Hari ini tepat tanggal 16 November 2017, tanggal yang selalu diperingati sebagai hari “toleransi” sedunia. Lawan dari toleransi ialah intoleran, dan saat ini kebetulan Indonesia oleh sebagaian pihak sedang dirundung isu intoleran. Saat terjadi demo besar-besarann umat Islam untuk menuntut Gubernur DKI Jakarta, Bapak Basuki Tjahaja Purnama atau sering disebut Ahok, publik internasional melihat iklim toleransi di Inonesia sedang terganggu. Mereka menganggap bahwa apa yang terjadi di Indonesia kala itu merupakan tindakan umat Islam yang intoleran terhadap kaum minoritas. Apa itu intoleran? Tentu saja intoleran adalah lawan dari kata toleransi, maka untuk mengetahui makna intoleran alangkah baiknya berangkat dari apa itu toleransi, terlebih lagi toleransi menurut konsepsi Islam.
Kita sebagai muslim sudah sepatutnya senantiasa selalu berpatokan sepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Selain itu juga baik kiranya kita mengikuti bagimanan berislamanya para sahabat nabi dahulu. Selain karena mereka merupakan orang-orang yang tentu saja soleh, mereka juga saksi dari turunnya ajaran Islam yang disampaikan oleh nabi kita Muhammad SAW. Tentu saja para sahabat paham akan akan risalah-risalah Islam yang disampaikan oleh Nabi. Termasuk dalam masalah toleransi, ada sahabat Rasulullah SAW yang patut kita sebagai seorang muslim contoh. Ia adalah Umar bin Khattab RA, saat ia menjadi seorang khalifah, pengaruh Islam mencakup hingga ke luar Semenanjung Arab. Pasukan Islam berhasil membebaskan Mesopotamia (kini Irak) dan sebagian Persia dari kekuasaan kekaisaran Sassanid. Mesir, Palestina, Yerusalem, Suriah, Afrika Utara, dan Armenia juga dibebaskan dari cengkeraman kekaisaran Romawi Timur (Byzantium). Pada kepemimpinannya juga ia menerapkan sistem administrasi birokrasi sampai ke negeri-negeri taklukan.
Khalifah Umar dikenal sebagai pribadi yang bersahaja, meskipun begitu keras dan tegas dalam menghadapi kebatilan. meskipun demikian, ia selalu bersikap lemah lembut terhadap kelompok-kelompok yang tidak diperlakukan adil, sekali pun mereka berbeda agama. Keadilan bahkan harus tegak berdiri walaupun dalam suasana perang. Hal demikian merupakan ajaran Islam yang sangat indah, yang tentu saja Umar adopsi dan termanifestasikan dalam karakter dan sifatnya. Khalifah Pada masa kehalifahannya, ia juga berusaha sesegara mungkin untuk bisa mengukuhkan keadilan di seluruh daerah kekuasaannya. Ialah yang memulai proses kodifikasi hukum Islam. Sahabat Nabi SAW yang sudah dijamin masuk surga itu juga membuat administrasi pengadilan agar efektif sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Kisah penaklukan Yerusalem pada tahun 16 Hijriyah sebagai salah satu contoh gemilang sikap Umar bin Khattab dalam menegakkan keadilan di negeri-negeri yang berhasil ditaklukan Islam. Prinsip demikianlah yang mendasari hidupnya toleransi di Tanah Suci itu. Berawal dari kesediaan Patriarch Sophronious, pemuka agama Kristen Ortodoks Yerusalem saat itu, untuk memberikan kunci kota kepada Khalifah Umar bin Khattab. Penyerahan kunci tersebut dilakukan tanpa paksaan, melainkan sebagai upaya diplomasi. Maka selanjutnya sebagai balasannya, Khalifah Umar pun menawarkan perjanjian damai. Maka berawal dari itu lahirlah deklarasi al-‘Uhda al-‘Umariyyah atau Jaminan Keamanan Khalifah atas Warga Aelia. Aelia merupakan nama yang diberikan kaum Kristen Ortodoks untuk wilayah Yerusalem saat itu. Kala itu, Yerusalem sebenarnya sudah dalam genggaman pasukan Muslim. Umar memerintahkan mereka untuk menghormati hak-hak setiap warga sipil yang mereka jumpai di sana.
