Lagi dan lagi, di negeri ini dan negeri-negeri lain di seluruh dunia selalu menyudutkan ajaran Islam dan mengasosiasikannya dengan tindakan terorisme. Miris memang, Indonesia sebagai negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia tidak menjamin Islam tidak disudutkan dalam berbagai tindakan terorisme. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh media dan akademisi sebagai pengontruksi narasi di tengah-tengah umat, melainkan juga aparatur pemerintahan pun melakukan hal yang serupa. Entah karena kebodohan mereka atau memang keluguannya.
Baru-baru ini umat Islam kembali tersakiti dengan pernyataan salah satu aparat negara ini. Ia adalah Kapolres Dharmasraya, Sumatera Barat AKB Roedy Yoelianto, kala itu sang kapolres sedang diwawancara oleh setasiun TV nasional, yakini TV One. Saat sang pembawa berita menanyakan mengenai apa indikasi bahwa pelaku pembakaran Mapolres Dharmasraya adalah teroris, ia menjawab bahwa sang pelaku meneriakan “takbir”. Hal ini tentu saja sangat melukai hati umat Islam. Bagaimana tidak, takbir merupakan ucapan untuk mengagungkan Allah SWT Tuhan semesta alam dijadikan sebagai bukti tindakan terorisme.
Apa sebenarnya teroris menurut mereka? Kita tau bahwa baru-baru ini juga terdengan kabar bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali lagi membuat onar, bahkan tidak jarang melakukan berbagai tindakan yang jika mengacu pada terminologi teroris sudah tergolong sebagai tindakan terorisme. Namaun apa sebutan bagi mereka? “kelompok kriminal bersenjata”, bayangkan di sini jelas ada keabsurdan berfikir. Bagaimana tidak, terminologi terorisme ternyata disematkan bukan pada tindakannya, melankan ajaran. Jadi jika dia non-muslim dan tidak mengusung prinsip Islam maupun simbol Islam dalam tindakannya, maka meskipun ia melakukan aksi-aksi teror mereka tidak akan tergolong sebagai kelompok teroris oleh media, intelektual dan aparat-aparat negeri ini. Sebaliknya, jika ia meneriakan takbir, apalagi berjenggota dan membawa Al Quran ditambah membawa bendera tauhid sudah dipastikan ia adalah “teroris”, bukankah ini tidak adil?
Upaya asosiasi simbol-simbol Islam dengan terorisme bukan hanya terjadi pada kasus pembakaran Mapolres Dharmasraya, Selasa, 11 April 2017, seorang pria bercadar menyerang Polres Banyumas seorang diri. Berbagai judul berita media online menegaskan bahwa ia adalah seorang teroris dengan menuliskan judul bahwa sang pelaku meneriakan takbir pada saat penyerangan. Hal ini tentu saja sebuah bentuk penggiringan opini oleh media supaya kalimat takbir selalu terasosiasikan dengan “terorisme”. Mereka terlalu cepet menarik sebuah kesimpulan, dengan embel-embel simbol Islam, maka jika seseorang melakukan penyerangan ia akan serta merta dicap sebagai tindakan teroris. Hal ini tentu tindakan yang sangat “keblinger”, kalau tak mau dibilang bodoh.
Islamophobia dan Standar Ganda
Badingkan dengan yang dilakukan oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau pun organisasi sparatis lain yang tidak mengusung prinsip Islam, mereka meskipun telah banyak melakukan pembunuhan dan tindakan teror, baik terhadap warga sipil maupun aparat pemerintah, tetap saja mereka tidak dilebeli sebagai kelompok teroris dan tentu saja tindakan-tindakan mereka pun tidak digolongkan sebagai tindakan terorisme. Buktinya pada Rabu, 16 September 2015, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa OPM bukanlah gerakan spartis melainkan kelompok kriminal bersenjata (Beritasatu.com). Bayangkan di sini terlihat perbedaan perlakuan antar mereka yang melakukan tindakan teror dengan membawa simbol Islam dengan yang tidak seperti OPM. Bahkan lebih parah, OPM yang sudah jelas-jelas menginginkan kemerdekaan Papua Barat justru tidak disebut sebagai kelompok sparatis, melainkan hanya disebut “kelompok kriminal bersenjata”. Hal ini jelas sesuatu yang tidak masuk akal bagi kita orang-orang waras.
