Pandangan ulama tentang pentingnya ilmu bagi manusia Imam As-Syafi’i mengatakan:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ , وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Artinya: “Barang siapa menghendaki (kebaikan) dunia, maka hendaknya ia menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebaikan akhirat, maka hendaknya menggunakan ilmu”.
Mencari ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim. Dengan ilmu kedekatan kepada Allah dapat diraih, kelas lebih tinggi dari para malaikat dapat diperoleh dan status sosial yang tinggi di surga dapat dinikmati. Dengan ilmu kemuliaan dunia, kemewahan, kekuasaan dan kehormatan dapat diperoleh. Bahkan binatang pun secara naluri akan tunduk kepada manusia karena ilmu yang dimilikinya. Inilah kesempurnaan ilmu secara mutlak. Ketika berbicara tentang ilmu, maka tidak lain kaitannya dengan sistem pendidikan. Di Indonesia, sistem pendidikan masih diselimuti oleh masalah-masalah besar seperti belum mampunya mencetak manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang. Juga belum mampu melahirkan generasi yang beriman, cerdas, sebagaimana yang diharapkan. Pemerintah pun seperti abai dan tidak segera membenahi problem dunia pendidikan yang sangat krusial ini. Hingga masalah semakin merembet dan tak kunjung selesai. Terlebih lagi, di masa kepemimpinan Jokowi – JK semua aset negara diserahkan kepada asing dan aseng. Mereka lebih mempercayai kepada asing untuk mengelola aset negara, ketimbang dikelola oleh sumberdaya manusia yang ada di negeri sendiri.
Namun disisi lain, pemerintah dengan gencarnya menyelenggarakan kegiatan – kegiatan di bidang pendidikan yang itu dengan mudahnya memberikan kesempatan emas bagi peradaban barat untuk memasukkan tsaqafah – tsaqafah asing ke pemikiran kaum muslim. Yap, baru – baru ini kegiatan “Kuliah Akbar Dan Orasi Kebangsaan, Serta Pembacaan Deklarasi PT Melawan Radikalisme” yang telah diadakan serentak di 350 kabupaten / kota pada 34 provinsi dengan melibatkan 4,5 juta peserta. Peserta yang terdiri dari pimpinan perguruan tinggi dan civitas akademika baik mahasiswa, dosen, serta staff di perguruan tinggi, dengan mengundang atau melibatkan banyak pihak lain baik pemerintah maupun tokoh yang satu ide dan satu tujuan menjaga Indonesia dari isu SARA, kebencian, fitnah dan adu domba. Acara ini dilaksanakan bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda yaitu 28 Oktober 2017.
Adapun tujuan strategis dari acara tersebut ialah pertama, mempertegas sikap perguruan tinggi se-Indonesia bersama civitas akademika di masing-masing kampus untuk melawan radikalisme dan intoleransi, serta menjadi benteng bagi Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Kedua, mensosialisasikan secara lebih luas dikalangan civitas akademika khususnya, dan pada masyarakat secara umum, mengenai Deklarasi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme, untuk secara bersama diaktualisasikan secara nyata dan konkrit dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan sosial-kemasyarakatan dengan berlandaskan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi. (sumber: beritajambi.co)
Bila wawasan kebangsaan diartikan sebagai bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap negara, menjaga negara ini dari berbagai bentuk penjajahan maka disinilah mahasiswa harus mengambil peran terdepan. Namun, bila wawasan kebangsaan diartikan sebagai ketundukan pada sekularisme, dan sistem yang menyengsarakan rakyat, maka mahasiswa harus menolak bahkan wajib melakukan perlawanan. Penjajahan yang paling nyata setelah penjajahan fisik (militer) berakhir, adalah penjajahan gaya baru (neoimperalisme) melalui penerapan sistem sekular, utamanya di bidang ekonomi dengan penerapan ekonomi kapitalis, dan di bidang politik penerapan demokrasi yang terbukti telah menimbulkan berbagai bentuk kerusakan. Upaya barat untuk menjauhkan pemuda Muslim dari pemahaman Islam yang benar, nampak pada rencana aksi pemberdayaan pemuda dalam mencegah kekerasan ekstrimis. Sekjen PBB mengingatkan akan hasil deklarasi pemuda di Amman 2015, bahwa pemuda harus menjadi pionir perdamaian dunia dan aktif mencegah kekerasan ekstrimis. Tetapi sebelumnya, barat telah membuat narasi bahwa pelaku kekerasan adalah kelompok Islam. Mulai dari pengeboman gedung WTC di Tahun 2001 hingga peristiwa Paris attack, bom Ankara, bom Sarinah, dan terakhir bom Brusseldi, pelakunya dialamatkan kepada kelompok Islam. Selain itu, Islam selalu dibenturkan dengan Pancasila. Seolah pemuda muslim diberikan 2 pilihan, yaitu sebagai pemuda muslim atau pemuda pancasila. Padahal kita ini adalah seorang muslim yang menerapkan nilai – nilai pancasila serta mencintai tanah air. Realitas ini menunjukan sungguh salah alamat ketika deklarasi kebangsaan bukan untuk melawan neoliberalisme, akan tetapi melawan gerakan dan paham radikalisme. Dan paham radikalisme yang dimaksud adalah syariat Islam khususnya tentang khilafah.
Wawasan Kebangsaan Wujud Cinta Tanah Air?
Wujud cinta kita terhadap tanah air dengan tidak membiarkan pihak asing melakukan penguasaan, dominasi apalagi sampai melakukan penjajahan terhadap negeri kita ini. Inilah yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Imam Bonjol dan sebagainya ketika mereka terus melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Begitu juga apa yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari, didukung para ulama dalam barisan Sabilillah dan para santri Hizbullah, ketika menyerukan jihad untuk menolak kedatangan pasukan Belanda yang hendak merampas kemerdekaan Indonesia yang belum lama diproklamasikan pada tahun 1945. Serta kita sebagai mahasiswa harus terus bersikap kritis dan bersuara kebenaran untuk mengingatkan umat terhadap ancaman penjahan baru atau neoimperialisme.
Memahami hakikat masalah bangsa, akan menyadarkan mahasiswa untuk mengimplementasikan dengan tepat wawasan kebangsaan, yaitu dengan mengembalikan pengaturan negeri ini dengan syariat Islam kaffah. Hanya Syariat Islam yang tegas dalam mengatur politik, ekonomi serta pendidikan. Islam jelas mengharamkan kebebasan kepemilikan-neoliberalisme, sebaliknya Islam mewajibkan negara untuk mengelola kepemilikan umum diantaranya SDA kemudian hasilnya untuk kemaslahatan rakyat. Di dalam pendidikan Islam mengajarkan bagaimana memiliki kepribadian Islam yang benar dengan berakidah Islam yang kuat, berakhlak mulia, dan peduli terhadap masalah umat. Peran Mahasiswa menyelamatkan negara ini, hanyalah dengan solusi Islam; bukan ke arah sosialisme ataupun kapitalisme yang diatasnamakan Pancasila. Hanya ke arah Islam sajalah kita bisa berharap terciptanya baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang rahmatan lil alamin.
Jadi, perjuangan penegakan syariah sesungguhnya adalah implementasi wawasan Kebangsaan dan kecintaan pada negeri ini, yaitu untuk membawa negeri ini kepada keberkahan. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, milik Allah, maka mestinya ditata dengan aturan Allah (syariah).
[Tri Rahayu]