Sudah tidak ada penyangkalan lagi bahwa dunia digital saat ini bisa mempengaruhi kehidupan nyata. Saya banyak menyaksikan bukti-bukti terkait hal tersebut. Kita mungkin ingat beberapa tahun yang lalu setiap kali menjelang akhir tahun, di sepanjang trotoar jalan raya banyak ditemui pedagang trompet tahun baru. Banyak dari mereka sebenarnya pedagang musiman. Mereka sebelumnya tidak berdagang trompet tapi berjualan mainan lain atau bahkan sama sekali tidak berdagang, namun demi memanfaatkan momentum tahun baru mereka mencoba mencari peruntungan dengan menjual trompet.
Menurut banyak pedagang mainan, dulu satu bulan menjelang tahun baru saja trompet sudah menjadi rebutan. Rebutan barang khas tahun baru tersebut bukan hanya terjadi di level pengecer, melainkan juga di level distributor dan juga grosir. Namun di akhir tahun 2018 ini keadaan seakan berubah seratus delapan puluh drajat. Trompet tidak lagi laku, meskipun banyak penjual yang menurunkan harganya jauh dari harga normal.
Lesunya penjualan trompet di tahun ini berakar dari kampanye yang dilakukan oleh mereka yang ingin kembali kepada agama dalam menjalankan kehidupan. Selain dikarenakan juga oleh kasus trompet yang terbuat dari Al-Quran yang sempat menyita perhatian beberapa tahun yang lalu. Kampanye tentang pelarangan meniup trompet dan perayaan tahun baru masehi jelas dihembuskan oleh mereka yang sering dilebeli sebagai golongan konservatif. Melalui media apa mereka berkampanye sehingga bisa menjangkau massa secara luas? Jelas media digital. Dan sampai di sini kita sepaham bahwa dunia digital tidak bisa diremehkan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan perubahan bukan?
Ujaran Kebencian dan Hoax
Dunia digital selain digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan perubahan juga digunakan untuk menghembuskan hoax dan kebencian. Saya sudah tidak heran bahwa di tahun ini pasti akan semakin banyak hoax-hoax yang berseliweran di beranda sosial media kita. Hal ini tentu saja dikarenakan tahun ini tahun politiknya para bedebah yang haus akan kuasa. Mereka (kedua kubu) akan melakukan bermacam cara demi kekuasaan politiknya.
Bagi mereka yang bijaksana saya yakin tidak akan membela membabi-buta calon pemimpin mereka. Namun tetap saja, dalam masyarakat yang enggan untuk membaca maka mengadili secara subjektif akan sangat mudah mereka lakukan. Masyarakat akan cenderung mengeneralisir suatu kelompok tanpa mau ribet untuk membaca kondisi dan situasi yang sesungguhnya.
Misalnya saja perihal berbagai kasus hoax. Banyak dari sebagian masyarakat menilai bahwa kubu Islamis yang selama ini cenderung dekat dengan salah satu pasangan calon presiden sebagai dalang berbagai penyebaran hoax tersebut. Padahal klaim tersebut jalas keliru. Hoax hanya disebarkan oleh mereka yang mementingkan hasil dari pada proses, dan tipe orang seperti ini jelas melekat pada diri orang yang pragmatis dalam bermain politik.
Sebagian masyarakat yang menghendaki ajaran-ajaran Islam hidup di tengah masyarakat justru dicap sebagai “pembuat onar” atau “penyulut perpecahan”. Hal ini terjadi misalnya dalam kasus pelarangan mengucapkan selamat natal oleh mereka yang menghendaki supaya akidah umat Islam terjaga. Jika ditinaju dari perspektif ekonomi-politik atau tinjuan akademis lainnya tentu saja sulit untuk menjelaskan kasus ini. Namun jika kita menggunakan pandangan akidah, maka dapat diterawang dengan jelas mengapa bisa terjadi himbauan seperti itu.
Mereka yang tidak memahami akan hal itu terjebak pada asusmsi bahwa pelarangan tersebut merupakan suatu bentuk ujaran kebencian terhadap agama tertentu, dalam konteks ini Nasrani. Mereka lupa untuk membaca dan mencari tahu asal usul dan dasar doktrinal dalam Islam tentang pelarangan tersebut. Mereka yang lebih sedikit maju akan mendebat dengan menggunakan sumber ajaran Islam juga. Dan memang seharusnya hal seperti inilah yang hendaknya dilakukan, bukan malah langsung mengadili dengan lebel “ujaran kebencian”.
Mari Bicara dari Hati ke Hati
Umat Islam percaya bahwa agama turun di tengah-tengah manusia untuk mengatur segala aktivitasnya di dunia ini. Memang tidak semua Muslim mengimani hal itu, namun yang pasti saat ini begitu kencang trend Islamisasi (hijrah) di kalangan anak muda Indonesia yang banyak mengimani akan hal itu. Mereka yang berhijrah tentu saja menginginkan hidup dalam aturan agama dan sega aktivitas kehidupannya sesuai dengan tuntutan agama. Tidak terkecuali dalam hal berhubungan dengan sesama manusia.
Tatkala muncul larangan mengucapkan selamat natal beserta dalil-dalilnya, mereka tentu akan mengimani hal tersebut selama sesuai dengan ajaran Islam. Meskipun di luar banyak yang terjadi kontroversi terkait hal tersebut, saya yakin selama mereka menggalih dan mencari tahu tentang akidah Islam, maka mereka tidak akan goyah. Dan sikap seperti ini disebut “memegang prinsip”.
Mungkin bagi kita yang tidak paham akan langsung mencap mereka sebagai “intoleran” atau “anti kebhinekaan”. Lebih jauh lagi, kita anggap mereka yang menyebarkan larangan tersebut sebagai kelompok yang melakukan ujaran kebencian. Namun coba letekan tangan kita ke dada mereka sambil memejamkan mata. Pahami mereka dari posisinya sebagai umat Islam yang taat memegang teguh akidah. Rasakan ketulusan yang bersemayam dalam hati mereka. Saya yakin, mereka melakukan itu bukan karena mereka membenci kalian, melainkan karena mereka ingin memegang prinsip harga mati mereka, yakni akidah Islamiyah.
Percayalah dengan saya, sebenarnya mereka tidak pernah membenci kalian. Mereka melakukan hal tersebut demi menjaga prinsip di mana hidup dan mati mereka sandarkan. Prinsip yang mereka pegang demi menjaga hubungan mereka dengan Sang Pencipta, Alllah SWT. Semoga dengan ini kalian yang sebelumnya belum paham bisa lekas memahami apa arti penting dari “memegang prinsip”.