Bukhara adalah kota yang berada di sebelah tengah Uzbekistan. Saat ini, kota tersebut berpenduduk 247.000 jiwa (2005). Kota ini pernah mengalami masa kejayaannya pada abad ke-9 M hingga abad ke-13 M sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan di wilayah Asia Tengah. Bukhara juga merupakan tempat kelahiran dari Imam Bukhari, salah seorang periwayat dan ahli hadis dalam Islam.
Bukhara juga merupakan salah satu negeri dari negeri-negeri seberang sungai (bilad ma wara-u an-nahr). Sungai yang dimaksud merupakan sungai panjang yang mengairi negeri-negeri Asia Tengah. Orang Yunani menyebutnya sebagai Sungai Oxus. Sedangkan Orang Arab, mengenalnya dengan nama Sungai Jeyhun, dan para pujangga Persia memujanya dengan sebutan Mulyan. Bahkan ada juga yang menamainya dengan sebutan Amu Darya, Sungai Amu, Panj, dan Vaksh. Bukhara merupakan sebuah kota kuno yang pada saat ini merupakan bagian dari Republik Uzbekistan. Pada masa kejayaannya, kota tersebut menjadi salah satu pusat perekonomian negara bekas jajahan Uni Soviet itu. Kota ini juga menjadi pusat tempat belajar, kebudayaan, dan tentunya ilmu agama.
Luas kota Bukhara ialah sekitar 32% dari luas wilayah Uzbekistan. Dan kepadatan penduduknya hanya mencapai 8,2% mewakili negara tersebut. Sebelum ajaran Islam datang ke sana, penduduk Bukhara adalah kaum pagan yang tentu saja menyembah sebuah berhala yang disebut dengan “Makh”. Masyarakat Bukahara beribadah dan memberi persembahan kepada berhala tersebut setahun sekali. Para periwayat sejarah sepakat bahwa orang Islam yang pertama kali melintasi pegunungan di Bukhara ialah Ubaidullah bin Ziyad. Ia merupakan seorang gubernur pada masa kekhilafahan Umayyah untuk wilayah Khurasan di masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Kehidupan para penduduk Bukhara mulai berubah tatkala tentara Islam datang membawa risalah Islam ke negeri itu. Di akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar dari daerah Irak menuju Khurasan. Miqdam akhirnya berhasil menaklukan wilayah itu hingga ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, Khalifah Bani Umayyah kala itu memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.
Pada saat memimpin daerah Khurasan, usia Ubaidullah bin Ziyad masih sangat muda, yakini baru 25 tahun. Hal tersebut bukanlah tanpa alasan yang bijak, di usia Ubaidullah bin Ziyad yang ke-24 tahun saja, ia telah mampu mencapai Sungai Jeyhun. Saat itu, Bukhara dipimpin oleh seorang janda yang mereka agungkan dengan julukan “Khatun”. Ini adalah sebutan dalam Bahasa Turk yang bermakna sayyidah kalau dalam Bahasa Arab.
Selanjutnya, terjadilah sebuah pertempuran antara Khatun menghadapi pihak kaum muslimin. Dalam pertempuran tersebut ternyata Khatun kalah. Maka karena kalah, Khatun meminta perjanjian damai dan jaminan keamanan kepada pasukan muslim. Ubaidullah bin Ziyad mengabulkan permintaan tersebut, dan pihak muslim menerima 1 juta dirham dari perjanjian damai tersebut. Kemudian ia (Ubaidillah) kembali ke Bashrah. Setelah peristiwa itu, Muawiyah mengangkat Said bin Utsman bin Affan sebagai pimpinan penanggung jawab daerah Khurasan. Ia memasuki wilayah Samarkand dan kemudian Khatun menolongnya menghadapi penduduk Bukhara.
Seperti yang diterangkan di atas bahwa, pasukan Islam untuk kali pertama menginjakan kaki di tanah Bukhara terjadi pada tahun 674 M di bawah seorang pimpinan panglima perang yang diutus oleh Muawiyah, yakini Ubaidillah bin Ziyad. Namun demikian, pengaruh Islam baru benar-benar mulai mendominasi wilayah tersebut pada tahun 710 M di bawah kepemimpinan sang Kutaiba bin Muslim. Seabad pasca terjadinya perang besar di sana, yakini Perang Talas, Islam mulai kokoh menanjabkan pengaruhnya di Bukahara.
Tepat di tahun 850 M, wilayah Bukhara telah menjadi sebuah ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti Samanid membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah tersebut. Tatkala dinasti ini berkuasa, selama masa 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sebagai sentra perdagangan. Pedagang dari wilayah Asia Barat dan Cina, bertemu di kota ini. Di kota ini pada masa itu berkembang berbagai jenis bisnis, seperti pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas dan juga perak dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kota ini pun menjadi begitu termasyur sebagai kota pasar induk yang menampung berbagai produk dari Cina dan Asia Barat.
Selain itu juga, karena kota Bukahara berada di sekitar Sungai Jihun, tanah di sana pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah ruah di kota tersebut. Kota ini dikenal dengan buah-buahannya, seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian di sana pun tumbuh pesat. Maka tak heran, jika kemudian nama daerah ini makin populer.
Pada masa kejayaan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi kota pusat dari intelektual dunia Islam. Kala itu, di kota Bukhara bermunculan berbagai madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid juga mulai memperbaiki sistem pendidikan umum di Bukahara. Di setiap perkampungan berdiri sekolah-sekolah yang bermutu. Bagi mereka yang berasal dari keluarga yang kaya-raya, lebih memilih untuk menndidikan putera-puterinya dengan sisitem home schooling atau sekolah di rumah.
Mereka yang mempunyai anak yang berusia enam tahun, maka anaknya mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Kemudian anak-naka di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, yakini ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, yakini masing-masing selama tujuh tahun. Maka secara keseluruhan, pendidikan di madrasah saat itu harus ditempuh selama 21 tahun.
Di sana, pada saat itu para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu agama, aritmatika, jurisprudensi, logika, musik, dan juga puisi. Majunya pendidikan di kota itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek. Maka tak heran jika kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan dan juga keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara ini pula kemudian yang melahirkan sederet ulama dan ilmuwan Muslim begitu populer.
Di tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid telah berakhir. Dinasti ini digantikan dengan Dinasti Salajikah. Namun tak lama kemudian, diambli alihlah oleh Dinasti Khawarizm. Kala itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan studi tentang Islam masih tetap dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala’udin Muhammad Khawarizm Syah telah berakhir, maka Bukhara yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia Islam pun mulai meredup kegemilangannya. [MIS]