Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump terkait klaim sepihaknya atas wilayah Yerusalem yang menjadi ibu kota Israel. Sontak bangsa-bangsa di seluruh dunia memperhatikan klaim tersebut. Sebagaian besar dari mereka mengecam klaim sepihak Presiden AS itu, mayoritas dari yang menolak tersebut ialah bangsa-bangsa Islam.
Bangsa-bangsa muslim memandang klaim Trump tersebut telah mencederai berbagai resolusi damai yang telah dibuat sebelumnya. Selain itu, mereka (bangsa muslim) menganggap bahwa wilayah Yerusalem merupakan wilayah warisan bangsa muslim terdahulu, oleh karenanya baik Israel maupun AS yang menganggap bahwa wilayah tersebut merupakan milik bangsa Israel tidak dapat dibenarkan menurut umat Islam di seluruh dunia. Isu Israel-Palestina memang begitu sensitif bagi umat Islam, termasuk umat Islam di negeri ini. Ketika ditunjukan realitas bahwa terdapat penindasan yang begitu keji di sana, seakan darah mereka mendidih. Bagaimana tidak? Umat Islam memiliki doktrin yang menganggap bahwa sesama muslim merupakan saudara, bahkan ikatan persaudaraan antar sesama muslim lebih kuat dibandingkan dengan ikatan persaudaraan sedara. Anda bisa bayangkan ketika sudara dekat anda sedang dalam penindasan? Apa yang anda rasakan? Begitulah perasaan umat muslim melihat konflik Israel-Palestina.
Saya pernah diceritakan oleh salah seorang kawan baik saya tentang masalah tersebut. Saat itu dia selesai berbelanja di sebuah mini market, kemudian dia langsung ke tempat parkir. Di tempat parkir tersebut dia melihat seorang tukang parkir yang (maaf) secara tampilan fisik tidak mencerminkan ia seorang muslim. Tukang parkir itu sedang menonton sebuh video penindasan Israel terhadap rakyat Palestina. Temen saya kemudian mendekati tukang parkir tersebut untuk menanyakan kalau dia sedang menonton video apa. Intinya tukang parkir itu menjawab “darah saya itu mendidih mas melihat perlakukan bangsa Israel terhadap rakyat Palestina”. Percis seperti inilah perasaan sebagian besar umat Islam melihat kondisi di Palestina, maka tidak heran jika berbagai isu yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina begitu mendapat perhatian yang serius dari umat Islam.
Dalam klaim Trump tersebut, selain karena alasan yang telah dijabarkan di atas, terdapat juga alasan lain yang membuat umat Islam begitu keras menyuarakan penolakan terhadap klaim sepihak tersebut, ialah “pride”. Yerusalem merupakan wilayah yang telah berhasil dikuasai bangsa muslim sejak era sahabat, yakini pada masa kepemimpinan Umar bin Khatab ra. Pada era Parang Salib, perebutan atas wilayah ini juga begitu sengit, di mana vis a vis antar peradaban Kristen yang diwakili bangsa Eropa dengan Islam yang diwakili oleh bangsa Arab. Maka kemenangan Salahudin al Ayyubi atas perebutan wilayah ini terus menerus melekat dalam diri ingatan setiap muslim bahwa inilah kebanggan Islam. Oleh karenanya, ketika wilayah ini kembali lepas dari genggaman umat Islam, seakan perasaan bangga muslim atas wilayah yang telah didapatkan itu hancur.
Maka tidaklah mengherankan jika sesaat setelah Presiden Trump mengatakan klaim tersebut, jutaan kecaman dan penolakan atas klaim sepihak itu disuarakan oleh umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Bahkan berbagai demonstrasi penolakan pun dilakukan di seluruh penjuru negeri-negeri muslim. Namun begitu, besarnya penolakan tersebut bukan hanya dilandasi oleh sensitivitas isu konflik Israel-Palestina dan “pride” umat Islam, namun juga dirangsang oleh besarnya pemberitaan media atas peristiwa ini sehingga menstimulus umat Islam untuk ikut bergerak melakukan penolakan.
