Sudah kita ketahui bersama bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem negara, telah mengatur di banyak negara di dunia. Hampir diselurh negara di dunia mengklaim bahwasannya mereka menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mana demokrasi disini diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika ke-16 Abraham Lincolin. Sebuah negara yang menerapkan demokrasi harus menempatkan rakyat pada tempat tertinggi, rakyat harus dijadikan sebagai sumber pendapat dari pendapat-pendapat lain. Negara tidak boleh bertindak otoriter dan diktator atas rakyat, karena menurut demokrasi rakyat lah pemilik kedaulatan dengan apa yang sering disebut dengan prinsip kedaulatan rakyat, suara rakyat suara tuhan. Suara mayoritas rakyat akan dipertimbangkan. Suara kebenaran adalah suara mayoritas, dimana suara terbanyak adalah suara yang akan diambilkan pendapat.
Inilah yang dikatakan sebagai demokrasi, ataupun pemerintahan yang disebut demokratis. Namun apa yang kini terjadi dengan negara eksportir demokrasi ini yang kemudian dianggap sebagai negara paling demokratis sedunia. Karena mereka telah menempatkan kebebasan bagi rakyatnya, sehingga mereka dikatakan paling demokratis. Mereka selalu menggaungkan demokratisasi ke semua negara, hingga mereka disebut sebagai eksportir demokrasi. Namun apa yang kemudian mereka lakukan kini telah jauh dari nilai demokrasi yang digaungkan oleh mereka sendiri. Dan justru negara yang disebut sebagai corong demokrasi menjadi negara yang paling tidak demokratis sedunia, jika demokrasi yang mereka sebut adalah kebebasan berpendapat, mengikuti suara mayoritas dsb.
Baru-baru ini Amerika Serikat melalui presiden Donald Trump, telah melakukan hal yang paling tidak demokratis dengan mengklaim Yarusalem sebagai Ibukota Israel. Secara sepihak mereka menyatakan bahwa Trump telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota bagi Israel sebagaimana pernyataanya pada saat berpidato di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat (AS). Dalam pidatonya tersebut ia juga mengatakan bahwa Israel merupakan sebuah negara yang berdaulat dan juga memiliki hak sama seperti layaknya negara berdaulat lainnya, Hak itu juga salah satunya menurut Trump adalah hak untuk kemudian menentukan ibu kotanya sendiri. Sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan, apa yang dinyatakan oleh Trump juga merupakan representasi dari negara AS itu sendiri yang disebut sebagai negara demokratis.
Bahkan ia pun menyatakan bahwa pengakuan tersebut merupakan sebuah fakta yang penting untuk mencapai perdamaian antara kedua negara yakni Israel dan Palestina. Dan ia pun mengatakan bahwa sudah saatnya (bagi Amerika Serikat) untuk kemudian secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Menurut Presiden AS Trump, pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel merupakan hal yang tepat untuk dilakukan bagi AS untuk kemudian menyelesaikan konflik di Timur Tengah.
Sontak pernyataan Trump mendapatkan respon dari seluruh dunia, dan mengagetkan masyarakat muslim dunia. Hingga mereka semua turun ke jalan menolak atas putusan AS yang menyatakan Yarusalem sebagai ibukota Israel. Namun negara ‘paling demokratis’ ini tidak menggubris penolakan-penolakan tersebut. Padahal jika secara jumlah adalah para penolak lebih banyak daripada yang kemudian menerimanya di seluruh dunia.
Sikap AS tersebut yang diwakili oleh pidato Trump tersebut jelas telah bertentangan dengan konsensus internasional mengenai kota suci tersebut. Mengakui kota tersebut sebagai ibu kota dari Israel juga sebenarnya sebuah kemajuan atas hubungan anatar Isarel-Amerika. Hal tersebut dilakukan juga dengan memindahkan kedutaan AS yang berada di Tel Aviv kemudian ia akan memindahkannya ke Yarusalems sebagai bentuk keabsahan dari yang disebut akan menjadi ibukota Israel.
