Baca Sebelumnay Lika Liku Muslim di Jerman I
Dengan begitu, shalat Tarawih bisa dilaksanakan lebih awal dan tidak mengganggu masyarakat sekitar masjid tersebut. Meskipun keadaan di sana sebagai seorang muslim cukup berat, namun hal itu tak menyurutkan semangat para Muslim di Jerman.
Seorang relawan yang juga imam di Masjid Al-Taqwa, Gottingen, Khaled Kanjo menegaskan tidak ada masalah berarti perihal peribadatan umat Islam di Gottingen.
Menurutnya pria yang berusia 62 tahun tersebut, masyarakat Jerman yang sekuler sangat toleran dengan masyarakat Muslim yang minoritas di Kota Universitas tersebut. “Mungkin di tempat-tempat lain di Jerman ada masalah, namun tidak di tempat ini,” terangnnya.
Ia juga bersyukur karena sejak datang ke tempat itu 30 tahun yang silam, komunitas Muslim di Gottingen terus berkembang dan secara bertahap terus meningkat. Ia berujar bahwa, “Masyarakat Islam semakin berkembang dan masjid ini juga semakin besar,”. Pria berjanggut putih itu juga mengatakan bahwa tak mempermasalahkan aturan hukum di Jerman yang tidak menganggap tempat itu sebagai masjid, melainkan cultural center. “Bagi saya itu hanya semata hukum. Bagi kami komunitas muslim, tempat ini adalah masjid,” terang dia kepada Republika.
Ia mengaku paling bahagia jika datang hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri atau Idul Adha. Saat hari besar itu tiba, tempat yang terletak di Guterbahnhofstrasse 14 tersebut bisa dipadati ribuan jamaah. “Kebanyakan mahasiswa yang datang ke sini,” ujar pria yang berasal dari Suriah itu. Selain mengadakan ibadah lima waktu, Al-Taqwa juga sering mengadakan kajian-kajian Islam dan sejumlah pelatihan seperti kursus bahasa Arab dan tadarus Alquran di masjid tersebut.
“Bahkan beberapa waktu lalu ada juga beberapa orang yang masuk Islam dengan mengucapkan syahadat di tempat ini,” terang pria yang mengaku pernah berkuliah di Oxford University itu. Sementara itu, masjid milik komunitas Muslim Indonesia, Al Falah, telah memberikan pelayanan terhadap masyarakat Muslim Indonesia di Jerman selama lebih dari 30 tahun.
“Masjid ini adalah cikal-bakal dari Perhimpunan Pelajar Muslim Eropa (PPME) yang terbentuk pada tahun 1984 di Belanda,” kata Chairman Indonesian Centre for Culture of Wisdom (IWKZ) (nama resmi masjid tersebut-Red), Muhammad Ihsan Karimi.
Saat ini Al Falah menjadi salah satu komunitas Muslim yang signifikan di Kota Berlin. Karimi juga mengatakan bahwa, “Selain itu, jumlah jamaah masjid ini juga bertambah, dan kegiatannya juga semakin beragam,”. Ia juga mengungkapkan, saat ini jamaah Masjid Al Falah sekitar 600 orang.
Bahkan angka tersebut bertambah menjadi 1.000 orang tiap hari-hari besar seperti Idul Fitri atau Idul Adha. Karena banyaknya masyarakat di luar Berlin yang sengaja datang ke satu-satunya masjid milik Indonesia di Berlin tersebut. Adapun kegiatan-kegiatan yang sering digelar Al Falah di antaranya adalah seminar ilmiah, bimbingan belajar, sampai kursus Bahasa Jerman.
“Bahkan banyak juga yang masuk Islam dan menikah di sini,” kata Karimi. Hal itu menjadikan suasana Islami di Al Falah benar-benar kentara. Selain itu juga, Masjid ini kerap menjalin kerja sama dengan masjid-masjid lain di Jerman.
Saat ini, diperkirakan terdapat 3.000 masjid di Jerman yang tergabung dalam berbagai macam asosiasi. Al Falah sendiri tergabung dalam sebuah asosiasi masjid di Jerman yang bernama “Islamic Federation”. Karimi mengungkapkan, “Dalam asosiasi ini nantinya akan disepakati berbagai macam aturan yang dipakai untuk kepentingan bersama di masjid, misalnya soal penentuan waktu shalat, puasa, dan lain sebagainya,”.
Selain memberikan pelayanan terhadap masyarakat Muslim Indonesia di sana, Masjid ini juga dalam beberapa waktu terakhir juga aktif berdiplomasi dengan pemerintah setempat.
Menurut Karimi, dua isu utama di Berlin adalah krisis Taman Kanak-kanak (TK) dan krisis tempat tinggal. Beberapa waktu yang lalu, seorang jamaah Masjid Al Falah juga kesulitan mendapatkan rumah setelah harus keluar dari tempat tinggalnya sekarang.
Terkait hal ini, Karimi mengatakan pihaknya sudah berupaya mengusulkan adanya penempatan di bekas-bekas bangunan industri yang kini kosong di sana. “Namun sejauh ini kami terkendala karena ternyata sesuai konstitusi bekas bangunan industri juga tidak boleh dipergunakan sebagai tempat tinggal,” terang Karimi.
Selesai
(Republika)