“Ideology has shaped the very sofa on which I sit”
–Mason Cooley
Tonggak perubahan sebuah bangsa salah satunya ditentukan oleh generasi mudanya. Generasi muda memiliki peran yang begitu signifikan dalam menentukan jalanya sebuah bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu tak heran jika banyak kita temui slogan bahwa anak muda merupakan aset bagi sebuah peradaban.
Setiap Peradaban Memiliki Ciri Khas
Dalam setiap peradaban tentu saja memiliki nilai-nilai yang menjadi ciri khas dari peradaban tersebut. Ciri khas ini terkadang dibentuk oleh kondisi lingkungan di mana peradaban itu berkembang. Bukan hanya dibentuk oleh kondisi lingkungan, nilai juga dibentuk oleh sebuah agama yang datang ke dalam peradaban tersebut. Agama dianggap sebagai salah satu sumber nilai yang dianut dalam suatu peradaban. Agama dianggap institusi yang dapat mempertahankan nilai-nilai di dalam seuatu masayarakat hingga di masa modern ini. Nilai-nilai ini tentu saja akan diwarisakn kepada generasi muda dari peradaban itu sendiri. Jika generasi muda sudah tidak lagi mengimplementasikan maupun mengemban nilai dari peradabannya, maka keruntuhan suatu peradaban tinggal menunggu waktu.
Hal demikian juga berlaku bagi peradaban Islam, Islam sebagai satu-satunya agama yang Allah ridahi juga mewarisakan ajarannya kepada generasi muda. Generasi mudahlah yang akan melesatarikan ajaran dan nilai-nilai Islam untuk bisa meluas dan berkembang ke seluruh muka bumi ini. Namun sayangnya, Dunia Islam saat ini sedang diguncang oleh sebuah viris yang penulis sebut sebagai virus “degradasi Islam“. Virus ini sedang menyerang anak-anak muda di dalam Dunia Islam. Virus ini merupakan sebuah pemikiran yang menjauhkan pemuda muslim dari agama paripurnanya. Mereka kerap kali “silau” dengan apa yang namanya peradaban Barat karena meliahat kemajuan Barat saat ini yang begitu cemerlang. Barat menjanjikan sebuah keindahan dunia, mualai dari teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan lainnya. Maka anak-anak muda yang berasala dari dunia muslim mengaanggap bahwa kemajuan Barat merupakan hasil dari nilai-nilai Barat yang mereka anut selama ini.
Maka munculah sebuah narasi untuk meninggalkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam dan menggantinya dengan nilai-nilai Barat, seperti kepitalis-demokratis. Anak muda di negara-negara muslim–penulis menggunakan dunia muslim dan negara muslim untuk menyebut negara-negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam–berusaha dijauhkan oleh ide-ide akan Islam dengan berabagai cara, seperti hiburan, pemikiran, dan lainnya. Anak-anak muda ini secara terus-menerus distimulus supaya melepasakan identitas muslimnya dan menggantinya dengan identitas universal yang diakui oleh Barat. Kalau tidak begitu, mereka menanamkan ide tentang nasionalisme yang sangat sempit. Menganggap pengabdia terhadap “nation satate” di atas pengabdian terhadap agamanya, yakini Islam. Padahal kita tahu bahwa Islam yang merupakan agama paripurna harus kita tempatkan di atas segalanya. Pengabdian tertinggi kita harus kita lekatkan hanya kepada Allah SWT.
Islam sebagai Agama dan Peradaban yang Paripurna
Keparipurnaan Islam juga kerap kali dipertanyakan oleh mereka yang katanya “intelek“, tidak terkecuali di tengah-tengah anak muda–terutama mahasiswa. Islam dianggap sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dan tatanan yang teleh dibangun saat ini. Padahal kita tahu bahwa relevan atau tidaknya sebuah ide atau gagasan ditentukan bukan oleh kondisi zaman melainkan ideologi. Orang-orang Arab terdahulu terbiasa untuk memiliki istri yang lebih dari empat, suka minum-minuman keras, suka berperang antar suku, dan lain sebagainnya.
Namun setelah Islam datang ke tengah-tengah mereka, kebiasaan yang dulu mereka lakukan tidak bisa lagi mereka lakukan karena terikat dengan aturan Allah SWT. Tentu saja orang-orang yang belum beriman di sana akan mengatakan bahwa aturan-aturan Allah itu tidak relevan bagi budaya mereka. Mereka juga akan mengatakan bahwa Islam mengusik kebiasaan nenek moyang bangsa Arab.
