Sebelumnya Wajib Baca Apa yang Membedakan Sikap Para Penguasa Itu? [Bagian I]
Wabah kolera di Yaman mencapai puncaknya pada akhir Juni, ketika lebih dari 50 ribu kasus yang dicurigai dilaporkan dalam satu minggu di 22 dari 23 provinsi di Yaman. Sejak itu, kasusnya dilaporkan terus menurun. Angka terbaru yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (19/12), menunjukkan adanya 7.622 kasus kolera yang dicurigai dan satu kematian dilaporkan pekan lalu. Namun begitu, pejabat WHO telah memperingatkan kemungkinan adanya gelombang baru terkait kasus tersebut pada awal musim hujan di bulan Maret, jika koalisi pimpinan Saudi tidak mengurangi blokade Yaman dan mengizinkan lebih banyak makanan, bahan bakar dan obat-obatan untuk memasuki Yaman. Blokade diperketat setelah Houthi melepaskan sebuah rudal balistik di ibukota Saudi, Riyadh, pada November lalu.
Koalisi tersebut mengatakan, pihaknya ingin menghentikan penyelundupan senjata kepada pemberontak oleh Iran. Dimana, Iran telah dituduh memasok senjata untuk pemberontak Houthi. Namun, PBB mengatakan bahwa pembatasan tersebut dapat memicu kelaparan terbesar dunia yang telah terjadi selama beberapa dekade. Layanan kesehatan Yaman tidak mampu mengatasi wabah kolera, dengan lebih dari separuh fasilitas medis ditutup karena kerusakan yang dialami selama konflik. Rumah sakit juga menghadapi kekurangan pasokan obat-obatan, bahan bakar dan peralatan karena blokade koalisi. Kerusakan infrastruktur dan kurangnya bahan bakar untuk stasiun pemompaan juga telah menyebabkan 16 juta orang terputus dari akses reguler ke air bersih dan sanitasi, sehingga meningkatkan kemungkinan penyebaran kolera. Anak-anak kurang gizi juga berisiko tinggi meninggal akibat penyakit yang menular. Di Yaman, sekitar 1,8 juta anak-anak kekurangan gizi akut, termasuk 400 ribu anak-anak di bawah usia lima tahun dengan malnutrisi akut parah [Republika.com].
Kolera sendir merupakan infeksi diare akut yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi bakteri Vibrio Cholera. Pada kasus yang parah, penyakit ini bisa membunuh dalam hitungan jam jika tidak diobati. Sedangkan saat ini, kondisi Yaman begitu memperihatinkan karena besarnya jumlah pengidap wabah tersebut.
Di Bawah Bayang-Bayang Pesawat Pengebom Saudi
Selain diancam oleh wabah kolera, rakyat Yaman juga dihadapkan pada ketakutan yang begitu luar biasa terhadap serangan-serangan pesawat tempur Arab Saudi dan koalisinya yang bisa saja menyerang tempat tinggal mereka. Ketakutan tersebut bukanlah tanpa alasan, selama ini di dalam Perang Yaman, Saudi tidak memiliki aturan perang seakan aksinya tidak memiliki tanggung jawab terhadap Allah SWT. Saudi begitu brutal dalam perang tersebut, tak ubahnya dengan negara yang tidak bertuhan. Saudi bukan hanya menyerang objek-objek militer, melainkan juga berbagai objek sipil, seperti rumah sakit, sekolah, masjid, pasar, pemakaman, jalan-jalan umum, bahkan perkampungan warga sipil. Maka jelas, pada dasarnya dalam perang tersebut Saudi telah melakukan berbagai pelenggaran atas hukum humanitarian atau hukum perang.
Dalam perang yang sudah berlangsung selama beberapa tahun tersebut, menurut laporan PBB pada 30 Agustus 2016, jumlah korban sipil yang tewas di sana mencapai angka “sedikitnya” 10 ribu jiwa. Angka tersebut didapatkan dari informasi resmi yang dihimpun oleh berbagai fasilitas kesehatan di Yaman. Menurut Kordinator Kemanusiaan PBB, Jamie McGoldrick dalam konfrensi pers di Sana’a yang dikutip dari Reuters (30/08/2016), mengatakan bahwa angka tersebut bisa lebih tinggi lagi, karena di beberapa daerah yang belum terdapat fasilitas kesahatan jumlah korban tewas tidak bisa terekam.
