Bagi umat Islam di dunia, Haji merupakan salah satu rukun Islam kelima yang pelaksanaannya hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu, baik secara materil, fisik, maupun fisikis. Namun akhir-akhir ini seruan untuk memboikot haji di negara-negara MENA (Middle East and North Afrika–Timur Tengah dan Afrika Utara) mulai mencuat. Hal tersebut dilatarbelakangi dari asmumsi yang mengatakan bahwa uang yang digelontorkan oleh para jama’ah haji mengalir ke Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia untuk mendanai perang di Yaman yang telah menyengsarakan jutaan penduduk di sana.
Dikutip dari halaman Middle East Monitor (MEMO), Jum’at (22/06), Persatuan Imam Tunisia (The Union Tunisian Imams) menyerukan kepada Mufti Besar di sana untuk mencegah para jama’ah haji Tunisia melakukan ritual haji pada tahun ini. Mereka beralasan bahwa seruan tersebut bertolak dari fakta mahalnya biaya perjalanan haji dan uang dari para jama’ah tersebut digunakan oleh Saudi untuk mendanai perangnya terhadap negara muslim, yakni Yaman.
Ibadah haji tahun ini akan dilangsungkan pada 19 hingga 24 Agustus. Diperkirakan, sedikitnya dua juta jama’ah haji dari seluruh penjuru dunia akan melangsungkan ritual yang sakral bagi umat muslim tersebut. Masih menurut sumber yang sama, Sekertaris Umum Persatuan Imam Tunisia, Fadhel Ashour, mengatakan kepada media lokal:
“Lebih baik menghabiskan uang ini (red: dana untuk perjalanan haji) untuk meningkatkan kondisi masyarakat Tunisia. Ia (Arab Saudi) menggunakan uang dari jama’ah haji untuk mengagresi negara-negara Islam, seperti Suriah dan Yaman, yang mana hal tersebut bertentangan dengan Sharia (red: Hukum Islam).”
Sebelumnya, seruan semacam ini sudah banyak dijumpai di pelbagai halaman media sosial yang dikelola oleh para milisi Houthi. Hal tersebut bertujuan untuk mematikan sumber pendanaan yang didapatkan Saudi dari para jama’ah haji untuk membiayai perang di Yaman. Keterlibatan Saudi dalam konflik sipil di negara itu bertujuan untuk “mengembalikan kepemimpinan yang legitimet (sah)”, yakni di bawah kepemimpinan Presiden Abd Rabu Mansour Hadi–yang merupakan pengganti Presiden Ali Abdullah Saleh saat peristiwa “Arab Spring” pada 2011 lalu.
Sejak harga minyak dunia anjlok pada 2014, Saudi berusaha mencari sumber pendapatan dari sektor lain, dan yang menurut negara itu berpotensi untuk menggantikan–atau paling tidak mengimbangi–besarnya pendapatan dari sektor minyak ialah sektor pariwisata. Ibadah haji merupakan salah satu komponen yang masuk dalam sektor tersebut. Dikutip dari halaman CNN, Jum’at, 9 Sepetember 2016, pada 2015 lalu, sektor pariwisata Saudi menyumbang sebesar 22 miliar dolar bagi negara tersebut, atau setara dengan 3,5% dari total pendapatan yang diperoleh negara itu. Angka tersebut masih relatif kecil dibandingkan dengan jumlah pendapatan yang diperoleh dari sektor minyak, yakni mencapai persentas sebesar 40%.
Maka di sini jelas bahwa sebenarnya sektor “haji” tidak begitu besar menyumbang pendapatan bagi Saudi. Angka 3,5% pun didapatkan dari gabungan berbagi sektor pariwisata, dan jika haji dipisahkan, maka persentasenya akan lebih kecil lagi. Oleh karenanya klaim yang menyatakan bahwa dana haji mendorong agresivitas Saudi terhadap sesama saudara muslimnya di Yaman kurang mendaptkan dukungan data yang kuat. Hal ini mengingat signifikansi perolehan pendapatan Saudi dari para jama’ah haji masih dibilang minim dibandingkan dengan biaya yang harus negara itu gelontorkan untuk mendanai perang di negara tetangganya.
Sebenarnya tidak ada data resmi yang dikeluarkan oleh otoritas Kerajaan Arab Saudi mengenai jumlah biaya perang di Yaman, namun menurut Brookings Institute (lembaga think thank Amerika Serikat) yang laporanya dikutip dalam halaman Press TV pada Selasa (3/3), menyatakan bahwa setidaknya 5-6 miliar dolar digelontorkan oleh Riyadh setiap bulannya untuk mendanai perang di Yaman. Artinya, negara itu menghabiskan dana sebesar 60-72 miliar dolar setiap tahunnya untuk membiayai perang di sana. Bandingkan dengan jumlah pendapatan yang diperoleh dari sektor pariwisata yang hanya 22 miliar dolar, sangat jauh bukan? Apalagi jika hanya dari komponen haji saja, akan semakin tidak realistis untuk mengatakan bahwa pendapatan dari jama’ah haji berperan signifikansi untuk mendanai perang Saudi terhadap Yaman.
Perang Saudi terhadap Yaman secara dominan justru ditopang dari ketersediaan persenjataan yang diperoleh dari Amerika Serikat dan Inggris. Mengutip dari halaman The New Yorker, Senin (22/1), pada November 2015, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama menyetujui penjualan senjata ke Saudi senilai 1,29 miliar dolar. Pada akhir masa kepresidenan Obama, Amerika telah menawarkan senjata senilai lebih dari 115 miliar dolar ke Arab Saudi, termasuk kapal perang, sistem pertahanan udara, dan tank. Sedangkan pada era kepresidenan Donald Trump, Amerika dan Saudi menyepakti kesepakatan jual beli senjata senilai 110 miliar dolar saat Presiden Trump berkunjung ke Saudi pada bulan Mei tahun lalu.
Begitu pula dengan Inggris, mengutip dari halaman The Guardian, Selasa, 24 Oktober 2017, Inggris telah menjual persenjataan militer kepada Saudi lebih dari 1,1 miliar euro pada semester pertama 2017. Sejumlah 280 juta euro pada Januari hingga Maret dan 836 juta euro pada April hingga Juni. Kedua negara tersebut merupakan pendorong utama pembantain Saudi terhadap penduduk Yaman yang menurut laporan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)–dikutip dari The Guardian, Selasa (16/01)–telah menewasakan atau melukai sedikitnya lima ribu anak-anak dan membuat 400 ribu lainnya mengalami malnutrisi.