Israel dalam panggung politik internasional sudah dikenal dengan sempurna sebagai tokoh antagonis. Berbagai ulahnya terhadap warga Palestina terus menjadi sorotan pelbagai media, terutama media-media di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
Negara ini dikenal sebagai negara penjajah karena dianggap telah menduduki tanah yang bukan haknya, yakni tanah milik bangsa Palestina.
Kehadiran Israel di Timur Tengah seakan menjadi pemantik segala permasalhan yang muncul di kawasan tersebut sejak diruntuhkannya Kekhilafahan Ottoman pada 1924 oleh kelompok Turki Muda besutan Mustafa Kemal Pasha dan kawan-kawannya.
Pada 18 Oktober 2017, tepatnya hari Selasa, Dewan Eksekutif UNESCO di Paris, mensahkan sebuah resolusi yang restersebut.
UNESCO sudah mensahkan sebuah resolusi yang kontroversial. UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sendiri merupakan salah satu badan di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menspesifikan pengurusannya dalam bidang sains, pendidikan, dan budaya.
Resolusi UNESCO tersebut membuat negara zionis Israel marah. Kemarahan negara tersebut dilandaskan pada relaitas bahwa isi dalam resolusi tersebut tidak mengkaitkan Israel dengan sebuah situs suci di Jerusalem.
Beberapa saat kemudian, Israel membekukan hubungan dengan badan kebudayaan PBB itu setelah satu komite UNESCO menerima resolusi yang disponsori Arab agar merujuk Al-Haram asy-Syarif untuk komplek masjid di Jerusalem, dan bukan Temple Mount, seperti disebut umat Yahudi.
Alasan lainnya karena UNESCO juga telah mengecam Israel karena membatasi akses umat Islam ke Masjid Al Aqsa, yang merupakan tempat suci ketiga umat Islam, di kompleks tersebut. Perwakilan Duta Besar Palestina untuk UNESCO, Mounir Anastas, menyambut baik resolusi tersebut dan mengharapkan resolusi akan menekan otorita Israel, katanya, agar menghentikan semua pelanggaran yang dilakukan oleh negara Zionis tersebut kepada bangsa Palestina.
Ia mengatakan kepada BBC (19 Oktober 2016) bahwa, “Resolusi ini mengingatkan Israel bahwa mereka adalah kekuatan pendudukan di Jerusalem Timur dan resolusi meminta mereka untuk menghentikan semua pelanggaran.”
Namun begitu, Duta Besar Israel, Carmel Shama Hacohen, menuduh Palestina telah ‘bermain-main’. Tempat suci di Jerusalem timur itu seluas 14 hektar, yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan belakangan diduduki walau tidak diakui dunia internasional.
Negara penjajah itu mempertimbangkan Jerusalam sebagai kota yang tidak dipisahkan namun Palestina menginginkan kawasan timur Jerusalem sebagai ibu kota dari negara masa depan mereka.
Pada dasarnya hubungan kedua negara bukanlah tentang perebutan sebuah negara antar entitas. Namun merupakan sebuah bentuk penjajahan yang mana satu negara merupakan entitas politik yang sah, yakni Palestina dan satunya merupakan entitas politik yang “unlegitimate”. Bangsa Palestina akan terus memperjuangkan haknya, yakni sebuah tanah leluhurnya, dan kita sebagai bangsa Indonesia wajib untuk membantu mereka untuk mewujudkan haknya. Karena hal ini telah dimuat dalam konstitusi negara kita.