Meskipun tampil sebagai penguasa, konsistensi Umar tetap terjaga dan menghormati pemuka agama Kristen Ortodoks itu sebagai pihak setara. Piagam itu di antaranya berisikan hal-hal sebagai berikut, Umar amir al-mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama. Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas. Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus membayar pajak (jizya) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya. Sebagai ganti perlindungan terhadap diri, anak cucu, harta kekayaan, dan pengikutnya Sophorinus juga menyatakan jaminannya. “kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru dikota dan pinggiran kota kami;..Kami juga akan menerima musafir Muslim kerumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam… kami tidak akan menggunakan ucapan selamat yang digunakan Muslim; kami tidak akan menjual minuman keras; kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau di pasar-pasar milik umat Islam”.
Bukan hanya itu saja, bahkan salah satu poin dalam Piagam itu melarang Yahudi masuk ke wilayah Jerussalem (atas usulan Sophorinus). Namun Umar meminta ini dihapus dan Sophorinus pun setuju. Umar lalu mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di Jerussalam dan mendirikan synagogue. Umar bahkan mengajak Sophorinus membersihkan synagog yang penuh dengan sampah.
Toleransi Ala Umar
Setelah perjanjian tersebut disepakati, waktu shalat datang. Khalifah Umar lantas bertanya kepada Patriarch Sophronious, di mana ia bisa menunaikan shalat. Patriarch Sophronious mempersilakan Umar untuk shalat di gereja itu. Namun, dengan tegas tawaran pendeta tersebut ditolak oleh Umar. Hal ini jelas mencerminkan ketegasan Umar dalam berislam. Alih-alih ia mnerima tawaran tersebut (layaknya tolernasi yang dikontruksikan selama ini), ia (Umar) justru kemudian keluar dari Gereja Qiyâmah dan shalat di anak tangga. bagi umat Kristen Ortodoks di sana, gereja itu merupakan tempat suci di Yerusalem.
Sebagai bentuk penghormatan, tepat di titik anak tangga tempat Khalifah Umar mendirikan shalatnya, kemudian dibangun sebuah masjid kecil. Toleransi yang dicontohkan Khalifah Umar tak berhenti di situ. Ia menganjurkan agar adzan tidak dikumandangkan di dalam masjid kecil tersebut. Sebab, dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas umat Kristen Ortodoks di Gereja Qiyâmah, yang tak jauh darinya. Sahabat Umar menjelaskan alasan dia tidak mau shalat di dalam gereja. Sebab, secara simbolis, bila sampai hal itu dilakukan, pasukan Muslim dapat menafsirkannya bahwa Gereja Qiyâmah boleh ditaklukkan sehingga diubah menjadi masjid. Mendengar hal tersebut, Sophronious mengangguk dan merasa kagum.
Piagam Umar tersebut terus dilaksanakan dari satu khalifah ke khalifah lainnya. Umat Islam bahkan menjadi juru damai antara Yahudi dan Kristen serta antara sekte-sekte dalam Kristen. Ceritanya, karena sering terjadi perselisihan antar sekte di gereja Holy Sepulchre tentara Islam diminta berjaga-jaga di dalam gereja. Sama seperti Umar, para tentara juru damai itu pun ditawari shalat dalam gereja dan juga menolak. Untuk praktisnya mereka shalat dimana Umar dulu shalat.
Begitulah toleransi dalam Islam yang diajarkan oleh Umar. Seorang sahabat yang mendapat julukan “Al Faruq” yang berarti pembeda, pembeda di sini bermakan ia tegas dalam memisahkan yang haq dan yang batil. Haram dia katakan haram, halal akan dia katakan halal. Hal inilah yang menunjukan ia mempunyai karkter yang begitu tegas. Maka kita sebagai umat Islam juga dituntut mempunyai karkater seperti umar, yakini tegas dalam berakhidah. Toleransi dalam tidak berarti mencampuradukan agama satu dengan agama lainnya, karena agama Islam adalah haq sedangkan selain itu tentu saja batil, maka keduanya tentu saja saling berlawanan. Toleransi dalam Islam adalah membiarkan umat agama lain untuk menjalankan perintah agamanya dengan aman. Semoga kita bisa meneladani sifat yang dimiliki oleh Umar.
[Muhammad Iskandar Syah]