Agama hadir di tengah-tengah manusia setidaknya sudah ribuan tahun yang lalu. Bahkan jika melihat dari sudut pandang umat Islam, agama telah ada sejak manusia pertama diturunkan di bumi ini.
Dalam pandangan Islam, agama hadir untuk mengatur tata kehidupan manusia supaya sesuai dengan yang Allah perintahkan. Aturan dalam agama bersifat mengikat kepada para pemeluknya. Dan keterikatan mereka terhadap agama begitu kuat.
Dalam kontekstualisasi saat ini, agama kerap dihalang-halangi untuk mengatur ranah politik. Opini yang berkembang di masyarakat modern seakan mengatakan kepada agama, “Anda jangan coba-coba mengatur politik, urusan anda ada di tempat ibadah!”.
Agama Alat Politik
Munculnya opini penolakan akan intervensi agama terhadap politik tidak serta merta muncul begitu saja. Jika ditarik, maka akar dari pandangan tersebut begitu jauh hingga abad pertengahan di Eropa. Semangat menjauhkan politik dari agama muncul seiring berkembangnya rasionalitas manusia. Agama dianggap sudah tidak bisa lagi menjabarkan permasalahan umat manusia yang begitu kompleks.
Selain itu, munculnya pandangan pemisahan ini dilatarbelakangi oleh fakta yang mempertontonkan ‘penggunaan agama sebagai alat politik oleh penguasa Roma’ kala itu. Dibalik payung agama, penguasa Roma selama ratusan tahun menindas rakyatnya sendiri. Bahkan mereka menolak sains karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama di sana.
Banyak dari para ilmuwan kala itu menjadi martir dan dibunuh oleh pasukan Kekaisaran Roma. Mereka diburuh layaknya tikus got yang menjijikan. Banyak di antar mereka yang dituduh sebagai penyhir atau alkhemis.
Melihat situasi seperti itu, beberapa kelompok yang memiliki hati nurani menggelorakan kampanye sekulerisasi, yakni pemisahan urusan dunia, termasuk di dalamnya adalah politik, dengan agama. Di tangan para filsuflah konsep sekulerisasi itu dikembangkan dan tersebar menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat Eropa setelahnya.
Universal Idea
Sebelum abad keduapuluh, sekulerisasi tidak menjadi ide umum (universal idea) kecuali hanya di Eropa. Namun ia sudah menginfiltrasi imperium Islam, dan merongrong konsep kekhilafahan yang sebagai mana banyak dipahami oleh banyak orang sebagai konsep teokrasi.
Pasca runtuhnya imperium Islam yang terakhir, yakni Ottoman/Ustmani, Konsep sekulerisasi begitu cepat meyebar di tengah-tengah masyarakat Islam bagaikan menyebarnya sebuah wabah. Penyebaran ini semakin diperkuat oleh munculnya Amerika dan kawan Blok Sekutunya sebagai pemenanag Perang Dunia II.
Amerika Serikat dan sekutunya mengartikulasikan dan mengampanyekan nilai-nilai demokrasi, yang di dalamnya termasuk ide tentang sekulerisasi. Mereka dengan berbagai sumber daya yang mereka miliki mengampanyekan sekulerisasi ke seluruh otak umat manusia di dunia ini.
Tidak terkecuali kepada anak muda Muslim di Indonesia. Anak muda Muslim yang tercabut dari akar sejarah agamanya, maka ia akan dengan mudah menelan bulat-bulat berbagai ide yang disuarakan oleh Barat. Tanpa adanya pemahaman akan konter narasi terkait ide tersebut, saya yakin mereka akan mengimani ide itu hingga akhir hanyatnya.
Pertanyaannya “Mengapa”?
Jika kembali meninjau dari akar sejarah ide sekulerisasi, maka dapat sedikit gambaran bahwa ide ini muncul dikarenakan ketakutan bangsa Eropa akan kepemimpinan yang semenah-menah. Mereka begitu trauma akan munculnya diktator berjubah agama yang selama ratusan tahun membawa Eropa ke dalam zaman kegelapan.
Pemimpin yang berlindung dibalik jubah agama menurut mereka sering kali merupakan pemimpin yang bertindak “abuse of power”. Maka dari itu mereka tidak menghendaki adanya pencampuradukan nilai-nilai agama dengan politik.
Agama yang dulu dianggap sebagai patron kebenaran, bagi mereka sudah tidak demikian. Bagi mereka agama hanyalah urusan kepercayaan yang tidak boleh dicampuradukan dalam masalah dunia, terlebih lagi politik.
Selain dikarenakan oleh hal itu, bagi mereka alasan lain yang menguatkan ide sekulerisasi ialah ketidakrelevanan atau bahkan ketidakadaan konsep politik dalam agama. Maka jika konsep yang bagi mereka sudah tidak relevan itu digunakan untuk berpolitik saat ini, maka yang terjadi ialah kekacuan.
Agama dan Politik haram Dinikahkan?
Haram atau tidaknya sesuatu itu terletak pada apa yang dinamakan dengan ‘prinsip’. Prinsip merupakan sesuatu yang nantiya akan menentukan gerak-gerik dari seseorang dalam menjalankan kehidupannya. Misalnya saja bagi mereka yang memegang prinsip Islam tentu saja haram hukumnya memekan daging babi dan apa-apa yang diharamkan menurut tuntunan agamanya.
Berbeda dengan umat agama lain yang secara nilai dan prinsip berbeda. Namun begitu, jika ada umat Islam yang masih ‘ngotot’ untuk makan babi, maka itu bukan lagi prinsipnya untuk boleh makan babi, melainkan pembangkangannya terhadap prinsip itu sendiri. Karena dalam Islam terdapat ‘code of conduct’ dalam menjalankan ajarannya.
Begitu juga dengan keharaman mengawinkan politik dengan agama. Itu juga prinsip yang diemban oleh peradaban Barat yang ditanamkan ke benak seluruh umat manusia. Keharaman itu tidak lahir dari rahim ajaran Islam yang mana memiliki aturan yang mengikat kepada para pemeluknya.
Namun orang-orang yang mengimani prinsip tersebut dengan pongahnya mengklaim bahwa pihak yang tidak sejalan dengan prinsipnya sebagai kelompok ‘backward’ atau ‘kolot’. Padahal bagi saya itu merupakan sebuah prinsip yang tidak boleh seorang pun untuk mengintervensinya.
Kita mengklaim bahwa kita biasa akan perbedaan. Kita juga tidak bosan-bosan untuk berceramah tentang toleransi. Namun tatkala mereka yang berprinsip bahwa agama haruslah digunakan sebagai parameter pilihan politiknya, kita yang baik selalu berceramah tentang toleransi maupun mengaku menghargai perbedaan langsung mengecamnya. Maka sudah sepantasnya saya bertanya, “Waraskah kita?”