Keruntuhan Khilafah Islamiyah di Turki pada 1924, telah membuat umat Islam di seluruh dunia dipimpin oleh para pemimpin diktator (al-mulk al-jabri). Rezim diktator, hal ini merupakan sebuah fase yang telah disabdakan Nabi Saw dan merupakan fase keempat dari sistem pemerintahan yang di nubuwat-kan berabad lamanya 14 abad lalu oleh Baginda Nabi Saw.
Nabi Saw bersabda :
“Ada masa Kenabian (Nubuwwah) di tengah-tengah kalian yang tetap ada atas kehendak Allah. Lalu Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian yang tetap ada atas kehendak Allah. Lalu Allah mengangkat masa itu jika dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan yang menggigit yang tetap ada atas kehendak Allah. Lalu Allah mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan diktator (mulk(an) jabbariyah) yang tetap ada atas kehendak Allah. Lalu Allah mengangkat masa itu jika dia berkehendak mengangkatnya. Selanjutnya akan ada kembali masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian. “Setelah itu Nabi saw. Diam. (HR. Ahmad)
Siapa Pemimpin Diktator ?
Syaikh Hisyam al-Badrani menyebutkan bahwa pemimpin diktator (mulk(an) jabriy) adalah pemimpin yang menegakkan hukum-hukum kufur di negeri-negeri kaum Muslim. Ini jelas sebuah pengertian yang didasarkan pada dalalah (pengertian) nas-nas syariah mengenai definisi mulk jabariy (pemimpin diktator).
Kemudian setelah kita mengetahui definisi pemimpin diktator, apa ciri-cirinya ? menurut banyak hadis dan nas disebutkan bahwa diantara ciri-ciri dari pemimpin diktator adalah sebagai berikut :
Pertama, tidak mempunyai sebuah kemampuan atau kapabilitas untuk memimpin sebuah masyarakat banyak. Pemimpin seperti ini yang disebutkan oleh Rasulullah saw sebagai ruwaybidhah (pemipin yang tidak tau urusan umat). Pemimpin semacam ini sangat membahayakan masyarakat berbahaya bagi umat Islam maupun umat manusia pada umumnya. Pemimpin semacam ini dapat memutarbalikan fakta yang ada segala nilai dan tatanan. Orang yang berlaku jujur dikatakan sebagai pembohog. Pembohong dikatakan sebagai orang yang jujur. Penghianat dikatakan sebagai pahlawan yang dapat dipercaya.
Rasulullah saw bersabda : “Akan datang pada manusia tahun-tahun penuh dengan tipu daya. Pada tahun itu pendusta dibenarkan, orang-orang jujur didustakan, penghianat dipercaya, orang terpercaya dianggap penghianat. Pada masa itu yang banyak berbicara adalah ruwaybidhah.” Ada yang bertanya, “apa itu ruwaybidhah ?” Rasul bersabda, “Yaitu orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak.” (HR Ibnu Majah)
Kedua, tidak mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah saw. Pada faktanya, dimasa saat ini memang yang diikuti dan diterapkan oleh pemimpin diktator pastilah bukan ajaran Islam (sunnah Rasulullah saw) namun melainkan sistem yang kufur pula, yakni demokrasi-kapitalisme-sekuler yang merupakan sebuah sistem kufur penjajah umat, berasal dari barat. Kepemimpinan seperti ini pernah disebut oleh Nabi saw sebagai kepemimpinan dengan istilah imarat as-shufaha’ (Kepemimpinan orang-orang bodoh). Orang-orang yang mengikuti kepemimpinan orang-orang bodoh ini kelak tidak akan diakui oleh Nabi saw. Sebagai orang-orang yang masuk kedalam golongan umat beliau saw dan tidak akan berjumpa dengan Nabi saw, di telaga-Nya pada Hari Kiamat kelak. Sungguh begitu mengerikan ancaman Nabi saw kepada para pemimpin yang diktator ini. Tidak tanggung-tanggung balasan yang akan diberikan di akhirat kelak begitu sangat pedih azab yang akan diberikan, karena pemimpin adalah tonggak umat, baik buruknya masyarakat.
