Dulu kala saya duduk di bangku kelas tiga MI saya cukup lama menderita penyakit Tipus, yang membuat saya terpaksa untuk tidak mengikuti pembelajaran di kelas selama lebih dari satu bulan. Dalam masa itu, saya melihat kedua orang tua saya begitu khawatir. Tak terkecuali bagi nenek, nenek saya (semoga Allah SWT mencurahkan rahmat kepada Beliau) pernah berkata yang membuat hati ini selalu terenyuh kala mengingatnya.
Di tengah keputusasan karena melihat saya tidak kunjung sembuh dari penyakit tersebut, nenek sambil mengusap kepala saya berkata dalam bahasa Dermayau (Indramayu), “Nang, Misem (panggilan kepada nenek) bae ya sing gantiaken matine lamon senang entok umure. Senang mah masih cilik masih dawa uripe.”. Artinya begini, “De, Misem saja ya yang menggantikan meninggalnya kalau Dede habis umur. Dede masih panjang hidupnya.” Kala nenek bilang seperti itu pikiranku tertuju pada gambaran neraka yang sering saya dengar dari guru-guru di sekolah dan Tajug (Langgar).
Saat itu, saya merasa begitu takut dan sepontan bilang, “Misem, enak jadi Entok ya. Ia tidak punya nyawa, jadi tidak masuk neraka.” Ibu mendengar pernyataan lugu yang saya utarakan kepada nenek tersebut. Ia langsung menimpal, “Aja ngomong mengkonon,” atau dalam bahasa Indonesia, “Jangan bilang seperti itu”.
Entok dan Pencarian Makna Hidup
Bukan tanpa alasan saya katakan kepada nenek saat itu tentang keinginan menjadi Entok. Sebelumnya saya mendapatkan ilmu dari guru saja bahwa binatang itu tidak mempunyai ruh, yang mana mereka tidak memiliki konsekuensi atas tindakan mereka di hari setelah kematian. Berbeda dengan manusia, manusia mempunyai konsekuensi tersebut.
Bagi Entok hidupnya adalah untuk makan, kawin, dan disajikan di meja makan. Itulah arti hidup bagi Entok.
Berbeda dengan manusia, manusia sepanjang zaman tidak pernah berhenti untuk mencari apa yang namanya “makna kehidupan”. Mereka (dan saya) terus mencari sesuatu yang keberadaannya akan membuat hidup mereka menjadi berarti. Apa itu? Apa arti hidup bagi insan yang disebut “manusia”? Berbeda-beda!
Pew Research Center, sebuah lembaga survei yang berbasis di Amerika Serikat pada 20 November 2017 merilis hasil surveinya terkait “makna hidup bagi orang Amerika”. Pew Research Center menggunakan dua metode kuesioner, yang pertama kuesioner terbuka, dan kedua tertutup.
Kuesioner terbuka berisikan pertanyaan kepada beberapa responden terkait dua kata yang bagi mereka medeskripsikan kepuasan, kebahagiaan, dan kebermaknaan dalam hidup. Para responden banyak yang menjawab kata seperti karir, keluarga, kepercayaan (agama), hobi, binatang peliharaan, trevel, musik, dan aktivitas luar ruangan. Kata-kata tersebutlah yang menurut mereka (responden) mendeskripsikan makna hidup.
Keluarga merupakan kata yang paling banyak mendeskripsikan makan hidup dalam survei tersebut. Sejumlah 69% orang Amerika percaya bahwa makna hidup mereka ada pada keluarga, disusul kemudian dengan karir (34%), uang(23%), spiritualitas dan kepercayaan (20%), teman (19%), hobi (19), kesehatan (16%), rumah (13%), dan Belajar (11%).
Dari survei tersebut diketahui bahwa keluarga merupakan elemen paling utama begi banyak penduduk Amerika untuk menentukan kebermaknaan hidupnya. Dibandingkan dengan karir dan uang, sebagaimana seharusnya elemen yang menjadi indikator kebrmaknaan hidup penduduk di negara-negara maju, keluarga merupakan unsur yang menang telak di hati banyak rakyat Amerika sebagai indikator kebermaknaan hidupnya.
Di Indonesia belum ada survei resmi dalam sekala masif untuk mengetahui makna hidup bagi sebegian besar popolasi di negeri ini. Apakah serupa dengan di Amerika, ataukah justru berbeda. Lalu mari kita tanyakan dalam diri masing-masing, di manakah kita mencari makna hidup? Di dunia ataukah di sesuatu yang bersifat transenden, seperti agama?
Referensi
PRC (20 November 2017). Where Americans Find Meaning in Life. Diakses melalui: http://www.pewforum.org/2018/11/20/where-americans-find-meaning-in-life/, pada 14/01/2018