Al Liwa Organizer
Selain menyebabkan krisi pengungsi, konflik yang terjadi di Suriah juga menyebabkan terbunuhnya ratusan ribu jiwa. Sampai saat ini, menurut perwakilan PBB untuk Suriah menyebutkan bahwa jumlah korban tewas dalam perang tersebut mencapai lebih dari 400.000 jiwa. Hal senada juga dilaporkan oleh Syrian Observatory for Human Rights (SOHR)–Non-Governmental Organization (NGO) berbasis di London, Inggris yang bertugas untuk mendokumentasikan setiap pelanggran HAM di wilayah perang–bahwa jumlah korban tewas dalam perang di Suriah antara 353.000 sampai dengan 498.000 jiwa.
Menurut Syrian Network for Human Rights (SN4HR)–NGO HAM di lapangan (red: Suriah), jumlah korban sipil yang tewas dalam perang tersebut mencapai sebesar 217.764 jiwa. Banyak di antara mereka yang merupakan anak-anak dan wanita yang mereka sama sekali tidak tahu-menahu akan perang tersebut, namun kemudian justru merekalah yang banyak menjadi korban keganasan perang di Suriah. UNICEF (United Nations Children’s Fund)–organ dalam PBB yang bertugas untuk memberi bantuan kemanusiaan dan pembangunan bagi anak-anak dan ibu di negara-negara berkembabang–melaporkan bahwa sampai awal Februari 2012 saja, jumlah anak-anak yang meninggal disebabkan oleh perang tersebut mencampai lebih dari 500 jiwa. Kemudian pada akhir April 2014, PBB menyatakan bahwa jumlah anak-anak yang meninggal dalam perang di sana melonjak menjadi sebesar 8.803 jiwa. Data lebih mengejutkan disampaikan oleh Oxford Research Group, kelompok riset ini menyatakan bahwa sampai bulan November 2013, anak-anak yang meninggal dalam perang di sana mencapai angka 11.420 jiwa. Sedagkan jumlah terbaru dilaporkan oleh SOHR, sampai pertengahan Maret 2018, jumlah anak-anak yang meninggal telah mencapai 19.811 jiwa.
Banyaknya warga sipil–terutama anak-anak dan wanita–yang menjadi korban dalam konflik di sana disebabkan karena berbagai aktor yang terlibat dalam pertempuran tersebut tidak menaati hukum perang internasional (international humanitarian law). Berbagai pelanggran HAM banyak dijumpai dalam perang di Suriah, bahkan PBB menyebutkan bahwa perang yang terjadi di Suriah sebagai “Characterized by a complete lack of adherence to the norms of international law”. Namun begitu, tetap saja pelanggran HAM terbanyak dan terberat dilakukan oleh kubu Pemerintah Suriah–bersama koalisinya, yakni Rusia, Iran, dan Lebanon.
Anak-anak juga menjadi korban secara tidak langsung dari perang di sana, banyak di antara mereka yang terpaksa terpisah maupun kehilangan anggota keluarga mereka. Banyak pula dari mereka yang mesti berhenti sekolah karena gedung-gedung tempat mereka belajar dihancurkan oleh perang. Menurut UNICEF, 1 dari 3 sekolah di Suriah mengalami kondisi yang memperihatinkan atau rusak. Menurut Human Rights Watch (HRW)–NGO HAM internasional–meyebutkan bahwa sebanyak 1,5 juta anak-anak Suriah yang masih berada dalam usia sekolah yang tinggal di kemp pengungsian Turki, Lebanon, dan Jordan, setengahnya tidak bisa mengenyam pendidikan formal. Meskipun “host countries” (sebutan bagi negera penerima pengungsi) telah melakukan berbagai upaya supaya anak-anak Suriah bisa mengakses pendidikan formal, namun berbagai habatan menerpa mereka, seperti anak-anak yang terpaksa harus bekerja, persyaratan yang tidak terpenuhi, hambatan bahasa, transportasi untuk mobilisasi mereka, dan hambatan lainnya.
Anak-anak Suriah juga terancam oleh malnutrisi, yakni menurut data dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), lebih dari 3 juta anak-anak Suriah yang berusia di bawah 5 tahun tidak mempunyai makanan yang cukup untuk dimakan. Kondisi seperti ini pada akhirnya tidaklah mengherankan jika berujung pada bencana gizi buruk jika tidak adanya intervensi bantuan dari luar untuk menyupali kebutuhan bahan pangan mereka. Maka untuk saat ini, kebutuhan dasar setiap manusia, yakni makanan begitu dibutuhkan oleh rakyat Suriah.
Konflik yang terjadi di Suriah juga menyebabkan runtuhnya sistem kesehatan di negara itu. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat perang yang telah terjadi selama lebih dari tujuh tahun di sana pastinya menciptakan kerusakan dari berbagai segi, salah satunya sistem kesehatan. Namun begitu, idealnya kalau kita mengacu pada hukum perang internasional berbagai fasilitas kesehatan seharusnya tidak mengalami kerusakan. Begitu juga dengan para tenaga medis, mereka tidak akan ada yang terbunuh dan diancam ketakutan. Karena dalam hukum humanitarian, fasilitisa kesehatan dan tenaga medis merupakan objek yang dilarang untuk diserang.
Pada tahun lalu saja, menurut UNOCHA, sebanyak 11,5 juta warga Suriah–termasuk 5 juta anak-anak–tidak mempunyai akses terhadap fasilitas kesehatan. Hal ini dikarenakan 55% rumah sakit dan 49% klinik di negeri itu telah tutup. Obat-obatan di sana juga sulit untuk didapatkan, hal tersebut dikarenakan sulitnya bantuan internasional untuk masuk ke wilayah Suriah. Rezim al Assad yang berusaha menyanksi warganya dengan menghadang bantuan internasional untuk masuk ke sana. Akibatnya mereka yang masih berada di dalam Suriah rentan akan malapetaka merebaknya wabah penyakit menular.
[Bersambung]