Besarnya perhatian media dan umat Islam terhadap peristiwa ini mendorong para pemimpin dunia muslim untuk ikut memperhatikan isu ini dengan seksama. Hingga ujungnya seluruh negara muslim ikut menolak dan menekan AS supaya menarik klaim sepihaknya tersebut. Mereka tidak peduli meskipun sebelumnya beberapa negara tersebut sekutu dekat AS, namun dalam isu ini mereka secara asertif menolak klaim AS itu. Beberapa negara muslim yang merupakan sekutu dekat AS, seperti Mesir dan Arab Saudi tidak berani untuk berada di barisan AS dalam isu ini. Padahal AS telah mengancam akan memutus bantuan luar negeri kepada bangsa-bangsa yang tidak mendukungnya dalam isu tersebut. Namun begitu mereka tetap konsisten dengan pendiriannya untuk menolak klaim AS tersebut. Meskipun dalam faktanya 4 dari 5 penerima donor dari AS ialah negara-negara Islam, namun keempat negara Islam itu sama sekali tidak takut menghadapi ancaman AS yang akan memotong bantuan luar negerinya yang mengalir ke negaranya itu.
Konsistensi sikap para pemimpin negara-negara Islam dalam isu ini tentu saja dilandasi akan besarnya perhatian perkembangan isu ini oleh para umat Islam di seluruh dunia. Jika sampai para pemimpinan itu menuruti kemauaan AS, maka sudah dipastikan pemimpin tersebut akan kehilangan simpati dari rakyatnya yang sebagian besar merupakan umat Islam. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jikalau para pemimpin itu bermain secara taktis untuk tetap mendukung Palestina dalam isu ini. Merekapun memusatkan perhatian begitu besar akan penderitaan yang dihadapi bangsa Palestina, meskipun bagi beberapa pihak merasakan bahwa para pemimpin negara-negara muslim itu sedang bersandiwara demi menggalang simpati dari rakyatnya dengan mempermainkan isu solidaritas terhadap muslim.
Kontras terhadap Yaman
Namun sikap para pemimpin negara-negara muslim itu kontras dengan sikapnya terhadap isu Yaman. Jika asumsi dasarnya ialah solidaritas muslim, maka isu konflik Yaman seharusnya mendapatkan perioritas lebih besar dibandingkan isu konflik Israel-Palestina. Mengapa demikian? Solidaritas muslim pada dasarnya mirip dengan konsepsi “solidaris” dalam ilmu hubungan internasional. Kedua konsepsi tersebut berangkat pada perlunya solidaritas dan menganggap masayarakat di luar wilayah yang terdampak musibah (entah itu bencana alam ataupun konflik) memiliki tanggung jawab untuk membantu masyarakat yang tengah dirundung masalah tersebut. Dalam konsepsi ini, sekat-sekat negara bangsa berusaha disingkirkan. Namun begitu, keduannya tetap saja berbeda, solidaris memiliki akar filosofis pada humanisme, sedangkan solidaritas terhadap muslim berangkat dari doktrin dalam Islam yang menganggap bahwa sesama muslim merupakan saudara. Oleh karena itu, jika sikap pembelaan terhadap Palestina oleh para pemimpin negara-negera muslim itu berangkat dari konsepsi solidaris terhadap sesama muslim, seharusnya mereka juga menitikberatkan pada permasalahan yang tengah dihadapi oleh rakyat Yaman. Namun ternyata faktanya justru tidak demikian, para pemimpin itu sama sekali tidak menghiraukan penderitaan yang tengah dihadapi oleh rakyat Yaman.
Padahal saat ini jutaan rakyat Yaman tengah mengalami penderitaan yang begitu berat. Meraka merongrong meminta bantuan kepada umat Islam dan para pemimpin dunia muslim di seluruh dunia, namun bantuan secara konkert itu tak kunjung datang. Menurut laporan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyatakan bahwa jumlah kasus kolera yang ada di Yaman telah mencapai satu juta jiwa. Setidaknya 2.226 orang diyakini telah meninggal karena penyakit tersebut sejak April 2017 lalu, meskipun jumlah kasus baru telah menurun selama 14 pekan berturut-turut. Dilansir dari BBC News, Jumat (22/12), ICRC mengatakan bahwa wabah tersebut memperkuat penderitaan sebuah negara yang terjebak dalam perang brutal.
Selanjutnya Apa yang Membedakan Sikap Para Penguasa Itu? [Bagian II]