Kamis 14 Desember 2017, dilansir dari BBC, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan memperluas pasal perzinahan di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP). Putusan MK itu dihasilkan melalui “dissenting opinion” dengan komposisi 5:4. Arief Hidayat, selaku Ketua MK mengatakan, “Amar putusan mengadili menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”. Dalam putusan yang dibacakan tersebut, dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan baru itu (red. memidanakan LGBT dan kumpul kebo). Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa pasal-pasal KUHP yang dimohonkan untuk diuji-materi itu, tidak bertentangan dengan konsitusi.
Diketahui bahwa pengajuan uji materi dimohonkan oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia. Sidang dimulai pada pukul 09.00 WIB yang dimulai dengan pembacaan amar putusan oleh masing-masing hakim konstitusi. Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengatakan di persidangan bahwa ada empat hakim konstitusi yang melakukan dissenting opinion, atau berbeda pendapat degan putusan, yakni ia sendiri, dan tiga hakim lain, yaitu Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Sementara itu lima hakim konstitusi yang menolak permohonan pemohon adalah Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo.
Terdapat tiga pasal KUHP yang dimohonkan oleh AILA untuk diuji di Mahkamah Konstitusi, yakini pasal 284 tentang perzinahan, yang tadinya terbatas dalam kaitan pernikahan dimohonkan untuk diperluas ke konteks diluar pernikahan.
Pasal 285 tentang perkosaan, yang tadinya terbatas laki-laki terhadap perempuan, dimintakan untuk diperluas ke laki-laki ke laki-laki ataupun perempuan ke laki-laki.
Sedangkan untuk pasal 292, yakini tentang percabulan anak. Asalnya pasal ini menjerat menjerat prilaku seks sesama jenis laki-laki dewasa terhadap yang belum dewasa, namun MK diminta oleh kelompok tersebut untuk dihilangkan batasan umur dalam pasal tersebut. Adalah Euis Sunarti, salah seorang anggota AILA, mengatakan bahwa pihaknya (AILA) tentu sedih (akan putusan MK tersebut), padahal menurut dia bahwa pihanya berharap banyak pada lembaga MK itu. Salah satu guru besar bidang ketahanan keluarga Institut Pertanian Bogor juga menampik bahwa salah satu pertimbangan dalam penolakan majelis adalah karena pemidanaan akan membuat penjara Indonesia tidak muat menampung. Ia berujar, jangan bandingkan persoalan teknis kerepotan itu dengan bencana sosial dan bencana moral yang terjadi.
Di pihak lain, Koalisi Perempuan menilai pemidanaan tidak beralasan karena zinah adalah urusan domestik keluarga sehingga berbagai alasan yang membuat perempuan atau istri tidak mengadukan perzinahan oleh suaminya, harus dihargai.
Namun Koalisi Perempuan justru menganggap putusan tersebut menunjukkan MK telah ‘memenangkan akal sehat,’ sebagaimana dikatakan salah satu anggotanya yang haditr di sidang itu, yakini Dian Kartikasari. Dirinya mengutip saksi ahli Budhi Munawar Rahman dalam sidang di MK, yang menyebut keluarga merupakan tempat pengampunan dan merangkul kasih sayang bagi anggotanya yang berzinah, cabul, maupun orientasi seksual berbeda. Terang Kartikasari, “Biarlah masalah itu diselesaikan secara kekeluargaan berdasarkan nilai-nilai dalam agama, budaya, termasuk Pancasila yang sudah hidup dalam masyarakat”.
Pemimpin AILA, Rita Hendrawaty Soebagio, dalam wawancara beberapa waktu lalu dengan wartawan BBC menyangkal anggapan bahwa upaya mereka tidak dimaksudkan untuk masuk ke wilayah pribadi. Soebagio menerangkan bahwa hukum berhenti di depan pintu kamar atau pintu rumah.
Namun Sri Agustin, yakini perwakilan Ardhanari Institute mengatakan, di lapangan berbeda, pintu itu bisa didobrak, baik oleh aparat resmi maupun masarakat biasa. Ia mengatakan bahwa sekarang-sekarang saja sudah banyak penggrebekan terhadap tempat-tempat kos kawan-kawan perempuan lesbian, juga pelecehan terhadap kawan-kawan buruh perempuan yang ekspresi gendernya maskulin.
Putusan tersebut dipuji berberapa pihak, seperti LBH Masyarakat, yang menyebut bahwa dengan putusan itu MK “menolak menjadi lembaga yang dapat mengkriminalisasi suatu perbuatan,’ dan “menegaskan kewenangannya sebagai negative legislator dan tidak bisa menjadi positive legislator sebagaimana dimintakan oleh pemohon.”.
Ajaran Agama Kalah
Dengan diputuskannya hal tersebut maka hal ini menjadi pertanda akan keruntuhan dari institusi agama di negeri ini. Agama yang selama ini menjadi “moral patron” sedikit demi sedikit berusaha di kikis perannya dalam kehidupan publik. Libih parah lagi upaya pengikisan ini difasilitasi oleh institusi negara di negeri ini. Melihat keadaan yang demikian maka kita sebagai muslim sungguh miris. Bagaimana tidak, hal ini menunjukan bahwa pelan tapi pasti kondisi sosial kita berusaha digiring ke budaya Barat yang bebas tanpa batas.
Padahal Allah SWT telah berfirman :
“Dan (Kami juga telah mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang sangat hina itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian? [Q.S. Al-A’raaf: 80].
Dalam penggalan ayat tersebut, Allah SWT menyebutkan bahwa perbuatan sodomi antar sesama pria, yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth ‘alaihis salam, merupakan perbuatan fahisyah. Fahisyah adalah suatu perbuatan yang sangat hina dan mencakup berbagai macam kehinaan serta kerendahan. Hal ini sebagaimana penafsiran dari seorang ahli tafsir, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah, ketika beliau menjelaskan fahisyah dalam ayat ini,
الخصلة التي بلغت – في العظم والشناعة – إلى أن استغرقت أنواع الفحش
“Perbuatan yang sampai pada tingkatan mencakup berbagai macam kehinaan, jika ditinjau dari sisi besarnya dosa dan kehinaannya!”. [Tafsir As-Sa’di]
Dan firman Allah Ta’ala :
{مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ}
“…yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?” [Al-A’raaf: 80].
Maksudnya ialah bahwa perbuatan sodomi yang telah dilakukan kaum Nabi Luth AS tersebut, belumlah pernah dilakukan oleh seorangpun sebelum mereka. Hal ini jelas disebabkan karena perbutan homoseksual itu adalah perbuatan menyelisihi fitroh yang sangat menjijikkan ,karena seorang laki-laki mensetubuhi dubur laki-laki lain, sedangkan di dalam dubur itu adalah tempat kotoran.
Maka wajib kiranya kita sebagai bangsa yang beradab dan terlebih lagi bangsa yang menjunjung nilai-nilai ketuhanan yang juga tertuang dalam dasar negara kita Pancasila, yakini “Ketuhanan yang Maha Esa”. Tentu saja manifestasi dari bunyi ayat pertma ini adalah pengaplikasian nilai-nilai dan norma ketuhanan dalam menjalankan aktivitas berbangsa dan bernegara, salah satunya menolak ide LGBT dan Kumpu Kebo karena hal itu sudah jelas melanggar norma agama manapun. [MIS]