Membuka [Kembali] Perdebatan Intelektual tentang Terorisme

Posted on

Setiap menghadiri diskusi tentang terorisme maupun radikalisme kerap kali disuguhi alur yang tidak masuk akal bagi saya. Sang pembicara kerap kali tidak berangkat dari sebuah konsepsi yang jelas tantang term-term inti yang digunakan dalam diskusi tersebut. Misalnya saja diskusi itu tentang bahaya radikalisme, sang pembicara sering kali langsung memaparkan bahaya-bahaya dari radikalisme itu, tanpa berangkat dari konsepsi radikalisme dan perdebatan-perdebatannya. Contoh lainnya ketika diskusi itu membahas mengenai hubungan radikalisme-terorisme, kerap kali sang pembicara yang katanya “intelek” langsung loncat kepada kesimpulan bahwa radikalisme merupakan akar dari setiap tindakan terorisme dewasa ini. Lebih memalukan bagi saya ialah mengingat bahwa diskusi tersebut bukanlah diskusi di warung kopi, alias diskusi itu diskusi ilmiah yang seharusnya sang pembicara menjabarkannya secara obejektif.

Sejak peristiwa 9/11, yakini sebuah peristiwa besar yang menodai kedigdayaan Amerika Serikat (AS), isu terorisme begitu menjadi perhatian para peneliti dari berbagai bidang. Mereka bertahun-tahun berkutat dalam peneliti mengenai isu tersebut. Di ranah intelektual begitu banyak perdebatan mengenai isu ini, mulai dari motif, akar, tujuan, faktor perangsang, dan lain sebagainya. Kekayaan khazanah keilmuan mengenai isu ini tidak berbanding lurus dengan hilangnya kabut gelap yang menghalangi penglihatan akan kebenaran dalam isu terorisme oleh publik. Publik seakan dibuat buta oleh isu terorisme, maka di titik buta inilah segerombolan pihak yang sarat akan kepentingan memberikan gambaran akan isu terorisme menurut klaim kebenaran pihaknya.

Tools Broadcast WhatsApp

Pihak inilah yang membawa isu terorisme yang di ranah intelektual penuh dengan perdebatan, kini menjadi klaim kebenaran sepihak oleh mereka. Merekalah pihak yang menutup perdebatan dalam isu ini. Perdebatan yang paling kentara ialah mengenai apa akar dari terorisme? Di ranah publik perdebatan mengenai hal ini seakan ditutup rapat. Beberapa pihak langsung loncat pada satu kesimpulan bahwa terorisme yang terjadi saat ini memiliki akar dari radikalisme, yakini radikalisme agama. Tentu saja agama yang kerap kali dipersepsikan sebagai akar dari terorisme ialah Islam. Padahal hal itu merupakan perdebatan para cendekiawan dan realitasnyapun tidak menunjukan hal tersebut.

Data Berbicara

Menurut data yang dirilis oleh FBI [1], pada periode 1980-2005, 94% serangan terorisme yang terjadi di AS dilakukan oleh non-muslim, hal ini berarti serangan terorisme yang dilakukan di negara itu hanya 6% saja yang dilakukan oleh muslim, kecil bukan? Bahkan masih menurut laporan yang sama pula menyebutkan bahwa serangan terorisme yang dilakukan oleh Yahudi lebih banyak dibandingkan oleh muslim. Lalu mengapa radikalisme dalam Islam kerap kali dijadikan kambing hitam?

Apakah masih kurang bukti? Di benua Eropa terdapat lebih dari seribu serngan terorisme dalam kurun waktu 2009-2013, apakah muslim yang melakukan hal tersebut? Menurut data yang dirilis oleh Europol [2], hanya 2% saja serangan yang terjadi di Eropa dalam kurun waktu tersebut bermotif keagamaan. Di tahun 2011 saja terdapat sebanyak 174 serangan terorisme yang terjadi di Eropa, namun tidak satupun dari sernagan teroris tersebut yang terafiliasi atau terinspirasi dari organisasi terorisme [3]. Lalu di tahun 2012, terdapat 219 serangan terorisme di benua Biru tersebut, namun hanya 6 saja dari total serangan tersebut yang dilandasi motif keagamaan [4]. Di Eropa, pada tahun 2013 terdapat 152 serangan terorisme, dan hanya 2 saja yang merupakan serangan bermotif keagamaan [5]. Kemudian di tahun 2010, masih di Eropa, terdapat 249 serngan terorisme dan hanya 3 saja yang menurut Europol merupakan serangan yang dilandasi motif Islam [6]. Selanjut, di tahun 2009, ada sebanyak 294 serngan terorisme yang terjadi di Eropa, dan hanya satu saja yang berhubungan dengan Islam [7].

Tore Bjørgo (2005) dalam bukunya yang bertajuk “Root Causes of Terrorism: Myths, reality and ways forward” [8], mengklasifikasikan penyebab tindakan terorisme menjadi beberapa tingkatan, sebagai berikut:

• Structural Causes
Tingkatan ini mendeskripsikan bahwa tindakan terorisme disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural, sperti ketidak seimbangan demografi, globalisasi, modernisasi yang terlalu cepat, struktur, dan lain sebagainya.

• Facilitator (or accelerator)
Tingkatan ini melihat bahwa penyebab teroris ialah hal-hal yang ada di lingkungan sang pelaku (keadaan lingkungan), misalnya saja keberadaan senjata, lemahnya kontrol negara di suatu wilayah terotorinya, dan lain sebagainya.

• Motivational Causes
Pada tingkatan ini penyebab tindakan terorisme di lihat dari motif personal sang pelaku (psikologis).

