Kementerian Dalam Negeri Turki mengatakan bahwa pihaknya tengah mengambil langkah hukum yang diperlukan sebagai upaya untuk menindak setiap unggahan di media sosial yang berisikan komentar mengenai krisis ekonomi di negara bekas kekuasaan Kekhilafahab Ottoman itu. Kemdagri mengatakan bahwa sedikitnya 346 akun media sosial sudah berada dalam pengawasan pemerintah sejak 7 Agustus lalu. Sejumlah ratusan akun tersebut dinilai telah telah melakukan unggahan komentar terkait melemahnya nilai mata uang lira terhadap dolar Amerika dengan cara sebagaimana yang otoritas Turki katakan “provokatif.” Dikutip Reuters, pihak pemerintah Turki bahkan telah menetapkan serangkaian langkah hukum terhadap akun-akun provokatif tersebut. Selain melakukan hal itu, kantor jaksa Turki juga disebut tengah menyelidiki beberapa individu yang dianggap oleh pihak pemerintah Turki telah terlibat upaya mengancam keamanan ekonomi di negaranya.
Jaksa di sana menganggap bahwa Turki tengah menjadi target serangan ekonomi dari pihak luar maupun dalam. Pemerintah Turki sendiri telah berjanji bahwa akan menindak hukum segala berita hingga komentar tertulis maupun visual di media sosial yang dapat dikategorikan sebagai bentuk dari sebagaimana yang dimaksud. Sebelumnya diketahui bahwa nilai mata uang lira terus mengalami pelemahan terhadap mata uang dolar Amerika Serikat hingga 18 %, terutama pasca Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan kebijakan menaikan tarif impor produk baja dan aluminium yang berasal dari Turki beberapa saat yang lalu. Akibat kebijakan proteksionis AS tersebut, nilai lira disebut berada di titik terendah sejak 2001 lalu. Kebijakan proteksionisme itu diberlakukan oleh Pemerintahan Trump sebagai bentuk dari sanksi yang diberikan oleh negara itu bagi Turki karena Turki menolak untuk membebaskan seorang pendeta Nasrani asal Amerika, yakni Andrew Brunson, yang telah ditahan otoritas Ankara atas tuduhan terorisme dan spionase.
Presiden Turki Tayyip Erdogan menggambarkan kebijakan Amerika tersebut sebagai rudal perang ekonomi yang dilancarkan negara yang selama ini selalu mendorong liberalisasi ekonomi ke negara-negara lain itu terhadap Turki. Meskipun nilai lira mengalami keterpurukan, dalam pidatonya pada Minggu (12/8) lalu, Erdogan membantah bahwa penahanannya berada dalam masa krisis. Ia menganggap bahwa anjloknya nilai tukar lira hanya sebagai fluktuasi yang tak ada hubungannya dengan fundamental ekonomi negara itu. Ia bahkan menganggap bahwa peristiwa tersebut (merosotnya nilai tukar lira) hanya sebuah manifestasi serangan dari kelompok oposisi yang berupaya menggulingkannya dalam upaya kudeta gagal 2016 lalu.
Erdogan berkata, “Mereka yang tidak bisa bersaing dengan kami di arena pertarungan telah membawa skenario kurs fiktif online yang tak ada hubungannya dengan kondisi riil Turki, produksi dan ekonomi riil. Negara ini tidak runtuh, tidak hancur atau bangkrut karena krisis,” terangnya. Sepanjang tahun ini, mata uang Lira memang terus melemah hingga 40 %. Sebagian besar penurunan tersebut dipicu oleh kekhawatiran atas pengaruh Erdogan dalam ekonomi negara itu. Seruan berulang terkait kebijakan suku bunga rendah dalam menghadapi inflasi tinggi dan juga hubungan antara AS dan Turki yang kian memburuk belakangan ini.
Selain pertentangan terkait penahanan pendeta, Turki dan AS memang banyak berselisih pendapat dalam menanggapi berbagai isu internasional mulai dari perang sipil di Suriah hingga ambisi Turki membeli sistem pertahanan dari Rusia.