Namun begitu, terdapat sebuah kejanggalan di dalam PBB, menurut laporan dari United Nations Human Rights Office of the High Commisions (OHCHR) pada 5 Septemebr 2017, menyatakan bahwa jumlah korban sipil tewas hanya mencapai angka 5 ribu jiwa saja. Hal ini jelas berkontradiksi dengan laporan sebelumnya yang menyatakan angka 10 ribu jiwa. Apa mungkin jumlah korban jiwa bisa menurun dari 10 ribu di tahun 2016 menjadi hanya 5 ribu jiwa saja di tahun 2017?.
Selain itu, karena kondisi internal negaranya yang begitu kacau, sebagian rakyat Yaman juga terpakas menjadi pengungsi. Menurut laporan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) per 19 – 31 Desember 2017, sejumlah 22,2 juta penduduk Yaman dalam keadaan membutuhkan bantuan, lebih dari 2 jutanya merupakan IDPs atau internal displace persons, dan 280.539 jiwa merupakan pengungsi atau pencari suaka.
Aksi saudi di Yaman bukan hanya menyebabkan wabah koleran dan meninggalnya warga sipil di Yaman, pengeboman Saudi yang membabi-buta juga menyebabkan bencana kelaparan yang begitu memperihatinkan menimpa negeri itu. Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Kordinator Kemanusiaan PBB, Jamie McGoldrick pada 11 Septemebr 2017, 8,4 juta masayarakat Yaman terancam kelaparan. Save the Children, sebuah NGO yang konsern terhadap isu anak-anak di seluruh dunia, dalam laporannya menyatakan bahwa 130 anak-anak Yaman meninggal setiap harinya disebabkan oleh kelaparan dan penyakit yang menimpa mereka. Mengutip Al Jazeera (10/10/2017), lebih dari 20 lembaga bantuan internasional di Yaman menyatakan bahwa 20 juta masyarakat Yaman dalam kondisi membutuhkan bantuan, baik itu makanan, obat-obatan maupun bahan bakar.
Kelaparan ini diperparah dengan aksi blokade yang dilakukan oleh Arab Saudi dan koalisinya terhadap Yaman. Dalam kondisi peperangan sudah dipastikan roda perekonomian mengalami kelumpuhan, begitu juga dengan aktivitas pertanian dan produksi. Padahal keduanya meruapakn salah satu cara suatu masyarakat untuk mendapatkan bahan pangan. Oleh karenanya, satu-satunya cara untuk mendapatkan pasokan bahan pangan ialah menunggu bantuan dari dunia internasional. Namun sayangnya, barbagai bantuan yang hendak masuk ke Yaman terpakas tidak bisa masuk disebabkan karena aksi blokade yang dilakukan oleh Arab Saudi dan koalisinya tersebut.
Mengapa Sikap Para Pemimpin Itu Berbeda?
Secara singkat kondisi yang menimpa saudara-saudara muslim kita di Yaman sangatlah memperihatinkan, bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi di Palestina tentu saja Yaman jauh lebih memperhatikan. Di sini saya hendak mengajukan sebuah pertanyaan, mengapa terdapat perbedaan sikap para pemimpin itu dalam menghadapi isu solidaritas muslim? Di satu kasus saat menghadapi isu penindasan terhadap bangsa Palestina, para pemimpin itu secara serentak ikut menghujat aksi yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina. Namun di kasus lain, saat Saudi membantai saudara sesama muslimnya, para pemimpin idu diam seribu bahasa. Lalu solidaritas macam apa yang mereka suarakan?
Pertanyaan tersebut juga saya ajukan kepada sebagian besar umat Islam di negeri ini yang begitu fokal dalam isu Palestina, namun melempem saat ditanya tentang penindasan yang dilakukan Saudi terhadap rakyat Yaman. Maka sudah adilkah kita menempatkan makna solidaris muslim?
Muhammad Iskandar Syah