Al Liwa Organizer
Perang yang terus berlangsung selama tujuh tahun ini di Suriah juga mengakibatkan lumpuhnya sistem ekonomi di sana. Saat aktivitas produksi barang dan jasa terhenti, maka tidak begitu mengherankan akan berdampak pada lumpuhnya sistem ekonomi di sana. Lumpuhnya ekonomi juga berdampak pada sulitnya pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga Suriah, seperti kebutuhan makan dan minum.
Pemenuhan makanan mungkin bisa dipenuhi secara parsial dengan bercocok tanam, namun dalam kondisi snipir ada di mana-mana di tambah pesawat tempur al Assad dan Rusia kerap kali lalu-lalang di langit Suriah, menjadikan aktivitas bertani di Suriah begitu mengerikan. Belum lagi resiko akan hancur atau dijarahnya hasil pertanian mereka oleh aktor-aktor lain membuat semakin engganya warga di sana untuk memenuhi pangan mereka dengan cara bertani. Maka solusi satu-satunya yang bisa mereka andalkan ialah menunggu bantuan internasional.
Menurut PBB, saat ini setidaknya 13,1 juta warga Suriah yang berada di dalam negaranya begitu membutuhkan bantuan kemanusiaan (kebutuhan dasar manusia). 10,5 juta di antaranya mengalami “food insecure” atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar makan mereka. Angka ini belum ditambah dengan jumlah warga Suriah yang menjadi pengungsi di negara-negara tetangganya. Masih menurut PBB, sebanyak 2,7 juta warga Suriah yang menjadi pengungsi di negara-negara tetangga saat ini begitu membutuhkan bantuan makanan.
Lebih mengerikan lagi saat oprasi udara pesawat tempur rezim al Assad membombardir wilayah suburban Ghouta (wilayah yang mengelilingi ibukota Suriah, Damaskus), tepatnya di Ghouta Timur, warga di sana benar-benar membutuhkan berbagai bantuan, terutama makanan. Menurut UN World Food Programme (WFP), sejak September 2017, sebanyak 174.500 orang di kota Douma terpaksa menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka. Mereka terpaksa mengonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa, makanan ternak maupun sampah, bahkan ada yang berhari-hari tidak mendapatkan makanan sama sekali. Banyak di antara warga kota di sana yang menderita kelaparan.
Kota ini sejak Agustus tahun lalu sama sekali belum ada konvoi kendaraan pengangkut bahan makanan yang masuk ke sana. Meskipun wilayah ini pada dasarnya merupakan wilayah pertanian, namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa aktivitas pertanian di sana sangat sulit untuk dilakukan. Masih menurut WFP, keluarga di sana terpaksa memberlakukan mekanisme rotasi makan bagi anak-anaknya, yakni bagi anak yang hari ini telah makan, maka besok tidak lagi mendapatkan makanan. Karena jatah makanan untuk besok diberikan kepada saudaranya yang lain, dan begitu seterusnya. Mekanisme tersebut terpaksa diberlakukan sebagai upaya pengehematan kebutuhan makanan mereka.
WFP juga mewawancarai salah satu ibu di kota tersebut, ia menceritakan bahwa anak perempuannya selalu menangis tatkala dirinya mengunci kamar sang anak. Anak perempuanya paham bahwa saat kamar dikunci, maka seharian ia akan tinggal di sana dengan perut kosong. Sungguh cerita yang sangat menyayat hati. Maka mereka di Ghouta khususnya dan Suriah pada umumnya begitu membutuhkan bantuan dari kita. Mari kita bergerak bersama demi memupuk rasa kemanusiaan kita di tengah-tengah zaman yang sudah mulai hilang rasa kemanusiaan orang-orangnya.
NB: Seri rangkaian tulisan ini ditunjukan untuk mencerdaskan dan memberikan gambaran kepada kita semua di Indonesia tentang perang yang terjadi di Suriah. Supaya nantinya terbentuk pemahaman tentang perang di sana dan akan berimplikasi pada tumbuhnya semangat kepedulian kepada saudara-saudara kita di Suriah. Semoga rangkaian tulisan ini membuat kita ikut tergerak untuk peduli kepada warga Suriah.