Mencintai ajaran Islam seluruhnya merupakan sebuah konsekuensi keimanan seorang Muslim. Bagi seorang Muslim tidak boleh mencintai sebagian ajaran Islam, namun disisi lain membenci sebagian lainnya. Satu sisi menerima sebagian hukum Islam, tapi menolak sebagian yang lain. Menjalankan sebagian amalan, namun anti terhadap sebagian amalan Islam yang lain.
Seorang Muslim tak boleh, semisal, melaksanakan shalat,namun enggan zakat. Mencintai ibadah haji, tetapi membenci atas kewajiban kaum Muslimah untuk menutup aurat dengan memakai kerudung dan jilbab. Dalam satu hal menerima ajaran Islam seputar akhlak, nemun membenci ajaran Islam yang lain tentang, jihad ,hudud (hukum rajam bagi pezina atau hukum potong tangan bagi pencuri) dan poligami. Menerima atas sistem ekonomi syariah, namun anti terhadap penerapan hukum syariah secara formal dalam ketatanegaraan. Lebih ironis lagi, menerima sistem politik demokrasi yang berasal dari ideologi Barat sekular, tapi alergi dan anti terhadap sistem Khilafah yang notabene merupakan sistem politik yang menerapkan syariah Islam dan jelas bersumber dari ajaran Islam.
Padahal sudah jelas, mencintai seluruh ajaran Islam merupakan bagian dari totalitas bagi seorang Muslim mencintai Allah SWT, sementara mencintai Allah SWT adalah konsekuensi dari keimanan seorang Muslim.
Mencintai Allah SWT juga harus dibarengi dengan mencintai Rasulullah saw., sebagai kekasih-Nya. Kecintaan terhadap Rasulullah saw. juga merupakan sebuah konsekuensi keimanan seorang Muslim. Rasul saw. sendiri yang telah menyatakan demikian:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Belum sempurna keimanan salah seorang di antara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dicintai dari kedua orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.” (HR al-Bukhari).
Berkenaan dengan hadis ini, Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Fath al-Bari (1/26), telah menyatakan, bahwasannya “Cinta kepada Nabi saw merupakan pokok (prinsip) keimanan dan ia bersanding dengan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah SWT juga mengaitkan cinta kepada Nabi-Nya dengan cinta kepada-Nya. Allah SWT telah mengancam orang-orang yang kemudian mendahulukan cinta kepada keluarga, harta dan tanah air daripada cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya saw.”
Karena itu tak layak bagi seorang Muslim yang mengaku beriman kepada Allah SWT, tapi tidak mencintai Rasullullah saw., sebagai kekasih-Nya. Tidak layak pula mengklaim bahwa ia mencintai Rasulullah saw., kekasih-Nya, namun tidak mencintai ajaran Islam, namun sebaliknya justru membenci ajarannya, dan mengabaikan hukum-hukum yang Beliau Saw. bawa, apalagi sampai memusuhinya.
Tak selayaknya bagi seorang Mukmin berperilaku layaknya kaum kafir yang selalu menentang ayat-ayat-Nya. Allah SWT berfirman:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ تَعْرِفُ فِي وُجُوهِ الَّذِينَ كَفَرُوا الْمُنْكَرَ
“Jika dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang-benderang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu.” (TQS al-Hajj [22]: 72).
Tanda Mencintai Islam
Kemudian apa saja tanda bahwa seseorang mencintai agama Allah SWT?
Pertama: Mentauhidkan Allah SWT dengan menaati segenap aturan-Nya, serta tidak menyamakan-Nya dengan kecintaan dan ketaatan pada selain-Nya. Allah SWT. berfirman:
“Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Orang-orang yang beriman amat dalam cintanya kepada Allah” (TQS al-Baqarah [2]: 165).
Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya telah menjelaskan makna mengenai “orang-orang yang mengambil dan mencintai tandingan-tandingan selain Allah” adalah dengan mereka yang mengagung-agungkan dan menaati tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka telah mengagungkan dan menaati Allah SWT. Status Allah menurut mereka adalah sama saja dengan status mahluk-Nya. Sama diagungkan dan ditaati. Padahal jelas Allah SWT tidak memiliki tandingan. Tidak ada tuhan kecuali Allah Swt. Tak ada sekutu bagi-Nya. Menyamakan pengagungan dan ketaatan pada selain Allah Swt adalah dosa besar. Abdullah bin Mas’ud Ra. bertanya kepada baginda Nabi Saw., “Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab:
أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ
“Engkau membuat tandingan untuk Allah, sedangkan Dia yang telah menciptakanmu.” (HR Muttafaq ‘alaih).
Kedua: Mengikuti risalah Nabi Muhammad saw. secara totalitas. Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS Ali Imran [3]: 31).
Imam Ibnu Katsir telah menerangkan maksud ayat ini dalam tafsirnya, “Ayat yang mulia ini adalah penentu bagi siapa saja yang mengaku-aku cinta mencintai Allah SWT, namun dia tidak berada di jalan Muhammad saw., maka sesungguhnya ia adalah pendusta baik dalam pengakuannya dan dalam perkara ini, sampai ia mengikuti syariat Muhammad dan agama kenabian dalam seluruh ucapan dan keadaan.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 2/26).
Mencintai Allah dan Rasul-Nya mengharuskan bagi setiap Muslim untuk tunduk pada seluruh ajaran Islam baik dalam akidah ataupun syariah sepenuhnya secara ikhlas. Baik dalam bagian ibadah, muamalah, pernikahan, sosial , politik dan pemerintahan. Ini adalah konsekuensi keimanan dan kecintaan pada Allah SWT dan Rasul-Nya Saw.
Merupakan sebuah kemungkaran jika memisahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menolak hukum-hukum Islam baik sebagian apalagi seluruhnya. Melarang permainan judi, tapi membiarkan sistem ribawi. Menerima hukum zakat dan haji,namun menolak hukum pidana potong tangan bagi pencuri. Menerima keharaman perzinahan, tapi menolak rajam atau cambuk sebagai sanksi bagi pelakunya. Satu sisi Menginginkan kepemimpinan, tetapi menolak sistem kepemimpinan Islam (Khilafah),lebih parahnya menuding Khilafah sebagai ancaman atau Khilafah sudah ketinggalan zaman dan tak laku.
Ketiga: Mendahulukan Allah SWT dan Rasul-Nya atas segalanya (Lihat: QS at-Taubah [9]: 24). Orang-orang beriman tak akan memberikan loyalitas, atau berkasih sayang dengan orang-orang yang justru memusuhi Allah SWT dan Rasul-Nya serta agama-Nya. Dalam sejarah kita telah mendapati banyak sahabat yang telah rela berpisah dengan orang tua, suami, istri, anak dan kaumnya karena perbedaan keyakinan. Mushab bin Umair Ra. berlepas diri dari dua orangtuanya yang musyrik. Demikian pula Saad bin Abi Waqqash Ra. Rela berpisah dari ibunya. Putri-putri Rasulullah saw., Ruqayyah dan Ummu Kultsum ra., ikhlas diceraikan oleh suami-suami mereka, karena lebih memilih beriman dan taat pada Allah Rasul-Nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian menjadi wali (kalian) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Siapa saja di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai wali (kalian), maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (TQS at-Taubah [9]: 23).
Demikianlah seharusnya sikap yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Semoga kita adalah termasuk di dalamnya. Amin. Wallahu’alam bis Shawab.
Referensi :
Buletin Kaffah Edisi 085