Karena Glombang Pengungsi, Pemimpin Barat Terpecah II

Posted on

Baca Sebelumnya Karena Glombang Pengungsi, Pemimpin Barat Terpecah I

Presiden Trump sendiri bertekad untuk menghentikan imigrasi dari wilayah Meksiko dengan janji akan membangun pagar yang terus diumbar kepada para pendukungnya yang tentu saja kalangan konservatif. Isu tersebut menyatukan dukungannya di dalam negeri, yang akan menjadi senjata tatkala dia bertikai dengan Kanselir Jerman itu dan menjadi amunisi kelompok kanan nasionalis di Eropa.

Tools Broadcast WhatsApp

Kebijakan “tanpa toleransi” atau ‘zero tolerance’ pemerintah Trump yang baru diimplementasikan beberapa saat lalu membuat petugas perbatasan AS mulai memisahkan anak-anak pendatang dari orang tua mereka dan menahannya di kemp-kemp penampungan yang berada di wilayah negara itu.

Kalngan pendukung Presiden Trump tentu saja memuji langkah tersebut karena mengaggap bahwa warga yang menyeberang perbatasan secara ilegal akan bisa menjadi jera. Namun begitu, sikap tersebut berubah setelah muncul gambar dan rekaman video tentang anak-anak balita yang menangis ketika dipisahkan dari orangtua mereka karena kebijakan tersebut.

Dikalim Mnegotori Negaranya

Pada mulanya Presiden Trump menuding bahwa partai Demokrat telah bertanggung jawab dan mempergunakan kata yang menyamakan para imigran di Amerika dengan anggota kelompok kejahatan MS-13 yang memiliki hubungan dengan El Salvador.

Trump berujar dalam akun Twitternya bahwa, “Demokrat adalah masalah.” Ia melanjutkan, “Mereka tidak peduli dengan kejahatan dan ingin migran ilegal, betapapun jahatnya mereka, untuk masuk dan mengotori Negara kita, seperti MS-13,” terang Trump.

Namun pada hari Rabu (20/6) yang merupakan diperingati sebagai Hari Pengungsi Dunia, Trump menyerah dengan menghentikan kebijakan ‘zero tolerance’ yang amat kontroversial, yakni kebijakan pemisahan anak dengan keluarganya. Namun ia mengaskan bahwa kebijakan “tanpa toleransi” tetap diterapkan (namun tidak dengan memisahkan mereka). Langkah tersebut kemungkinan akan meredakan kritik dari kalangan partai Republik sendiri, namun imigrasi dan ras masih mendominasi perdebatan di pemilu sela itu.

Berganti ke Benua Biru, di Eropa, para pemimpin Uni Eropa akan mengadakan pertemuan darurat terkait migrasi pada Minggu mendatang (telah berlalu saat tulisan ini disadur). Taruhannya jelas begitu besar bagi pemimpin berhaluan tengah (moderat)seperti Merkel dan Presiden Perancis Emmanuel Macron, dan bahkan bagi Uni Eropa itu sendiri.

Para pemilih Inggris sendiri telah memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa setelah kampanye referendum Brexit lolos dengan menjual sentiman anti-imigran di negeri itu. Kini koalisi sayap kanan Italia yang baru terbentuk menolak mengizinkan satu kapal dengan 630 imigran mendarat di wilayahnya. Suatu tindakan yang pada dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang kerap kali negara-negara itu usung.

Menteri Dalam Negeri Salvini, yang juga merupakan pendukung berat Presiden AS, Donald Trump, dari partai Liga yang berhasil masuk ke pemerintah dengan menjual sikap anti-imigrasi, memperingatkan kaum ilegal harus segera berkemas dari negerinya. Negeri-negeri Mediterania yang berada di garis depan menghadapi gelombang pengungsi ini meminta Eropa utara untuk mengambil lebih banyak beban (para pengungsi) dengan menerima pengungsi yang mendarat di Eropa selatan dari Afrika yang menyebrang dari pantai Afrika Utara.

Russel Mead menuliskan dalam artikelnya bahwa,”Bagi Salvini, memanfaatkan isu migrasi adalah menang-menang-menang.” Ia melanjutkan, “Dia memecah kubu kiri dan menyatukan kubu kanan di dalam negerinya; ia menantang konsesus kaum elit di Eropa; dan ia juga berhasil membuat dirinya penting di panggung internasional.” Kanselir Austria Sebastian Kurz, juga memperingatkan akan hal senada, ia menyatakan bahwa akan “bencana” dan mendekati tokoh-tokoh garis keras seperti Viktor Orban dari Hungaria. Mereka ialah para pemimpin yang merasa bahwa gelombang sejarah kini bergerak tengah mendukung mereka.

Selesai

[CNN INDONESIA]

virol tools instagram