Kita kerap kali mendengar dalam berita-berita maupun sebuah diskusi bahwa radikalisme kerap kali diasosiasikan dengan tindakan terorisme. Berita, pernyataan para tokoh, berbagai riset sosial tidak sedikit yang mengaitkan tindakan terorisme dengan radikalisme. Lalu sebenarnya seperti apakah hubungan keduanya? Benerkah seperti yang selama ini sering digemakan?
Sudah banyak literatur yang membahas mengenai apa itu “radikalisme”, dan masing-masing aktor mendefinisikan radikalisme dengan pengertian yang berbeda-beda, atau dengan kata lain tidak ada definisi yang berlaku secara umum untuk menjelaskan apa itu radikalisme. Namun begitu, hampir secara keseluruhan paham radikalisme pada dasarnya adalah sebuah sikap yang menunjukan penginternalisasian suatu nilai atau ajaran tertentu hingga termanifestasikan dalam bentuk tindakan yang sejalan dengan ajaran yang diinternalisasikan tersebut. Misalnya, seorang yang mengemban paham kebebasan hingga terinternalisasi ke dalam dirinya akan menunjukan sikap yang sejalan dengan gagasan ajaran tersebut. Hingga segala tindakannya akan berpakem pada ajaran tersebut. Maka orang seperti itu bisa kita sebut sebagai orang radikal. Begitupun bagi mereka yang menginternalisasi ajaran Islam, maka segala cara hidupnya pasti akan sejalan dengan nilai-nilai Islam, dan orang seperti ini juga disebut sebagai “orang radikal”.
Meskipun begitu, terdapat juga distorsi pengertian radikalisme di tengah-tengah masayarakat yang menganggap bahwa paham radikal adalah paham yang mengajarkan pada kekerasan. Hal tersebut bukan tanpa alasan, munculnya asumsi tersebut di dalam masayarakat sebagian besar berkat kontruksi oleh para tokoh dan media tentunya yang berkali-kali melakukan pengontruksian tersebut. Paham radikalisme yang berasosiasi dengan terorisme hampir secara keseluruhan adalah radikalisme yang berkaitan dengan Islam (Islam radikal) hal ini sudah secara implisit menunjukan bahwa penggunaan term “radikal” dan mengasosiasikannya dengan terorisme secara sengaja memang membidik ajaran Islam. Bahkan di Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim pun ikut-ikutan menggunakan istilah radikal dan mengaitkannya dengan tindakan terorisme. Memperihatinkan memang, namun lebih memperihatinkan lagi saat para intelektual yang katanya berperan sebagai lampu penerang di tengah publik justru banyak yang bersikap acuh terhadap kesesatan logika tersebut. Bahkan banyak di antara mereka yang justru mendukung narasi cacat logika tersebut. Narasi cacat ini bisa saja dihilangkan andai saja para kaum intelktual yang katanya netral tidak berpihak kepada para pemegang kuasa dan kapital.
Amerika Serikat (AS) yang kita ketahui bersama bahwa mayoritas penduduknya merupakan non-Muslim, tatkala masa kampanye pemilihan presiden 2016, saat itu salah satu kandidat presidennya, yakni Donald Trump menyebut kelompok teroris dengan frase “Radical Islamic Terrorism” langsung mendapat kontrversi di tengah-tengah publik AS. Meskipun begitu, penyebutan tersebut masih terus dilakukan sampai masa-masa awal ia menduduki kursi Presiden Amerika Serikat. Penyebutan tersebut sontak banyak mendapat penolakan dari publik AS karena dianggap melukai umat Islam dan membuat gap Islam dengan Barat semakin besar. Hal ini berbedan dengan apa yang terjadi di negara ini, penyebutan “Islam Radikal” dan asosiasi mereka terhadap tindakan terorisme dianggap wajara-wajar saja, bahkan perdebatan dalam penggunaan istilah tersebut cenderung diminimalisir, kalau tidak mau dibilang hampir tidak ada.
Jika diuraikan lebih jauh, banyak kecacatan-kecacatan logika dalam isu terorisme. Namun kecacatan tersebut seakan dianggap wajar jika para intelektual hanya mementingkan perut mereka. Nalar kritis mereka seakan mati atau sengaja dimatikan. Padahal kita adalah mercusuar bagi peradaban, maka katakanlah kebenaran wahai para intelektual!
Muhammad Iskandar Syah