Ketiga, bertindak bengis, kejam dan biadab. Dia tidak segan memenjarakan, menyiksa bahkan membunuh rakyatnya sendiri. Ketika rakyatnya tak mau tunduk dengan ketentuan yang dikeluarkan pemimpin diktator ini maka kekejaman siap menanti untuk menghancurkan mereka. Pemipin seperti ini, dalam sebagian atsar dari para sahabat, disebut dengan imarat ash-shibyan alias kepemimpinan orang-orang yang belum sempurna akalnya sebagaimana anak-anak. Abu Hurairah berkata :
“Celakalah orang Arab karena suatu kejahatan yang telah dekat, yaitu imarat ash-shibyan (kepemimpinan anak-anak) ; yakni kepemimpinan yang jika rakyat menanti mereka, mereka akan memasukkan rakyatnya ke dalam neraka. Namun, jika rakyat tidak mentaati mereka, mereka akan membunuh rakyatnya sendiri.” (HR Ibnu Abi Syaibah)
Sikap dalam Merespon Pemimpin Diktator Tuntunan Nabi saw
Setelah menjelaskan ciri-ciri pemimpin diktator, lalu kemudian apa sikap kita dalam merespon pemimpin diktator ini (al-mulk al-jabariy) yang tengah menindas dan mencengkram umat ?
Pertama, menjauhkan diri dari mereka. Hal ini tampak jelas dari hadis penuturan Hudzaifah bin al-Yaman ra :
“Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, khawatir keburukan akan menimpaku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh dulu kami dalam kejahiliahan dan keburukan. Lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini. Kemudian setelah kebaikan ini apakah ada keburukan ? Rasulullah saw menjawab, iya. “Lalu aku bertanya, “Apakah setelah keburukan ini ada kebaikan ?” Rasulullah saw menjawab, iya, dan padanya (Kebaikan) ada asap.” Aku bertanya, “Apa asapnya ? Rasulullah saw bersabda, “Ada satu kaum yang berprilaku dengan selain Sunnahku, dan berprtunjuk dengan selain Petunjukku. Sebagian dari mereka kamu ketahui dan kamu akan ingkari.” Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan ?” Rasulullah saw menjawab, “iya,yaitu ada para dai (penyeru) di pintu-pintu Jahannam. Siapa saja yang akan menyambut seruan mereka, mereka akan melemparkan dia kedalam Jahanam.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, jelaskan sifat mereka kepada kami.” Rasulullah saw. Menjawab, “Baik mereka adalah satu kaum yang sama kulitnya dengan kulit kita. Mereka berbicara dengan lisan kita.” Aku bertanya, “Lalu apa pendapat Anda jika hal itu menimpa diriku ?” Rasulullah saw bersabda, “Jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya walaupun kamu harus menggigit akar pohon hingga maut menjemputmu, sementara kamu tetap dalam keadaan demikian.” (HR Muslim)
Dalam hadis tersebut terdapat dalil bagi kita, bahwa dalam kondisi tiadanya al Imam (Khalifah) bagi kaum Muslim seperti hal nya saat ini, yang harus dilakukan umat Islam adalah menjauhkan diri (i’tizal) dari mereka. Ini juga isyarat bahwa dalam kondisi tiadanya seorang Imam (Khalifah) bagi kaum Muslim seperti hal nya saat sekarang ini, metode perubahan yang seharusnya dilakukan adalah bukan dengan “masuk kedalam sistem” yang ada sekarang seperti halnya yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslim, justru pada saat seperti ini adalah kita musti merubah sistem dari luar sistem tersebut. Tentu memang hal ini bagi sebagian orang tidak masuk akal, karena bagaimana kita mengubah sistem yang ada namun kita sendiri tidak masuk kedalamnya. Justru ketika masuk kedalam sistem bukannya perbaikan yang akan didapat namun justru kita akan ikut terbawa arus sistem yang ada. Oleh karena sudah jelas bahwa faktanya orang-orang yang masuk sistem kini menjadi pragmatis, tak ada idealis lagi. Tentu nya untuk melakukan perubahan dari luar adalah dengan terus berjuang mewujudkan Imam (Khalifah) dan jamaah kaum Muslim yang bernaung dalam sistem Khilafah. Wallahu’alam bis Shawab
Sumber :
Hisyam al-Badrani, An-Nizam as-Siyasi ba’da Hadm al-Khilafah, hlm. 38
Buletin Kaffah edisi 077