Pada Sabtu (28/07), Pengadilan di Mesir menjatuhkan hukuman mati kepada 75 orang yang dinyatakan bersalah karena bertanggung jawab atas kerusuhan pada tahun 2013 saat memprotes kudeta terhadap eks Presiden Mohammed Morsi.
Vonis tersebut dibacakan dalam rangkaian persidangan untuk lebih dari 700 orang yang diduga terlibat dalam kericuhan tahun 2013 di ibu kota negara itu, Kairo. Ada sebagian terdakwa yang dihukum mati merupakan pimpinan Ikhwanul Muslimin, yakni organisasi yang belakangan dicap teroris oleh otoritas Mesir.
Amnesty International selaku kelompok hak asasi manusia internasional, menyebut persidangan tersebut “menyalahi konsitusi Mesir serta tak memenuhi prinsip jujur dan adil (fair trial)”. Keputusan perkara tersebut, kini diserahkan kepada Grand Mufti, yakni seorang pejabat tertinggi dalam sistem hukum agama yang dianut di Mesir.
Pada dasarnya, sebelum vonis mati dilaksanakan, sang eksekutor di Mesir wajib berkonsultasi dengan Grand Mufti. Namun begitu, pendapat otoritas tertinggi dalam sistem hukum Mesir itu tidak mengikat dan kerap diabaikan (tidak bersifat tetap).
Kasus tersebut bermula pada kericuhan yang berlangsung selama kurang lebih sebulan, yakni pada Agustus 2013. Kerusuhan itu terjadi setelah Morsi dilengserkan dari kursi kepresidenan (dikudeta oleh militer, yakni Jenderal al Sisi). Ratusan pendemo dan puluhan polisi serta tentara dilaporkan tewas pada kejadian tersebut. Sebagian besar kematian diduga terjadi setelah otoritas keamanan memisahkan kubu penentang dan pendukung Morsi yang berhadap-hadapan.
Beberapa bulan pasca kericuhan tersebut terjadi, kekerasan secara terstruktur diduga dialami oleh mereka para pendukung Morsi dan Ikhwanul Muslimin yang belakangan dinyatakan sebagai organisasi teror oleh pemerintah Mesir dan juga Arab Saudi.
Amnesty International menyatakan bahwa meski sejak penggulingan Morsi ribuan orang telah ditangkap, otoritas negara seribu menara tersebut tidak pernah digugat dan tidak ada personel keamanan yang diajukan ke pengadilan. Salah satu orang yang ditangkap pada kericuhan yang terjadi di tahun 2013 lalu di Kairo adalah jurnalis foto terkemuka, Mahmoud Abou Zeid alias Shawkan.
Shawkan diangkap ketika memotret pembubaran pengunjuk rasa. Sejak saat itu, ia terus dikurung di penjara dan menghadapi sejumlah dakwaan. Vonis terhadapnya yang dijadwalkan dibaca Sabtu kemarin ternyata ditunda pembacaannya.
[BBC]