Benih nafsu akan kuasa sudah mengalir dalam setiap nadi manusia. Ia merupakan bagian dari sisi gelap diri setiap manusia jika tidak dikendalikan. Namun sebaliknya, ia juga katalisator kemajuan jika dikendalikan dengan benar.
Kekuasaan sering membuat manusia lupa. Sifatnya begitu candu, bahkan lebih mematikan dibandingkan zat-zat berbahaya. Efeknya begitu luas terasa, dan jika ia meleket pada orang yang “gila” maka sudah dipastikan kesengsaraan adalah hasilnya.
Mengendalikan Manusia
Saya sering kali melihat dengan mata kepala sendiri tentang begitu bahayanya kebodohan. Kebodohan dan kemisknian bagi banyak orang bagaikan mata rantai yang saling berjalin kelindan satu sama lain. Keduanya dianggap sebagai pemicu dari keduanya juga. Artinya kebodohan dan kemisknian satu sama lain saling mempengaruhi.
Saya terlahir di daerah yang sedikit banyak dari penduduknya menomersekiankan arti pendidikan. Pendidikan yang merupakan salah satu jalan untuk memerangi kebodohan dianggap remeh oleh sebagian dari mereka yang menetap di daerah ini. Memang bukan tanpa alasan mereka menganggap seperti itu. Di mata orang-orang tersebut pendidikan merupakan jalan untuk mencapai kekayaan bukan ilmu. Ilmu nomer sekian, kekayaan adalah harga mati.
Dalam masyarakat yang suasana kebatinannya seperti itu, maka tidak heran akan begitu mudah untuk dimanfaatkan. Mereka dimanfaatkan oleh sesamanya, maupun oleh “otoritas berwenang” di sana. Saya sering berurusan dengan beberapa instansi pemerintahan di sana untuk mengurusi berbagai dokumen. Sering kali saat itu saya menyaksikan orang-orang yang ‘powerless’ baik secara material maupun intelektual dimanfaatkan oleh oknum-oknum bajingan di sana. Mereka dipalak entah dengan atau tanpa mereka sadari bahwa mereka sedang dipalak.
Mereka tidak bisa melawan, jangankan untuk melawan, sadar akan dirinya sedang dimanfaatkan saja tidak. Hal ini terjadi secara massif dan hanya sebagian saja dari mereka yang sadar dan bisa melawan. Mengapa mereka cenderung bersifat pasif?
Alasan yang paling utama sudah saya sebutkan sebelumnya, kebodohan dan kemisknian. Di tengah-tengah masyarakat yang merajalela akan kebodohan dan kemisknian, mereka akan mudah untuk dikendalikan sebagai jalan untuk memanfaatkan. Buktinya di daerah ini bercokol sebuh dinasti yang kekuasaannya sulit untuk digoyangkan. Kala suaminya berkuasa selama 10 tahun, kemudian disusul istrinya selama jumlah waktu yang sama, dan rencanya akan diteruskan oleh putra mahkotanya. Meskipun masyarakat sudah tahun bahwa kepemimpinan mereka begitu korup, namun entah mengapa mereka dan juga partai pengusung mereka dari periode ke periode tak terkalahkan.
Permainan mereka begitu licik dan menjijikan. Dulu saat saya masih duduk di bangku SLTA, guru komputer di sekolah saya mewajibkan seluruh anak didiknya “menyukai” halaman Facebook pasangan calon gubernur mantan penguasa di daerah saya tersebut. Entah mengapa guru itu melakukan hal tersebut, namun dugaan saya ia ditekan oleh atasannya.
Saat itu praktis tidak ada anak yang menentang kemauan sang guru. Lagi-lagi karena kebodohan kami yang membuat kami akhir menuruti perintah guru tersebut. Padahal dikemudian hari saya sadar bahwa apa yang dilakukan oleh guru tersebut jelas tidak tepat. Tindakan itu sungguh tidak bijak dilakukan oleh seorang abdi negara, terlebih lagi oleh seorang guru.
Mereka Dipalak dan Mereka Diam
Sebagai bagian dari penduduk resmi di negeri ini. Masyarakat di daerah saya tentu saja memberikan sumbangsi pemasukan baik secara sadar maupun tidak mereka sadari seperti melalui berbagai produk yang mereka beli. Sumbangsi mereka jelas diperuntukan juga untuk menggaji para aparat pemerintahan di daerah mereka. Namun bagaimana jadinya kala banyak dari sebagian pegawai pemerintahan tersebut yang sebenarnya sudah digaji namun masih memalak anda?
Sejauh yang saya ketahui, hal tersebut (dianggap) lumrah di sana. Mereka yang hendak mengurus berebagai dokumen misalnya akan tunduk jika dipalak oleh mereka. Tanpa bisa melawan, mereka menuruti setiap permintaan yang tanpa dasar.
Matinya Hati Nurani
Mereka yang terbiasa hidup hura-hura dengan uang yang bukan haknya akan tertutup mata batinnya. Mereka tidak lagi meninggalkan rasa iba dihati mereka terhadap orang-orang yang mereka palak. Mereka tidak pernah berfikir jauh akan penderitaan dan kesulitan yang banyak masyarakat di sana alami. Bayangkan, mereka yang jumlah pengeluarannya di atas (kurang lebih) Rp. 360 ribu per bulan, maka menurut penguasa di sana mereka bukan dianggap sebagai “orang miskin”. Artinya, jika pengeluaran perhari anda Rp. 13 ribu saja, maka menurut penguasa “sontoloyo” di sana, anda bukan dianggap sebagai orang miskin dan pemerintah lepas tanggung jawab atas diri anda.
Anda pasti sadar bahwa angka 13 ribu bukanlah jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam sehari. Mungkin bagi kita jumlah tersebut hanya cukup untuk makan sekali di Warteg dengan segelas es teh. Namun banyak dari penduduk di sana yang pengeluarannya bahkan lebih rendah dari jumlah tersebut.
Anda bisa bayangkan, jika untuk membuat kartu identitas kependudukan saja, warga di sana diminta untuk membayar paling sedikit Rp. 50 ribu. Lalu dengan pengeluaran penduduknya yang masih banyak diantara kisaran hanya belasan ribu, kira-kira mereka mau atau tidak untuk membayar sejumlah nominal tersebut untuk membuat selembar kartu identitas? sedangkan kalau tidak bayar, KTP mereka tidak kunjung jadi. Maka tidak heran jika banyak di antara mereka yang masih tidak mempunyai kartu identitas kependudukan, bukan karena mereka tidak mau, namun karena dalam pembuatannya mereka banyak yang dipalak oleh oknum sontoloyo.
Maka benar, hal itu bisa terjadi secara massif disebabkan oleh ‘kebodohan dan kemisknian’ yang mana keadaan memaksa mereka untuk berada dalam posisi tunduk, tanpa punya kuasa untuk melawan. Dan di tengah-tengah masyarakat yang terjangkit kondisi seperti itu, mereka akan sangat mudah untuk dikendalikan oleh para penguasa yang gelap mata akan kuasa.
Yopi Makdori, Grenthink