Hari itu panas terik bak membakar kulit di ujung timur Kabupaten Bogor. Dede berjalan kaki menyusuri Jalan Transyogi yang menghubungkan Jonggol dengan Cianjur.
Dengan celana jeans yang terlihat lusuh, Dede mendorong gerobak cilok yang telah ia jajakan sepanjang jalan sejak pagi tadi. Tak lengkap rasanya jika berdengung tanpa menawarkan barang dagangannya. Dede menggunakan sebuah kayu yang didesain sedemikian rupa hingga tatkala dipukul menimbulkan bunyi “tok-tok-tok”.
Bunyi itu bagikan simbol bagi Dede untuk menawarkan ciloknya. Masyarakat di sana seakan paham bahwa bunyi tersebut pertanda Dede dengan ciloknya sedang melintas.
Seorang anak kecil usia dua tahunan seketika terjaga dari tidur siangnya kala mendengar bunyi “tok-tok-tok” yang sengaja didengungkan Dede. Ia secara spontan mengatakan “Mak, mak, mak” sembari menunjuk ke arah keluar di mana sumber suara tersebut berasal.
Sang ibunda begitu paham dengan laku anaknya itu. Ia bergegas mengambil recehan dan memanggil Dede untuk “melipir” ke tempatnya. Tanpa ragu Dede pun menuju kediaman ibu tersebut.
Setelah selesai melayani pembelian, Dede dihampiri seorang anak muda menjelang dewasa. Ia bak diintrogasi tentang aktivitas dagangnya. Sang pemuda menanyakan ihwal kondisi dagangannya di tengah masa Wabah Covid-19 atau Corona.
Dede dengan jujur mengatakan bahwa hal itu tidak berdampak apa-apa bagi dagangannya. Ia bahkan mengaku dagangannya justru lebih banyak dibeli oleh anak-anak kampung yang tidak sedang belajar di sekolah.
Pemerintah memang telah beberapa minggu meminta menghentikan kegiatan pembelajaran di sekolah guna menekan angka penyebaran virus Corona. Pemerintah mengimbau agar peserta didik melakukan kegiatan belajar-mengajar dari rumah atau dikenal dengan pembelajaran jarak jauh.
Namun apa daya pembelajaran jarak jauh membutuhkan fasilitas dan “skill”, baik bagi gurunya, peserta didik, maupun orang tua, namun yang terjadi di sini jauh dari kata tersebut. Saya tak tahu apakah pengajar di sini memiliki keterbatasan keduanya, tapi yang pasti anak-anak maupun orang tua di sini sebagai besar memiliki keterbatasan skill dan juga fasilitas pembelajaran jarak jauh.
Sekelompok anak kala saya tanya, “Tidak sekolah de?”, mereka bulat menjawab bahwa guru meminta mereka untuk belajar di rumah. Artinya guru menyerahkan tanggung jawab pembelajaran ke tangan para orang tua. Apakah orang tua di sini memiliki kemapuan ini? Saya rasa kawan-kawan bisa menjawabnya.
Kondisi seperti bagi saya patut dimaklumi, mengingat kala saya tanya ke anak-anak itu mereka tak mempunyai ponsel pintar layaknya anak-anak di kota. Saya amati mainan mereka tak jauh dari bermain layangan-layang di sawah.
Di tengah kondisi serba terbatas ini, jangankan guru dengan fasilitas dan keahlian teknologi yang minim, kalau tak mau disebutkan gaptek (gagap teknologi), guru yang memiliki seabreg fasilitas pun mungkin akan sulit melakukan pendidikan jarak jauh sebagimana diinstruksikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah komando Nadiem Makarim.
Maka tek pelak, guru memilih jalur instan untuk “meminta anak-anak belajar di rumah”. Namun bagi saya ini bahasa halus dari “libur” karena banyak anak-anak yang justru bermain bebas di luar. Jelas kontraproduktif dari tujuan belajar di rumah guna melaksanakan pembatasan fisik untuk menjegal penyebaran virus Corona.
Baik, kembali lagi ke Dede. Namun saat-saat ini, Dede mengaku sudah ada beberapa kampung yang tak bisa dimasuki pedagang karena telah menerapkan karantina wilayah lokal atau istilah kerennya “lockdown”. Hal itu jelas akan memengaruhi pendapatan harian Dede.
Namun Dede dengan mantap mengatakan bahwa jika pemerintah mengimbau dirinya untuk tidak berdagang, ia akan tegas menolaknya. Bukan tanpa alasan, pasalnya ia menggantungkan hidup dari jualnya itu. Jika tidak berdagang, alamat dirinya untuk tidak makan di hari kemudian.
Kondisi seperti ini umum ditemui pada pedagang lapangan. Berpenghasilan tak jauh dari ratusan ribu membuat mereka sulit untuk keluar dari kelompok masyarakat tingkat bawah.
Hal yang sama juga dialami oleh pedagang di wilayah Cikarang, Kabupaten Bekasi. Anam, sebut saja begitu, sudah tahunan berjualan cilok di wilayah tersebut. Ia biasa menjajahkan dagangnya ke sekolah-sekolah SD.
Tak besar memang pendapatannya menjual cilok di SD, namun hal ini ia tutupi dengan berdagang di sekolah madrasah tempat anak-anak belajar mengaji menjelang sore hari.
Sepulang dari SD dan madrasah, penghasilan Anam cukup untuk menghidupi ia beserta seorang anak dan istrinya. Hal ini sebelum wabah Corona merebak di Indonesia. Saat ini Anam lebih memilih untuk angkat kaki dari Cikarang.
Biaya hidup yang cukup tinggi tak sebanding dengan pemasukannya dari berjualan cilok di masa-masa seperti ini. Belum lagi anak-anak diminta untuk belajar dari rumah membuat ia begitu kesulitan mencari pelanggan.
Ia tak tahu mesti bagaimana mengatakan kepada sang istri bahwa ia pulang tanpa membawa uang seperti dulu. Hanya sebuah motor kreditan yang belum lunas ia bayar sebagai teman pulang ke kampung halaman.
Hari-hari ini begitu berat bagi orang-orang seperti Anam, ia memikul beban lebih berat dari pada orang-orang seperti kita. Batinnya terasa tersayat manakala mendengar tangisan anaknya yang merengek minta jajan.
Di rumah ia tak patah arang, kedewasaannya diuji kali ini dengan begitu berat. Anam memilih untuk ikut dengan saudaranya yang berjualan daging di pasar. Dengan upah sebesar Rp 50.000, Anam membantu saudaranya berjualan daging dari pukul 11 malam hingga 6 pagi.
Dalam kondisi seperti ini, tak ada kata lelah bagi dirinya. Asalkan anak dan istrinya bisa makan, ia rela bekerja seperti apapun asalkan halal. Begitulah semangat Anam yang saya resapi dalam masa-masa sukar seperti ini.
Semoga kita senantiasa dalam lindungan Allah SWT.