• Triggering Causes
Level ini melihat bahwa tindakan terorisme terjadi karena dipicu oleh sebuah peristiwa yang membuat marah para calon pelaku terorisme, misalnya saja saat tentara AS melakukan kekejaman terhadap orang-orang Iraq, atau perlakuan Israel terhadap bangsa Palestina.

Cara lain untuk membuktikan bahwa di ranah intelektual banyak metode dalam melihat penyebab terorisme ialah dikemukakan oleh Lia dan Skjølberg (2000), mereka mengklasifikasikan penyebab tindakan terorisme menjadi beberapa level, yakini individual dan grup atau kelompok, level masyarakat dan bangsa, dan level sistem internasional [9].

Selain itu, perdebatan lainnya ialah mengenai perbedaan terorisme model baru dan lama. Crenshaw (2006) menjelaskan bahwa terdapat tiga sudut pandang yang membedakan terorisme baru dan lama yang ia rangkum dari berbagai pendapat para pakar. Pertama, terorisme model baru dianggap berbeda dalam hal motivasi dan tujuannya dengan model lama. Kedua, efek destruksi dan mematikannya serangan terorisme juga merupakan pembeda antara model baru dan lama. Ketiga, terdapat bekingan organisasi di dalam terorisme model baru [10]. Munculnya konsepsi terorisme model baru berangkat dari asumsi bahwa berbagai tindakan terorisme yang terjadi saat ini dianggap berbeda dengan terorisme model lama. Mereka menganggap bahwa berbagai penelitian terdahulu terkait isu ini tidak bisa menjelaskan fenomena terorisme model baru tersebut. Maka seakan-akan terorisme yang terjadi sekarang adalah sebuah hal yang baru yang teralienasi dari terorisme pendahulunya. Mereka yang menganggap bahwa fenomena terorisme yang terjadi saat ini berbeda dengan terorisme model lama seakan bernafsu ingin membuang khazanah keilmuan tentang terorisme yang telah banyak dikumpulkan oleh para peneliti terdahulu ke tong sampah, karena dianggap sudah tidak bisa menjelaskan fenomena terorisme saat ini.

Namun dalam tulisan yang sama, Crenshaw mengkritik konsepsi “terorisme model baru” tersebut. Ia mengungkapkan bahwa dalam kajian psikologi hipotesis terorisme model baru ini begitu diragukan. Ia telah melakukan riset untuk membandingkan konsepsi terorisme model baru dan lama dan dia (Crenshaw) berakhir pada kesimpulan bahwa keduanya tidak ditemukan perbedaan. Terorisme yang dilakukan dulu dengan sekarang pada dasarnya sama dan tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Misalnya saja para pencetus dan pengemban hipotesis terorisme model baru menganggap bahwa yang membedakan antara terorisme saat ini dengan masa lalu ialah terletak pada motivasinya. Namun Crenshaw menganggap bahwa asumsi tersebut tidak bisa diterima dalam studi psikologi, karena menurutnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara motivasi terorisme model baru dan lama.

Dalam penelitian yang sama, Crenshaw juga menjelaskan bahwa motif setiap serangan terorisme sangatlah kompleks, tidak seragam dan sesimpel seperti yang banyak diagaungkan saat ini. Dibutuhkan penelitian yang serius untuk menjelaskan isu ini, yang mencakup hubungan antara individu dan kelompok, sistem kepercayaan, kondisi yang mendukung dalam mengarahkan suatu masayarakat kepada kekerasan, benang merah antara agama dan politik, penjajahan, ketidakadailan, kemiskinan, dan peran identitas dalam sebuah konflik. Tanpa adanya komparasi berbagai jenis terorisme yang terjadi dewasa ini, maka sudah dipastikan bahwa nafsu kita untuk memahami terorisme hanya akan berujung pada mimpi belaka.

Oleh karena itu mari kita kembali membuka perdebatan tentang fenomena terorisme ini. Karena menutup perdebatan intelektual dalam isu ini sama dengan mencederai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang menjadi pondasi dasar perdaban kita saat ini. Atau lebih para seperti yang telah saya sebutkan di atas, kita membuang khazanah keilmu tentang isu ini ke tempat sampah. Lalu apa bedanya hal tersebut dengan doktrin?

Muhammad Iskandar Syah

Referensi

[1] https://www.fbi.gov/stats-services/publications/terrorism-2002-2005
[2] http://thinkprogress.org/world/2015/01/08/3609796/islamist-terrorism-europe/
[3] https://www.europol.europa.eu/content/press/eu-terrorism-situation-and-trend-report-te-sat-2012-1567
[4] https://www.europol.europa.eu/content/te-sat-2013-eu-terrorism-situation-and-trend-report
[5] https://www.europol.europa.eu/content/te-sat-2014-european-union-terrorism-situation-and-trend-report-2014
[6] https://www.europol.europa.eu/content/publication/te-sat-2011-eu-terrorism-situation-and-trend-report-1475
[7] https://www.europol.europa.eu/content/publication/te-sat-2010-eu-terrorism-situation-trend-report-1473
[8] Tore Bjørgo. [2005]. “Root Causes of Terrorism: Myths, reality and ways forward”. New York: Routledge
[9] B. Lia dan K.H.W. Skjølberg. [2000] “Why Terrorism Occurs: A Survey of Theories and Hypotheses on the Causes of Terrorism”. Norway: Kjeller (FFI/Rapport–2000/02769). Didownload melalui http://www.nupi.no/IPS/filestore/02769.pdf, pada 3/1/2018
[10] Martha Crenshaw. [2006]. “In Tangled Roots: Social and Psychological Factors in the Genesis of Terrorism”, ed. Jeff Victoroff. NATO Security through Science Series, Human and Societal Dynamics, Vol. 11. Amsterdam: IOS Press.

virol tools instagram