Pengaruhnya terhadap Rupiah
Melemahnya lira Turki juga ikut mempengaruhi nilai tukar Rupiah. Rupiah menghadapi tekanan yang begitu kuat. Pada perdagangan awal pekan ini, rupiah ditutup pada posisi Rp14.608 per dolar Amerika Serikat. Posisi itu diketahui melemah sebanyak 130 poin jika dibandingkan dengan sesi penutupan perdagangan akhir pekan kemarin yang berada pada tingkatan Rp14.478 per dolar.
Selain rupiah, hampir seluruh mata uang di kawasan Asia ikut mengalami penurunan dari dolar AS. Rupee misalnya, mata uang India tersebut diketahui melemah 1,29 persen. Hal serupa juga terjadi pada renmimbi China minus 0,47 persen, dan won Korea Selatan minus 0,44 persen. Kemudian ada juga peso Filipina yang mengalami pelemahan sebesar 0,29 persen, dolar Singapura juga minus 0,2 persen, baht Thailand minus 0,17 persen, dan ringgit Malaysia yang mengalami penurunan sebesar 0,16 persen. Namun begitu, yen Jepang justry berhasil mengalami penguatan sebesar 0,44 persen. Begitu juga dengan mata uang negara maju lainnya.
Namun tidak dengan dolar Australia yang mengalami pelemah sebanyak 0,37 persen, euro Eropa juga demikian, mengalami minus sebanyak 0,26 persen, rubel Rusia juga minus 0,23 persen, poundsterling Inggris juga mengalami pelemah sebanyak 0,13 persen, dan dolar Kanada yang mengalami minus 0,11 persen. Hanya franc Swiss yang menguat, yakni sebesar 0,05 persen.
Analis yang juga merupakan Direktur Utama PT Garuda, Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa sentimen krisis keuangan di Turki menjadi penyebab utama terusirnya rupiah ke dalam zona merah. Namun begitu, sejatinya ada pula pengaruh dari negara lain yang ikut mempengaruhi terpuruknya rupiah. Ibrahim mengatakan, “Termasuk juga pengaruh dari memanasnya perang dagang antara Amerika dengan China, sanksi kepada Rusia, dan hasil pertemuan Uni Eropa dengan Inggris terkait Brexit yang tidak ada titik temu,” tandasnya kepada CNNIndonesia.com pada Senin (13/8) lalu. Dari dalam negeri sendiri, rilis defisit neraca transaksi berjalan ikut serta menambah pelemahan mata uang rupiah ini. “Ini sudah komplikasi, kalau situasi ini berlanjut, rupiah bisa terkapar di angka Rp14.800 per dolar AS,” terang Ibrahim.
Meskipun begitu, Ibrahim melihat bahwa rupiah tidak akan terkapar terlalu lama dalam beberapa waktu ke depan (bersifat sementara). Sebab, bank sentral nasional dipastikan akan segera melakukan intervensi dengan menggelontorkan cadangan devisa atau yang dikenal sebagai cadev. Namun menurutnya, penggunaan cadev itu memang mau tidak mau akan membuat jumlahnya tergerus. Hal ini disebabkan kebijakan pemerintah yang berencana akan memaksimalkan penggunaan biodiesel dan pariwisata Indonesia tidak akan berbuah cepat. Kendati demikian, analis ekonomi tersebut menilai bahwa kondisi ini tidak akan membuat Indonesia rentan terseret kedalam krisis ekonomi yang tengah melanda Turki. Hal ini dikarenakan secara fundamental, ekonomi Indonesia masih cukup kuat dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,27 % pada kuartal kedua tahun ini.
Ibrahim mengartakan bahwa, “Indonesia masih jauh dari krisis” terangnya. Lebih jauh, Ia (Ibrahim) memperkirakan bahwa sepanjang pekan ini rupiah akan berada di ikisran Rp14.00-14.550 per dolar Amerika Serikat intervensi rupiah cukup besar. Namun jika tidak, rupiah bisa menyentuh kisaran nilai Rp14.700 per dolar Amerika.
CNN Indonesia