Begitu pula saat ini, Islam dianggap tidak relevan dengan zaman. Mereka yang mengatakan Islam sudah tidak lagi relevan menggunakan indikator relevan atau tidak berdasarkan konsensus yang dibangun oleh sistem saat ini. Misalnya saja di dalam Islam ada yang namanya hukum cambuk atau rajam, jika kita benturkan hukum ini dengan nilai yang dianut oleh sistem saat ini, yakini HAM dan Kemanusiaan, maka keduannya akan saling bertolak-belakang atau beroposisi.
Maka jelas bahwa klaim mereka tentang Islam yang sudah tidak relevan lagi dengan zaman hanyalah pembenaran, hal ini dikarenakan mereka masih menggunakan indikator relevan atau tidak relevan menggunakan “alat ukur” nilai-nilai Barat.
Para intelektual yang mengatakan Islam itu perlu direformasi tak ubahnya seperti mengatakan seorang pria harus berpenampilan dan berkepribadian seperti wanita. Padahal sudah jelas keduanya saling beroposisi. Reformasi yang mereka maksud adalah menghilangkan nilai-nilai Islam dan menggantinya dengan nilai Barat. Islam tetap ada namun hanya sebatas kulit, sedangkan ruhnya sudah bukan lagi Islam, melainkan Barat.
Pemikiran tersebut pada dasarnya terkoopatsi oleh Barat, wacana refeomasi dalam Islam tak ubahnya sebuah refleksi keinginan Barat supaya nilai-nilainya diemban oleh umat muslim di seluruh dunia ini. Sayangnya, terkadang para anak muda muslim dengan bangga menelan narasi tersebut. Mereka mengkalim bahwa mereka memiliki sikap kritis namun kekritisan mereka kerap kali hanya ditunjukan kepada agama mereka, yakini Islam dan mematikan nalar kritis mereka terhadap nilai-nilai Barat yang mereka emban.
Pemuda Islam Harusnya Menjaga Pemikiran dan Peradaban Islam
Tren seperti itu nampaknya tengah menjangkiti para anak muda di dunia Islam. Barat dengan berbagai instrumennya berusaha untuk mencabut nilai-nilai Islam yang hakiki di jiwa para pemuda/pemudi muslim. Melalui media, seperti internet, surat kabar, majalah, radio dan TV; institusi pendidikan; pemerinthan, bahkan institusi agama mereka mencoba menanamkan doktrin-doktrin baru supaya agama Islam dijauhkan dalam kehidupan para anak muda muslim.
Ide tersebut ditanamkan oleh sebagian intelktual yang telah ter-Barart-kan karena sudah sejak lama diberikan ide-ide Barat. Tak jarang juga tokoh agama yang seharusnya bisa membimbing umat Islam menuju kebangkitang yang hakiki justru mala sebagai agen yang menanamkan ide-ide Barat ke tengah-tengah umat sehingga membuat umat ridak “pede” dengan identitasnya sebagai muslim.
Di Indonesia sendiri sudah sejak lama umat muslim di negeri ini dijejali dengan konsep-konsep Barat yang sangat dipaksakan supaya bisa seirama dengan Islam padaha sudah jelas berbeda. Tak terkecuali di kalangan mahasiswa muslim di Indonesia, mahasiswa di hidangkan oleh para dosen yang sudah mengadopsi nilai-nilai Barat dalam kehidupannya. Mereka dikenalkan konsep kesetaraan jender, kebebasan, bahakan wacana kritis terhadap agamanya sendiri, sedangkan nalar kritis terhadap sistem yang dibangun Barat mereka matikan.
Efek dari hal ini akhirnya membuat para anak muda muslim di Indonesia merasa inferior jika mereka masih menggunakan identitas dan pemikiran Islam karena mereka menganggap bahwa ide yang agung dan paripurna adalah ide Barat. Padahal sudah jelas bahwa kita harus bangga dengan identitas kita sebagai muslim, Allah SWT sudah memberikan agama ini kepada umat manusia sebagai agama yang final dan sudah pasti sesuai dengan perekmbangan zaman hingga akhir dari dunia ini. Maka dari itu,kita sebagai bagian dari anak muda muslim Indonesia seharusnya membuang ide-ide Barat dalam jiwa kita dan kita harus bangga dengan identitas dan pemikiran Islam yang memang seudah sesuai dengan perkembangan zaman. [Yopi Makdori]