Presiden Amerika yang terkenal kontroversial, Donald Trump baru-baru ini telah memberlakukan sanksi bagi dua pejabat tinggi Turki berkaitan dengan penolakan otoritas Turki untuk membebaskan seorang pendeta Amerika bernama Andrew Brunson yang berusia 50 tahun, yang telah ditahan di Turki atas tuduhan spionase.
Otoritas Turki diketahui telah menangkap pendeta itu atas tuduhan spionase dan hubungan dirinya dengan kelompok teroris. Langkah pemerintah Amerika Serikat di bawah administrasi Presiden Trump pada hari Rabu (1/8) itu mengancam akan memperburuknya hubungan yang sudah tegang antara kedua negara sekutu NATO (North Atlantic Treaty Organization) tersebut.
Pada pekan lalu diketahui bahwa Pendeta Andrew Brunson dikeluarkan dari penjara dan ditempatkan dalam tahanan rumah. Namun, otoritas Turki menolak mengizinkannya pulang ke Amerika Serikat, meskipun ada peringatan yang disampaikan oleh Wakil Presiden negara digdaya itu, Mike Pence. Pence berujar, “Jika Turki tidak mengambil tindakan segera untuk membebaskan orang yang tidak bersalah ini, dan mengirimnya pulang ke negaranya (Amerika), maka Amerika Serikat akan memberlakukan sanksi yang signifikan terhadap Turki sampai Pendeta Andrew Brunson bebas”.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menepis peringatan tersebut dan ia mengatakan ancaman tidak akan memaksa Turki mengorbankan independensi peradilan yang mereka miliki. Erdogan berujar bahwa, “Pernyataan yang mengancam itu tidak akan menguntungkan siapa pun. Kami menunjukkan solidaritas terbaik dengan Amerika Serikat dalam NATO”.
Administrasi Trump pada hari Rabu (1/8), telah mengumumkan sanksi terhadap dua pejabat Turki berkaitan dengan kasus penahanan Brunson tersebut. Tatkala ditanya oleh wartawan dalam sebuah konferensi pers pada hari Rabu, juru bicara Gedung Putih, Sarah Huckabee Sanders mengungkapkan bahwa, “Atas arahan presiden, Departemen Keuangan memberikan sanksi kepada menteri kehakiman Turki dan menteri dalam negeri, yang keduanya memainkan peran utama dalam penangkapan dan penahanan Pendeta Brunson. Sebagai akibatnya, setiap properti atau kepentingan terkait properti kedua menteri itu dalam yurisdiksi Amerika Serikat diblokir, dan warga Amerika umumnya dilarang melakukan transaksi dengan mereka.”
Pendeta Brunson diketahui bahwa telah tinggal di Turki selama lebih dari 2 dekade atau 20 tahun. Ia ditangkap setelah terjadi kudeta yang gagal pada 2016 lalu. Kudeta itu diketahui berusaha untuk menggulingkan pemerintahan Erdogan yang merupakan pemerintahan yang sah.
Otoritas berwenang di Turki menuduh bahwa pendeta Amerika itu telah membantu para pemimpin kudeta. Sanksi yang diberlakukan oleh Amerika itu kemungkinan akan menimbulkan ketegangan baru dalam hubungan Amerika-Turki yang juga telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir ini. AS diketahui telah menolak permintaan Ankara untuk mengekstradisi seorang ulama Turki yang tinggal di Amerika, yakni Fethullah Gulen, yang oleh otoritas Turki dituduh sebagao otak dibalik kudeta 2016.
Gulen yang tinggal di pengasingan di negara bagian Pennsylvania menyangkal bahwa dirinya telah berperan dalam kudeta yang gagal tersebut. Amerika Serikat sendiri telah mengatakan Turki belum memberikan bukti yang memadai untuk membenarkan ekstradisi Gulen dan menolak menukarnya dengan Pendeta Brunson.
AS juga telah membuat marah Ankara karena mendukung para pemberontak Kurdi yang memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Ankara mengklaim milisi tersebut terhubung dengan sebuah kelompok teroris dari kelompok Kurdi.
Kelompok Kurdi juga diamata Turki dilihat sebagai para pemberontak dan teroris karena memiliki misi untuk memerdekan diri dari kekuasaan Turki. Sedangkan di saat yang bersamaan, meskipun basis gerakannya gerakan kiri, namun AS dengan terang-terangan membantu kelompok Kurdi tersebut tanpa menghiraukan Turki sebagai sekutunya di NATO.
[VOA]