentu semua itu harus segera diakhiri dan ditinggalkan? Bukankah sudah seharusnya kita kembali mengikuti dan menjalankan akidah dan syariah Islam ? Bukankah hanya dengan itu saja bisa diraih keridhaan dan keberkahan dari Allah SWT?
Keistiqamahan dan totalitas ketaatan kepada Allah-lah yang akan mengantarkan kita pada keselamatan, kebaikan dan keberkahan. Keistiqamahan juga menuntut keteguhan dan lurus dalam keimanan,serta menjalankan berbagai ketaatan dan menjauhi berbagai kemaksiatan. Keistiqamahan juga menuntut kita selalu teguh dan tiada henti untuk mendakwahkan akidah dan syariah Islam. Itulah keistiqamahan yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Imam al-Baghawi (w. 516 H) di dalam Ma’âlim at-Tanzîl (Tafsir al-Baghâwi) juga menjelaskan makna dari ayat di atas, yakni beristiqamahlah kamu di atas agama Tuhanmu (Islam), serta amalkan dan dakwahkan (Islam) seperti yang diperintahkan kepada kamu. Frasa “dan siapa saja yang telah bertobat bersama kamu” bermakna: dan orang yang beriman bersama kamu, hendaklah juga beristiqamah.
Diantara sikap istiqamah adalah tidak condong dan cenderung kepada orang zalim. Sikap ini penting dalam mewujudkan keistiqamahan.
Ibnu Abbas ra. telah berkata, “Janganlah kalian condong kepada orang-orang yang zalim. Ucapan ini adalah baik. Maknanya, janganlah kalian membantu kezaliman sehingga kalian seolah meridhai perbuatan mereka lainnya. Frasa ‘yang menyebabkan kalian disentuh api neraka dan sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan’ bermakna: tidak ada bagi kalian—selain Allah—penolong yang menyelamatkan kalian dan tidak ada penolong yang membebaskan kalian dari azab-Nya.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Jika kita condong dan ridha pada orang zalim saja dilarang dan bisa mendatangkan akibat yang mengerikan, dan jelas lebih dilarang lagi mendukung dan membantu kezaliman orang zalim itu. Apalagi dengan mengangkat orang zalim sebagai seorang pemimpin sehingga kezalimannya menimpa banyak orang bahkan seluruh rakyat.
Istiqamah pada jalan dakwah ini mencakup keistiqamahan dalam mengamalkan metode dan manhaj dakwah Rasul saw., sekaligus meninggalkan metode dan manhaj selain dakwah beliau. Sebab metode dakwah adalah bagian dari sunnah (jalan) Rasul saw. Mengikuti jalan selain jalan Rasul saw. hanya semakin menjauhkan kita dari Islam dan tentu akan berujung pada kegagalan.
Istiqamah dalam dakwah juga mencakup atas istiqamah menyerukan akidah Islam serta istiqamah mengajak manusia untuk mengambil syariah Islam sebagai jalan kehidupan dan pedoman. Dakwah merupakan seruan yang harus tetap dilakukan dengan penuh kesabaran dalam keadaan apapun, baik ketika atmosfer dakwah sedang bagus dan terbuka atau saat banyak rintangan dan halangan menghadang. Dakwah juga harus dijalankan di bawah penguasa yang zalim dan otoriter; apalagi jika berada di bawah penguasa yang tidak otoriter, yang fair, terbuka dan memfasilitasi dakwah. Begitu pula istiqamah menjalankan amar makruf nahi mungkar dan muhasabah (koreksi dan kritik) kepada penguasa; tetap dilakukan, siapapun penguasanya.
Istiqamah dalam dakwah juga mengharuskan keteguhan memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah meski terasa jauh dan lama dalam pandangan menurut akal manusia. Bagaimana orang-orang kafir juga mereka tetap bersikeras dalam memasukan ide-ide mereka yang kini diusung oleh para pendukungnya dan kebanyakan manusia. Padahal jelas yang dilakukan mereka adalah kebatilan dan kerusakan, namun mereka tetap ngotot.
Begitulah seharusnya keistiqamahan dalam menjalankan Islam, yakni istiqamah dalam keimanan; istiqamah dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan; istiqamah dalam mendakwahkan Islam; serta istiqamah dalam memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah. Wallahu’alam bis Shawab
Referensi :
Buletin Kaffah Edisi 086