Upaya penggembosan simbol-simbol Islam pun bukan hanya terjadi di negeri ini, Amerika Serikat sebagai bapaknya kampanye perang melawan terorisme juga lebih parah melakukan hal tersebut. Pada 6 November lalu, di Texas, Amerika Serikat tepatnya di Sutherland Springs, terjadi penembakan massal di sebuah greja setempat. Diketahui sekitar 27 orang meninggal dan lebih dari 25 orang luka-luka dalam peristiwa tersebut. Menanggapi kejadian tersebut, Presiden AS, Donald Trump beberapa hari kemudian mengakatakan bahwa pelaku penembakan dalam aksi keji tersebut mengidap gangguan jiwa. Amerika memang sering diterpa oleh kasus penembakan massal, bahkan tergolong sudah memperihatinkan. Kasusus terbanyak tindakan keji tersebut banyak dilakukan di tempat-tempat pendidikan dan ibadah. Sebagian besar pelakunya adalah orang kulit putih, maka tidak heran isu yang dihembuskan pun bukanlah isu “tindakan terorisme” melainkan “gangguan mental”. Artinya di sini jelas bahwa jika seorang itu tidak menggunakan simbol Islam dalam melakukan aksinya tersebut, maka digunakan lah analisis personal (bukan identitas keagamaan), contohnya gangguan mental, stres, dan lainnya. Namun sebaliknya, jika dia Islam dan menggunakan simbol Islam dalam melakukan tindakan tersebut, maka langsung dicap bahwa tindakan yang dia lakukan adalah sebuah tindakan terorisme (bukan lagi menggunakan analisis personal, seperti saat kulit putih melancarkan aksi teror). Jadi bagi mereka, sebuah tindakan bisa digolongkan sebagai tindakan teror bukan diukur dari aksi terornya, melainkan siapa yang melakukannya. Jika ia non-muslim maka ia tengah mengidap gangguan jiwa, namun jika ia muslim maka ia adalah teroris.
Hal ini sungguh keterlaluan, mereka dengan berbagai cara berusaha untuk mengontruksikan bahwa jika suatu tindakan kriminal disertai penggunaan simbol-simbol Islam, maka ia adalah teroris. Hal tersebut akan berefek sangat parah bagi citra Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian. Akhirnya jika media terus menerus menyudutkan simbol-simbol Islam, maka bukan tidak mungkin pada nantinya Islam benar-benar dipersepsikan sebagai agama yang berdarah-darah. Salah satunya adalah takbir, kumandang takbir adalah suatu bentuk mengagungkan Allah SWT oleh umat Islam, namun jika kalimat ini terus menerus dikontruksikan sebagai lambang tindakan terorisme, maka bukan tidak mungkin orang Islam sendiri akan merasa malu mengumandangkan kalimat yang sangat agung ini.
Sebagai seorang muslim, kita harus ikut berjuang untuk melawan propaganda media dan aparat yang begitu keji terhadap simbol-simbol Islam. Kita adalah umat Islam sudah sepatutnya kita ikut meluruskan persepsi tentang Islam sebagai agama teror di tengah-tengah masyarakat. Kita jelaskan bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan rahmat tuduhan keji tersebut hanyalah upaya dari orang-orang yang membenci kebenaran. Karena Islam adalah cahaya kebenaran, maka hanya mereka yang dzolim yang ingin menghancurkan Islam. Selain itu juga kita dituntut untuk tidak merasa malu untuk senantiasa menunjukan simbol-simbol Islam di dalam kehidupan bermasyarakat. Kita adalah umat Islam, dan yang membedakan kita dengan kebatilan adalah Islam di dalam jiwa kita yang juga termanifestasikan dalam simbol-simbol Islam yang kita kenakan maupun lakukan.
Terakhir, di saat seperti ini yang mana umat Islam tengah diombang-ambingkan, maka persatuan antara sesama umat begitu dibutuhkan. Kita bisa kembali bangkit jika kita dapat bersatu melawan kebatilan. Semoga Allah SWT senantiasa memelihara persatuan di tengah-tengah umat Islam. [Muhammad Iskandar Syah]