Recep Tayyip Erdogan selaku Presiden Turki, mengungkapkan keinginan negaranya untuk segera bisa membuka Kedutaan Besar untuk negara Palestina di Yerusalem Timur. Dalam pidatonya di depan anggota partai berkuasa, Partai AKP pada Ahad (17/12), ia kembali mengecam Presiden Donald Trump yang menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Minggu lalu, Turki menjadi tuan rumah KTT luar biasa Organisasi Konferensi Islam (OKI), untuk menanggapi keputusan Presiden AS tersebut.
Para pemimpin dunia Islam di KTT yang digelar di Istanbul, Turki tersebut mendesak dunia supaya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Erdogan dalam kesempatan tersebut mengatakan, “Karena berada di bawah pendudukan, kita tidak bisa pergi ke sana dan membuat kedutaan. Namun Insya Allah hari-hari itu semakin dekat dan… kita secara resmi akan membuka kedutaan di sana”. Meskipun Turki memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan -sama seperti negara-negara lainnya- memiliki kedutaan besar di Tel Aviv. Unjuk rasa berlangsung di beberapa tempat, termasuk Jakarta, Indonesia untuk menentang keputusan Presiden Trump terkait Yerusalem. Di Yerusalem, pemerintah Ankara memiliki kantor konsuler, sama seperti Amerika Serikat sebelum Presiden Trump menetapkan kota suci bagi tiga agama itu sebagai ibu kota Israel. Sewaktu mengungkapkan keinginan untuk membuka kedutaan di Yerusalem, Erdogan juga mengatakan bahwa Yahudi tidak punya hak untuk “Yerusalem yang pantas, yang merupakan ibu kota Muslim”.
Namun begitu, Presiden Turki yang pernah hendak dikudeta itu tidak menjelaskan kerangka waktu untuk keinginannya membuat kedutaan besar di Yerusalem bagi negara Palestina. Di Yerusalem Timur terdapat tempat suci bagi umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Berdasarkan kesepakatan Oslo 1993, maka keputusan atas Yerusalem akan ditetapkan di kemudian hari pada tahap akhir perundingan damai Israel-Palestina. Keputusan Presiden AS, Trump meanggap berbagai pihak menghambat perundingan damai tersebut dan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, sudah menyerukan agar Amerika Serikat tidak diberi peran lagi dalam proses perundingan.
Presiden Turki itu juga menyambut baik seruan dari KTT OKI pada Rabu (13/12) lalu yang juga dihadiri Presiden Joko Widodo yang menurutnya memperlihatkan “dunia kesatuan suara”. Bagaimanapun pertemuan itu dinilai kurang bermakna karena tidak dihadiri oleh pemimpin Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir, yang merupakan kekuatan penting di Timur Tengah dan juga sekutu Amerika Serikat. Keputusan Trump menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu unjuk rasa di sejumlah negara, termasuk di Indonesia pada Minggu (17/12) yang dihadiri oleh pejebat pemerintah, seperti Gubernur Jakarta, Anies Baswedan dan beberapa anggota DPR.
Perdana Menteri Turki, Binali Yildirim juga menegaskan bahwa negaranya tak akan membiarkan Palestina menghilang dari kawasan negaranya sendiri. Pernyataan tersebut dilontarkan menyusul penetapan sepihak Amerika Serikat (AS) terkait Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Pihaknya menganggap bahwa kawasan Yerusalem timur yang saat ini dicaplok Israel merupakan Ibu Kota Palestina dan kami tidak akan pernah membiarkan warga Palestina yang ditindas itu pergi dari negara mereka. Terkait hal tersebut, Yildirim meminta dunia untuk bersama-sama mendukung Palestina menghadapi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terus dilakukan oleh tentara-tentara negara zionis Israel. Ia mengatakan bahwa Yerusalem merupakan pusat dari tiga agama.
Yildirim juga menegaskan bahwa status kota tersebut seharusnya diputuskan berdasarkan konsensus bersama bukan pengakuan sepihak seperti yang dilakukan AS. Turki, kata dia, akan selalu memberikan dukungannya untuk kemerdekaan Palestina. Pernyataan PM Turki itu dikeluarkan sehari setelah pertemuan Kerja Sama Negara Islam (OKI). Dalam pertemuan yang diselenggarakan di Istanbul itu, sebanyak 57 negara sepakat mengakui Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina.
Deklarasi itu dilakukan menyusul keputusan Presiden Donald Trump pada 6 Desember lalu yang mengakui bahwa Yerusalem merupakan Ibu Kota Israel. Pemerintah AS juga akan memindahkan Kedutaan besar mereka ke Yerusalem. Saat ini tingga menunggu komitmen dari negara-negara Islam, apakah akan mengikuti langkah Turki untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem atau justru akan diem dan isu ini akan tenggelam dengan meninggalkan bangsa Palestina masih dalam penjajahan.
Pemerintah Indonesia seharusnya juga bisa mengikuti langkah yang hendak dilankukan oleh pemerintah Turki ini, yakini segera memindahkan kedutaan Indonesia untuk Palestina ke daerah atau kota Yerusalem sebagai salah satu langkah nyata untuk mendukung kemerdekaan bangsa Palestina dan mengakui Yerusalem adalah wilayah milik dunia Muslim.
Karena bagi Indonesia, membela kemerdekaan Palestina bukan hanya masalah kemanusiaan taupun amanat konstitusi negara kita, namun jauh lebih penting dari itu, pembelaan kita terhadap Palestina adalah salah satu bentuk solidaritas terhadap sesama muslim yang satu sama lainnya bersaudara. Maka sudah sepatutnya pembelaan kita terhadap Palestina adalah pembelaan yang tidak bisa diperdebatkan lagi karena sudah banyak memiliki jastifikasi, baik konstitusi, kemanusiaan, moral, balas budi maupun jastifikasi solidaritas muslim. [MIS]