Namun hal tersebut tentunya tidak mudah semudah membalikkan apa yang dikatakan. Pemindahan Kedubes AS ke Yarusalem tentu saja akan sangat berisiko untuk menyulut krisis diplomatik dengan banyak negara muslim, termasuk kemudian berbagai protes massa yang mungkin akan meluas di luar gedung Kedubes AS di negara-negara muslim tersebut. Pengakuan Trump ini juga akan menggalakan 70 tahun konsensus internasional terkait kota Yerusalem. Di lain sisi, pengakuan secara internasional tersebut secara efektif akan kemudian memberi sinyal mengakhiri upaya mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina. Sehingga inikah yang kemudian dilakukan negara ‘paling demokratis’ dengan menambah konflik diatas konflik.
Seolah mereka memiliki otoritas tinggi di dunia, dan di PBB, akhirnya mereka melakukan veto atas resolusinya menjadikan Yarusalem sebagai ibu kota Israel. Amerika Serikat melalui Duta Besar AS untuk PBB, Niki Haley akan memveto-nya. Haley pun telah menyatakan bahwa keputusan yang dilakukan Trump sebagai tindakan yang benar dan tepat. Maka, jika Dewan Keamanan PBB menolak rancangan resolusi tersebut, maka kemudian masalah Yerusalem akan dibawa ke Majelis Umum PBB. Dan ini lah wajah AS sebenarnya mereka selalu ingin menang menyalahgunakan hak veto untuk kepentingannya untuk kemenangan mereka telah mengabaikan konsensus internasional atas Yarusalem.
Padahal hal ini telah mendapat berbagai kecaman dari negara-negara yang mana dilakukan setelah AS mengeluarkan hak veto dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Dan diketahui pula dalam sidang digaungkan resolusi untuk menarik deklarasi Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sebanyak 14 anggota di DK PBB telah memilih mendukung resolusi yang diusulkan oleh Mesir. Meski tidak secara khusus menyebut Trump atau Amerika Serikat, namun anggota DK PBB telah mengungkapkan penyesalan mendalam atas keputusan baru-baru ini mengenai Yerusalem. Hal itu malah dikecam Amerika Serikat.
Alih-alih sebagai negara demokratis mereka mengalah atas keputusan forum, yang kemudian lebih banyak menolak keputusan AS, mereka malah semaking mengotot untuk membawa masalah ini ke sidang Majelis Umum PBB. Dan akhirnya mereka berhasil memabawa hal ini ke Majelis Umum PBB, yang kemudian diadakan pada Kamis 21 Desember 2017. Presiden AS Donald Trump pun kemudian mengancam negara-negara yang kemudian akan melawan AS yaitu negara yang memberikan voting untuk menolak rancangan AS yang berkaitan dengan Yerusalem. Ancaman tersebut juga berupa pengurangan dana yang akan diberikan atas negara-negara tersebut. Sungguh sangat demokratis negara ini melakukan ancaman untuk kepentingan mereka. Dan ia pun akan mempertimbangkan negara-negara yang kemudian menolak rancangan AS, mereka akan membuat daftar dan terus memantau voting dari negara-negara pada sidang Majelis Umum PBB.
Namun pada akhirnnya pada sidang majelis umum PBB mereka tetap kalah. Sebagaimana yang telah dilansir oleh AFP pada Jumat 22 Desember 2017, bahwa dari 193 anggota di Majelis umum PBB, 123 memilih mosi menolak pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, dan 9 negara yang menolak mosi tersebut, sementara itu 35 negara memilih abstain. Utusan Palestina, Riyad Mansour juga menyatakan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai “kemunduran besar-besaran” untuk Amerika Serikat. Hal ini juga beberapa negara yang kemudian menjadi sekutunya pun ikut menolak rancangan mereka atas Yarusalem seperti Jepang dan Inggris mereka menolak rancangan AS, dan beberapa negara dengan berani menolak secara terang-terangan dengan mengatakan mereka tidak takut dengan apa yang kemudian diancamkan oleh AS. Negara demokrasi sebenarnya hanya sebuah isapan jempol di dunia, tak ada yang namanya negara demokratis seperti apa yang dibayangkan. Dan itulah kenapa demokrasi merupakan sebuah sistem yang kemudian akan berubah menjada otokrasi yang akhirnya semua akan kembali pada negara yang diktator. Mungkin kini sudah saatnya mencampakan sistem demokrasi ini dan jadikan Islam sebagai solusi sistem yang menggantikannya. [MH]