Pada periode yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat untuk mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter degan jastifikasi pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing). Di tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu program eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang mereka menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (Action T4) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo/lansia.
Euthanasia dalam Perspektif Islam
Dalam praktik medis di kenal adanya istilah eutanasia (taisir al-maut). Mudahnya eutanasia akan berbanding lurus dengan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit (katanya, karena dalam perspektif Islam kematian adalah peristiwa yang sangat menyakitkan). Beberapa pihak mengungkapkan alasan eutanasia karena kasih sayang (mercy killing). Hal ini melihat anggapan sang pasien sudah menderita sakit yang teramat parah, dan ditinjau dari sisi medis kemungkinannya untuk bertahan hidup sangat tipis. Namun kondisi organ tubuhnya masih banyak yang berfungsi dengan normal, layaknya manusia hidup.
Hafidz Muftisany dalam tulisannya yang terbit di laman Republika, Jum’at, 13 November 2015 memaparkan bahwa pengertian “mempercepat kematian” dalam terminologi Islam tidak dikenal sama sekali. Dalam ajaran agama Islam, yang menentukan kematian hanya Allah SWT, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah Yunus [10] ayat 49 yang artinya, “…Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya).” Oleh karena itu, eutanasia pada dasarnya merupakan penghentian upaya medis yang diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya. Eutanasia sendiri ada dua jenis, yakni eutanasia positif (taisir almaut al-fa’al). Maksudnya ialah tindakan ini me mudahkan kematian pasien yang dilakukan oleh dokter dengan menggunakan bantuan alat atau obat-obatan tertentu yang dapat segera mematika.
Contoh kasus eutanasia positif misalnya seorang yang menderita kanker ganas disertai juga dengan rasa sakit yang amat sangat, dan sang dokter dengan pertimbangan medis menilai peluang hidup sang pasien begitu kecil. Kemudian dokter boleh memberinya obat dengan takaran tinggi yang dapat menghentikan kesakitannya sekaligus menghentikan tanda-tanda kehidupan pasien tersebut atau mempercepat proses kematiannya.
Jenis lainnya ialah eutanasia negatif (taisir al-maut al-munfa’il), yakni tim medis tidak menggunakan bantuan alat atau obat untuk mengakhiri kehidupan sang pasien tersebut. Namun yang dilakukan adalah membiarkan sang pasien tanpa pengobatan (dibiarkan saja).
Contoh kasus eutanasia negatif ialah penderita kanker yang sudah kritis hingga koma. Lalu menurut perhitungan dan analisa para tim medis, penderita tersebut sulit untuk bertahan hidup lama. Akhirnya para tim medis dan keluarga pasien sepakat untuk tidak melakukan tindakan apapun kepada pasien tersebut, namun tetap memperpanjang harapan hidup sang pasien. Syekh Yusuf Qaradhawi (ulama kontenporer) ketika ditanya masalah ini menjawab jika eutanasia yang dimaksud adalah jenis yang positif, maka hal tersebut tentu saja dilarang. Jika model eutanasia positif, berarti si dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien secara cepat. Bahkan Syekh Yusuf Qaradhawi menggolongkan hal tersebut sebagai bentuk dari pembunuhan dan secara otomatis masuk ke dalam kategori dosa besar. Meskipun menurutnya (Syekh Qaradhawi), niat melakukannya dilandasi dasar kasih sayang.
Dalam Islam segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan, sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Tidak halal membunuh seorang Muslim, kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yakni; pezina mukhsan/sudah berkeluarga, maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang Muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga; dan seorang yang keluar dari Islam.”
Kemudian ia memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka ia harus dibunuh, disalib, dan diasingkan dari tempat kediamannya.” (HR. Abu Dawud dan an- Nasa’i dari Aisyah binti Abu Bakar RA). Selain alasan-alasan tersebut, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan (jarimah) tindak pidana, yang mendapat sanksi hukum dan tidak dapat terjastifikasi dengan alsan apapun jua.
Sementara itu, jenis eutanasia negatif menurut Syekh Yusuf Qaradhawi berkisar pada ikhtiar memberikan pengobatan dan tidak memberikan pengobatan. Mengobati penyakit menurut jumhur hukum yang paling kuat adalah mubah. Sebagian kecil ulama mewajibkannya seperti Ibnu Taimiyyah. Para ulama berbeda pendapat manakah yang lebih baik antara berobat atau bersabar. Yang berpendapat bersabar lebih baik berdalil dari hadis Ibnu Abbas tentang wanita penderita epilepsi yang meminta Nabi SAW mendoakannya. Rasulullah SAW bersabda, “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga. Dan jika engkau mau aku akan doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab, “Aku akan bersabar”. (Muttafaq Alaih).
Syekh Qaradhawi berpendapat bahwa jika seseorang yang sakit lalu diberi berbagai macam pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, dan sebagainya namun tidak ada perubahan maka hal itu bisa jadi bahwa tindakan untuk melanjutkan pengobatan tidak wajib hukumnya. Justru bisa jadi menghentikan pengobatanlah yang wajib. Jadi taisir al-maut, seperti contoh eutanasia negatif bukanlah termasuk membunuh jiwa, namun sebagai bentuk bersabar atas musibah yang tengah menimpanya. Karena dalam Islam, sabar bukan hanya diam, tetapi juga berusaha, namun jika berusaha sudah dilakukan dengan berbagai upaya, maka sabar dengan berdiam diri ialah solusinya.
Selesai