Jagat sosial media begitu ramai dengan pro kontra akibat video beberapa komika yang menggunakan agama sebagai bahan materi lawaknya. Sebagian publik menyayangkan tindakan yang dilakukan para penghibur panggung tersebut lantaran dianggap melakukan sebuah penistaan kepada agama. Bahkan salah satu dari komika tersebut sampai dilaporkan ke polisi dengan dugaan penistaan agama. Sebagian yang lain menganggap bahwa publik tidak seharusnya marah.
Beberapa kalangan dari kawula muda, sesama komika, dan social media influencer justru menyayangkan tindakan publik yang mudah marah dan melaporkan komika tersebut. Seperti biasa mereka menggunakan istilah-istilah semacam “sumbu pendek” untuk melabeli publik yang marah akibat candaan agama. Tak ketinggalan, muda mudi milenial juga turut berkomentar mengikuti idola mereka dengan bahasa sok bijak tapi rapuh secara logika semacam “yaelah negara lain udah sampe bulan kita disini agama aja masih diributin”, atau “masyarakat Indonesia ini belum dewasa, gitu aja marah”, dll.
Sebetulnya masalah ini bukan sekali dua kali terjadi, dari waktu ke waktu ada saja ulah para “public figure” yang menyinggung publik atas candaannya soal agama atau tokoh agama. Pertanyaannya adalah, wajarkah publik marah atas candaan para komika tersebut?. Apakah kemarahan publik merupakan bentuk ketidak-dewasaan dalam memandang persoalan?
Mari kita lihat persoalan ini dengan sudut pandang logis.
Beberapa waktu lalu jagat Youtube diramaikan dengan ulah salah satu celeb youtube Amerika bernama Logan Paul karena vlog nya memuat rekaman video ketika ia masuk ke hutan bunuh diri dan menyoroti mayat orang yang baru gantung diri. Ia juga di kritik atas perilakunya yang melanggar adab masyarakat Jepang seperti berlaku tidak sopan kepada sembarang orang di tempat umum, melempar beberapa koin ke kotak uang di kuil padahal didepannya sedang ada orang yang khusu’ berdoa, buang-buang makanan di tempat umum, dan perilaku dungu lainnya. Akhirnya Logan membuat video pernyataan permohonan maaf kepada publik atas perilakunya yang tidak baik.
Letak persamaan kasus Logan dengan kasus komika di Indonesia adalah, mereka menuai kecaman atas perilakunya yang menentang norma dan kode etik masyarakat setempat. Setiap wilayah memiliki norma dan kode etik yang khas dan harus diperhatikan. Masuk kedalam hutan bunuh diri lalu membuat rekaman tentangnya jelas menuai kecaman karena menentang norma masyarakat. Bercanda menggunakan kata “niger/nigga” akan menuai kecaman di masyarakat Amerika jika kita orang kulit putih.
Hal-hal seperti ini sangat wajar terjadi. Tidak bisa kita mengatakan kalau masyarakat jepang sumbunya pendek karena marah karena hal sepele seperti adat duduk dan makan, begitupula dengan masyarakat Amerika yang akan tersinggung jika ada public figure melakukan candaan soal warna kulit.
Dalam kultur masyarakat Indonesia, bawa-bawa agama dalam berbagai ranah memang bukan sesuatu yang tabu. Bahkan di zaman founding father Indonesia dulu, pendapat untuk menjadikan negara ini bersyariah mendapatkan tempat dalam konstituante. Akan tetapi, menjadikan agama dan tokoh agama sebagai barang candaan, penistaan, hinaan merupakan hal yang sangat tabu dalam kultur masyarakat Indonesia.
Terima atau tidak, pada faktanya publik marah atas candaan para komika tersebut. Hal serupa juga akan terjadi jika muslim Bali melakukan candaan soal Hindu yang menjadi mayoritas disana. Kemarahan publik hingga pelaporan ke pihak berwajib merupakan konsekuensi atas perbuatan mereka. Harusnya mereka didorong untuk memberi pernyataan maaf, bukan malah dibela habis-habisan.