Tahun 2019 suasana perpolitikan di Indonesia akan semakin panasa. Pasalnya di tahun ini akan dilangsungkan acara yang kerap kali dijuluki sebagai “pesta demokrasi”. Di mana rakyat Indonesia akan menentukan siap yang mereka pilih untuk memimpin mereka dalam jangka waktu lima tahun kedepan.
Perpolitikan di negeri ini belum banyak berubah sejak Pemilu lima tahun yang lalu. Pertarungan masih diperankan oleh dua kubu yang sama, satu kubu yang merupkan pihak ‘incumbent’ Joko Widodo, dan pihak lawannya masih Prabowo Subianto. Keduanya akan bertarung dalam sebuah perhelatan demokrasi yang memakan dana rakyat begitu besar.
Perspektif Projo
Mereka yang Pro-Jokowi (Projo) tidak jarang terlalu simplifikasi dalam memandang golongan yang mereka anggap pro terhadap Prabowo (Prowo). Pemerintahan Jokowi yang selama ini seakan terlihat ingin menegakan nilai-nilai liberal-demokratis menganggap Prowo sebagai antitesa akan hal tersebut. Fasisme, konservativisme, dan populisme cap tersebut seakan satu paket dengan para Prowo.
Projo melihat bahwa kubu Prabowo mengguanakan isu Sara (Suku, Ras, dan Agama) sebagai instrumen untuk mencapai kekuasaan politik. Tidak hanya itu, Projo juga menganggap bahwa kubu Prabowo sarat akan karya-karya berita hoax. Kubu Prowo dianggap sebagai kubu yang juga menggunakan berita palsu sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik mereka.
Merapatnya PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang sering dilebeli sebagai “AKP dan Hamas-nya” Indonesia, menjadi akar dari dicapnya kubu Prabowo sebagai representasi konservativisme Islam di Indonesia. PKS yang kadernya banyak terdiri dari kalangan muda, terutama mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia, memang sudah dikenal memiliki militansi akan keislaman yang tinggi. PKS memang kerap kali vis-a-vis dengan kubu yang komitmen akan nilai-nilai liberalisme. Maka terkadang di lapangan sering kali terlihat bahwa kubu liberal merepat ke Jokowi bukan karena ia sejalan, melainkan karena penghindaran mereka terhadap PKS dan/atau ormas yang mengusung wajah konservativisme Islam.
Cap Islam Konservatif semakin kuat dilekatkan kepada Prowo kala Aksi 212. Aksi yang dilakukan oleh sebagian umat Islam dari seluruh Indonesia untuk menuntut diadilinya Plt. Gubernur Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok–yang dilihat oleh para demonstran di-back up oleh Prsiden Jokowi–terkait kasus penodaan agama. Para Projo melihat bahwa baik masa yang hadir di Jakarta maupun yang ikut berdemonstrasi di berbagai kota di Indonesia, mereka anggap sebagai massa bayaran yang ingin melemahkan Ahok dalam Pilgub Jakarta yang akan datang kala itu.
Banyaknya massa yang menerikan kalimat “takbir” dan pengibaran bendera tauhid dalam demonstrasi tersebut membuat Projo semakin yakin bahwa konservativisme Islam di Indonesia menguat dan dijadikan alat politik oleh kubu Prabowo. Projo tidak ragu lagi bahwa massa Prowo banyak terdiri dari kalangan fundamentalis Islam yang sering kali dituding mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Gagal untuk Memahami
Anggapan Projo terkait banyak Prowo yang terdiri dari kalangan Islam konservatif pada dasarnya tidak sepenuhnya salah. Namun perlu diingat, kubu konservatif merapat ke Prabowo bukan disebabkan oleh mereka benar-benar mendukung calon presiden mantan militer tersebut. Meliankan karena mereka tidak punya pilihan lain selain mendukung Prabowo. Hal ini berawal dari kekecewaan mereka terhadap kebijakan Jokowi yang dianggap sarat akan kontra terhadap nilai-nilai Islam. Selama hampir emapat tahun ia menjabat sebagai orang nomer satu di Indonesia, Jokowi dianggap oleh para Prowo konservatif seakan menyudutkan Islam dan nilai-nilainya. Oleh karenanya munculah kampanye yang cukup viral di media sosial dengan hash tag #2019GantiPresiden.
Munculnya tagar #2019GantiPresiden lebih didorong oleh faktor kekecewaan kubu massa–terutama massa dari kalangan Islamis–terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi yang dirasa mendiskreditkan ajaran Islam. Namun kemudian kampanye ini justru digunakan oleh massa Prowo untuk mendukung calon presiden mereka. Pada dasarnya yang membawa nuansa Islam konservatif di wajah para Prowo adalah PKS. Namun sebenarnya tidak semua golongan Islam konservatif mendukung Prabowo.
Massa yang tumpah riuh dalam Aksi 212 sebenarnya bukanlah massa Prabowo. Begitu juga dalam Aksi Reuni 212 di beberapa tahun belakangan ini bukanlah massa pendukung calon presiden mantan menantu Soeharto tersebut. Banyak massa dari kalangan konservatif yang secara tegas menolak demokrasi karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, dalam Aksi 212 tersebut segemntasi massa bukan hanya dari kalangan Prabowo, melainkan ‘the real Islam fundamentalist-pun’ banyak yang hadir dalam aksi tersebut.
Masa Projo gagal untuk memahami akan hal itu. Mereka melihat seakan-akan Aksi 212 dimotori oleh Prowo, padahal tidak demikian yang terjadi. Kubu Prowo yang kala itu diwakili oleh pasangan calon Gubernur Jakarta Anis-Sandi pada dasarnya moderat. Kita bisa cari ‘track record’ kedua pasangan dan partai pengusungnya, Grindra. Mereka (dan partainya) sebenarnya terklasifikasikan kedalam golongan moderat yang tidak ketat dalam beragama. Namun saat itu bola salju demonstrasi terhadap Ahok membesar, maka tidak heran mereka mencuri peluang yang ada demi kepentingan politik praktisnya.
Maka dapat saya tarik kesimpulan bahwa sebagian massa ‘Islam konservatif’ condong ke kubu Prowo bukan dikarenakan oleh dukungan mereka yang tulus terhadap Prabowo, melainkan karena kekecewaan mereka atas beragam kebijakan Jokowi yang mengecewakan menurut mereka. Sedangkan sebagian massa konservatif lainnya memilih untuk ‘tidak memilih’ karena penolakan mereka terhadap demokrasi. Di sinilah titik kesalahan Projo seakan-akan semua massa dari kalangan Islamis (sebutan lain bagi Islam Konservatif) mendukung Prabowo. Padahal hanya sebagian dari mereka saja–terutama massa dari PKS–yang merapat ke kubu Prowo.
Yopi Makdori