AS Mengancam, Resolusi Tetap Gol

Posted on

United Nations General Assembly atau Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berhasil meloloskan rancangan resolusi mengenai status Yerusalem setelah pemungutan suara yang digelar dalam sidang di majelis tersebut pada Kamis, 21 Desember 2017. Ada sebanyak 128 negara anggota memilih setuju dengan rancangan resolusi yang menolak keputusan Amerika Serikat untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel itu. Dikutip dari AFP, hanya sembilan negara yang menyatakan menentang resolusi itu, sementara 35 negara lainnya memilih untuk abstain. Selain Amerika dan Israel tentunya, tujuh negara lain yang tak setuju dengan rancangan resolusi Majelis Umum PBB itu adalah Guatemala, Honduras, Togo, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Kepulauan Marshall. Di kubu negara-negara yang memilih untuk abstain salah satunya ialah terdapat Ukraina, yang sebelumnya mendukung saat rancangan resolusi itu masih berada di Dewan Keamanan PBB.

Saat masih di Dewan Keamanan PBB (DK PBB), terdapat 14 anggota–dari total 15 anggota DK PBB–memilih mendukung, dengan hanya AS yang bertahan menolak rancangan resolusi tersebut. Hal itu memaksa AS untuk menggunakan hak vetonya. Di dalam rancangan resolusi itu, semua negara diminta menahan diri dalam melakukan misi diplomatik di kota Yerusalem dengan merujuk resolusi yang dikeluarkan PBB pada 1980. Poin lainnya adalah mendesak semua negara mematuhi 10 resolusi terkait Yerusalem yang terbit sejak 1967, termasuk soal kota suci itu yang hanya bisa diputuskan dalam perundingan langsung antara Israel dan Palestina. Kemudian, rancangan resolusi ini juga menegaskan jika setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk mengubah karakter, status, atau komposisi demografis kota Yerusalem tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku dan harus dibatalkan.

Tools Broadcast WhatsApp

Sidang darurat Majelis Umum PBB itu digelar atas permintaan dari otoritas Palestina dan mendapat dukungan dari sejumlah negara–terutama negara-negara muslim, menyusul langkah veto Amerika Serikat dalam sidang di Dewan Keamanan PBB. Resolusi PBB 377 yang terbit pada 1950 menjadi payung hukum penyelenggaraan sidang darurat Majelis Umum PBB dalam hal Dewan Keamanan PBB gagal membuat resolusi terkait perdamaian karena penggunaan hak veto. Prosedur tersebut dikenal dengan sebutan “uniting for peace”. Sayangnya, resolusi yang dihasilkan dari sidang darurat Majelis Umum PBB seperti ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (non-binding). Resolusi tersebut juga tak bisa memaksa penggunaan hukum internasional seperti jika resolusi dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.

Namun begitu, resolusi Dewan Keamanan PBB yang terbit pada 1980 terkait larangan bagi setiap negara untuk menggelar misi diplomatik di Yerusalem belum pernah dicabut. Resolusi mengenai status akhir Yerusalem harus diputuskan lewat negosiasi langsung Palestina dan Israel—terbit pada 1967—juga masih berlaku. Perwakilan resmi Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley menyatakan, negaranya tetap akan memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem sekalipun ada resolusi Majelis Umum PBB ini. Ia menyatakan bahwa Amerika akan menempatkan kedutaan kami (di Israel) di Yerusalem…. Tidak ada resolusi di PBB yang akan membuat perbedaan dalam hal itu.

Namun, kata Haley, Amerika akan “mengingat” hari pemungutan suara ini. Menurut dirinya, Amerika kini punya pandangan yang tak lagi sama soal PBB dan negara-negara yang berseberangan suara dengannya. Ia berujar, “Ketika kami memberikan kontribusi yang murah hati kepada PBB, kami juga memiliki harapan yang sah bahwa niat baik kami diakui dan dihormati”.

Berbeda dengan AS, Palestina justru menyambut gembira resolusi Majelis Umum PBB ini. Nabil Abu Rdainal selaku juru bicara Presiden Palestina, Mahmoud Abbas mengatakan, “(Hasil) pemungutan suara ini adalah kemenangan bagi Palestina”. Adapun Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour menyebut hasil pemungutan suara 128 berbanding sembilan ini merupakan kemunduran besar bagi Amerika.

Sehari sebelum sidang digelar, yakini tanggal 21 Desember lalu, AS mengancam akan melakukan sanksi ekonomi kepada negara-negara anggota PBB yang bersuara berseberangan dengannya. Trump mengancam pemutusan bantuan keuangan kepada negara-negara yang mendukung resolusi PBB untuk menentang Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Seperti diketahui bahwa pada awal bulan ini presiden AS itu menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel kendati sejak awal hal itu sudah dikecam dunia internasional dan belakangan memicu aksi unjuk rasa di sejumlah tempat.

Trump berkata di dapan para wartawan di Gedung Putih, “Mereka mengambil jutaan dollar dan bahkan miliaran dollar. Mereka memberi suara yang menentang kami,” ia melanjutkan, “Biarkan mereka bersuara menentang kami. Kami akan menghemat banyak. Kami tidak peduli,” ucapnya. Komentar tersebut disampaikan menjelang pemungutan suara di Majelis Umum PBB pada Kamis 21 Desember 2017 lalu. Pemungutan suara itu bertujuan untuk menghasilkan resolusi yang menentang pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Melihat hal tersebut, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki dan Menlu Turki Mevlut Cavusoglu menuduh bahwa apa yang AS lakukan tersebut merupakan bentuk intimidasi. Cavusoglu mengatakan, “Kita melihat AS yang ditinggal sendirian kini beralih mengancam. Tidak ada negara terhormat dan bermartabat yang akan tunduk pada tekanan ini”.

Status kota Yerusalem merupakan isu utama dalam konflik Israel-Palestina yang panjang. Israel menduduki kawasan timur kota itu, yang sebelumnya dikuasai Yordania, saat Perang Timur Tengah pada 1967. Israel menganggap bahwa seluruh wilayah Yerusalem sebagai ibu kota yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Sementara itu, Palestina mengklaim bahwa Yerusalem Timur sebagai ibu kota dari negaranya.

Menurut kesepakatan Oslo pada 1993,yang menyatakan bahwa status Yerusalem pada akhirnya akan ditetapkan dalam tahap berikut perundingan damai Israel-Palestina. PBB mendesak bahwa semua negara supaya menahan diri dari pembentukan misi diplomatik di Yerusalem. [MIS]

virol tools instagram