Pesta Demokrasi, begitulah rakyat Indonesia menyebut perhelatan lima tahunan yang dikenal sebagai Pemilihan Umum (Pemilu). Aktivitas yang merupakan salah satu prasyarat dari sebuah negara yang ingin disebut demokratis ini begitu banyak memakan pembiayaan. Namun sayang, besarnya pembiayaan tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkannya.
Saya pernah menemukan sebuah meme yang berbunyi kurang lebih seperti ini: “Syarat untuk menduduki sebuah pekerjaan saja banyak, seperti administrasi, tes tulis, psikotes, tes kesahatan, dan interview. Namun mengapa tes untuk calon presiden begitu sederhana?”. Memang benar, posisi presiden yang sejatinya bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara, justru memiliki syarat yang begitu cetek alias dangkal, yakni “kepopuleran” atau elektabelitas. Padahal kepopuleran tidak bisa menjamin kapasistas dari seseorang.
Kita tahu bahwa kerja seorang presiden itu begitu berat, oleh sebeb itu dibutuhkan seseorang yang memiliki integritas dan kecerdasan serta jiwa kepemimpinan yang tinggi. Bukan hanya bermodalkan orang “populer”. Namun tidak ada penawaran tanpa permintaan, begitulah hukum ekonomi menyebutkan. Munculnya calon presiden yang cenderung mengedepankan kepopuleran tidak lain karena dampak dari minimnya edukasi politik masyarakat kita. Minimnya edukasi politik membuat sebagian masyarakat tidak berfikir secara rasional dalam memilih pemimpinnya. Pilihan mereka cenderung didasarkan pada kepopuleran sang calon pemimpin bukan kapasistasnya.
Masyarakat yang seperti itu akhirnya membuat pengurus partai berfikir pragmatis. Mereka juga akan cenderung menyalonkan kader atau toko yang populer di tengah masyarakat, dibandingkan mereka yang memiliki kapasistas. Maka tidak heran jika persyaratan menjadi calon presiden lebih mudah dibandingkan persyaratan seorang lulusan SLTA yang hendak melamar posisi pramuniaga di sebuah ritel. Hal tersebut untuk menghindarai tereliminasinya seorang calon presiden yang populer yang dianggap bisa memenangkan pemilu.
Hal itu tentunya bisa membuat lolosnya calon presiden yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas, baik secara keilmuan maupun kepemimpinan untuk menduduki kursi seorang presiden. Jika hal ini terjadi, maka “orang yang salah menempati posisi yang salah”, yang tentu saja akan menimbulkan kekacauan.
Kita bisa bandingkan bahwa sebuah perusahaan yang hanya mengatur ribuan atau paling banyak sekian juta pekerja saja memiliki syarat kualifikasi yang begitu ketat dan susah bagi calon pemimpinnya. Namun mengapa seorang calon presiden yang bertanggung jawab atas seluruh rakyat dan segala aturannya justu memiliki persyaratan yang begitu dangkal?
Perketat Kualifikasi
Negara kita memiliki penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Dengan besarnya jumlah penduduk negara ini tentu saja akan mengakibitkan sulitnya mengatur mereka. Maka sudah dipastikan bahwa dibutuhkan kemampuan seorang kepala negara yang memiliki kemampuan yang kepimpinan dan kecerdasan serta menejemen yang handal. Bahkan harus lebih handal dari para pemimpin sebuah perusahaan. Sebagai upaya untuk menjaring calon yang benar-benar berkapasitas mumpuni.
Oleh karenanya dibutuhkan mekanisme penjaringan yang selektif untuk menjaring calon presiden yang bukan hanya bermodalkan kepopulerannya melainkan juga akhlak dan juga kapsitasnya. Mekanisme yang bisa dengan efektif menjaring calon pemimpin negara yang handal bisa dicontoh dari bagaimana sebuah perusahaaan memilih seorang calon pemimpinnya. Dan supaya bisa diimplementasikan, maka haruslah diberlakukan dalam sebuah bentuk peraturan yang baku.
Meskipun saya sebagai seorang warga negara merasa pesimis bahwa peraturan seperti itu bisa diberlakukan, mengingat masih minimnya edukasi politik di masyarakat yang tentu saja mereka hanya akan cenderung memilih calon presiden yang populer dibandingkan yang berkapasitas. Maka dibuatnya peraturan yang mewajibkan seorang bakal calon presiden untuk mengikuti serangkaian tes kualifikasi layaknya tes di sebuah perusahaan di rasa begitu tidak menguntungkan bagi partai. Sedangkan kita tahu bahwa sebagaian besar atau hampir semua pembuat undang-undang ialah orang-orang partai yang duduk di kursi DPR.
Maka tidak berlebihan jika saya tuliskan di sini bahwa peraturan semacam itu tidak akan pernah dibuat, terkecuali ada desakan dari masyarakat yang begitu besar. Dan desakan seperti ini bisa muncul tatkala masyarakat sudah teredukasi secara politik dan merupakan tugas dari berbagai elemen untuk mengejawantahkan hal tersebut.
Yopi Makdori Pegiat Sosial di Dukuh Asih Institut (DAI)